adityawarmanfw

Tuhan, Tolong.

“Silakan panggil Tuhan Yesus yang berapa hari kamu sembah itu sepuas-puasnya untuk De menolong kamu.”

“Mas lagi apa?”

Aku dipanggilnya Mas karena usiaku lebih tua darinya sekitar dua tahun. Sudah berkali-kali kuminta dia untuk memanggil nama saja tapi dia tak mau. Beberapa kali kupermasalahkan itu. Tapi sekarang tidak lagi karena lama-kelamaan itu terasa menyenangkan. Pesan pendek darinya itu datang kemarin saat aku sedang mengebut kerjaan sebelum jam pulang. Aku menjawab singkat dan selang beberapa detik pesan berikutnya datang.

“Pengen curhat. Kepalaku pusing. Sumpah nangis aku.”

Aku langsung ingat kami sama-sama punya hati yang lembut. Hanya saja beberapa kali dalam setahun aku berubah jadi sedikit jahat.

Dia lalu bercerita, mengirimkan sebuah tangkapan layar dan sebuah berkas yang menjadi alasannya menangis. Jawabanku singkat. “Cup cup,” begitu balasku. Bahkan belum kubuka berkasnya. Aku sejahat itu.

Tapi jahat itu, seperti kubilang tadi, hanya beberapa kali saja. Siang tadi aku membaca lagi pesan-pesannya di laptop, mengunduh berkas yang dia kirim dan membaca isinya. Hanya perlu beberapa kalimat saja untuk membuatku merasa seperti orang tak tahu diri.

“Tentara barbar banget.”

“Jahat banget.”

“Kenapa bisa gitu ya?”

Pesannya beruntun.

“Terus mau tayang di mana?”

“Di MR, Mas. Biar yang baca rame.”

Yang dikirimnya adalah tulisan hasil wawancaranya dengan Filep Karma tentang peristiwa biadab yang kita kenal dengan nama tragedi Biak berdarah. Aku sedikit ingat, terima kasih ingatan yang buruk, cerita Pak Filep tentang pengalamannya bersama orang-orang membuat BK bisa berkibar meski saat itu dilarang. Tapi mungkin yang kuingat adalah peristiwa yang terjadi di tempat atau waktu yang berbeda. Begini kira-kira.

Di tanah lapang, kami berkumpul. Tentara, polisi, berbaris di pinggir. Kami menyanyi, menari. Ada seorang di antara kami bertugas bawa BK yang dilipat. Beberapa yang lain bawa bambu dan ikat. Sambil menari berputar-putar, ada kawan-kawan yang berada di tengah lingkaran ikat BK ke bambu. Kami lakukan seperti itu supaya tidak ketahuan. BK berkibar setinggi empat tongkat bambu.

6 Juli, dua tahun lalu, aku menulis status facebook tentang peristiwa itu. Banyak kawan-kawan, dari Papua dan Indonesia, membagikannya dan beberapa menyalinnya sebagai status di dindingnya sendiri. Tahun lalu kawan-kawan membagikannya lagi. Ada yang menulis ulang untuk pos instagram dan utas di twitter. Kuperbaiki beberapa bagian, termasuk bagian “… tahun lalu”, lalu kupindahkan ke sini. Semoga tidak membuatnya jadi lebih buruk. Di bagian akhir tulisan ini juga kusematkan video Mama Tineke Rumkabu saat bersaksi di Biak Tribunal.

Aku kemudian ingat lagi kalau aku dan dia sama-sama punya hati yang lembut. Hanya saja, dia tidak tahu, beberapa kali dalam setahun aku jadi terlalu lembut dan jadi gampang menangis.21 tahun lalu, Mama Tineke Rumkabu berlari menyusuri jalan setapak kecil yang mengarah ke menara air di Biak sambil membawa makanan dan kopi ketika peluru-peluru terbang ke segala arah. Sebuah helikopter terbang di atasnya—sambil juga memuntahkan peluru. Mama Tineke tersungkur setelah terkena pukulan popor senjata di bagian belakang kepalanya. Kepalanya disiram kopi. Di aspal, tubuhnya diseret. Kaki, perut, lalu kakinya lagi, ditendang oleh tentara. Mama Tineke berdoa pada tuhannya. Tentara itu meneriakinya, “Silakan panggil Tuhan Yesus yang berapa hari kamu sembah itu sepuas-puasnya untuk De menolong kamu.”Tapi tentara lain datang sebelum tuhan. Ia memukul Mama Tineke dengan popor senapan. Menyeretnya, tapi kemudian bilang: Lari, kita seiman, Ibu, lari!Mama Tineke lari ke sebuah rumah, masuk ke sebuah ruangan dan bersembunyi di sana. Tapi di tempat itu masih kurang aman. Seorang kawannya, juga perempuan, berkata bahwa ada tangki tinja di rumah ini. Kemudian selama kira-kira empat jam mereka berdiri di dalam tangki itu. Empat jam menunggu tuhan yang belum kunjung datang. Mereka tak tahan, kemudian keluar dan kembali tertangkap. Mata Mama Tineke ditutup kain hitam, kemudian dilempar ke dalam sebuah truk yang di dalamnya berisi banyak orang lain; laki-laki, perempuan, orang tua, juga anak-anak.“Tuhan, tolong. Tuhan, tolong.”Mama Tineke dibawa ke suatu tempat, yang kemudian ia tahu bahwa tempat itu adalah sebuah kantor militer, dan di sana ia bersama yang lain disiksa habis-habisan. Mama Tineke ditelanjangi. Lengannya diiris-iris dengan bayonet dan disundut rokok.“Kami tidak mau diperkosa, kami tak mau diperkosa!” Mama Tineke mendengar teriakan itu dari mulut temannya. Tentara kemudian memaksa membuka lebar kaki perempuan itu, menyalakan sebuah lilin dan memasukkan lilin itu ke dalam vagina perempuan malang itu. Hal yang sama juga dialami oleh Mama Tineke. Dua belas perempuan. Di dalam Kodim.Dan di ruangan yang berkali lipat lebih mengerikan dari tangki tinja itulah Mama Tineke Rumkabu mendengar teriakan perlawanan terakhir Martha Dimara: Daripada saya diperkosa lebih baik saya dibunuh saja!Ujung tajam bayonet menusuk dada perempuan itu. Kemudian dipisahkan oleh tentara kepala dari tubuhnya. Payudaranya diiris. Seorang perempuan kecil diperkosa hingga mati. Vagina dan klitoris perempuan-perempuan malang itu diiris. Mereka diperkosa berulang kali. Darah bercecer di mana-mana. Delapan perempuan mati di ruangan itu. Empat lainnya hidup dan lari, yang salah satunya adalah Tineke Rumkabu. Ia lari ke hutan selama dua bulan sebelum akhirnya tertangkap lagi dan dijebloskan ke penjara.

“Jahat banget.”

“Kenapa bisa gitu ya?”


Related Video on Vimeo