Tjakap KARTINI dengan IBUNJA
Kartini tidak gentar menghadapi apapun untuk kebebasan bagaikan burung melajang dilangit.
Kartini tidak gentar menghadapi apapun untuk kebebasan bagaikan burung melajang dilangit.
7 Oktober 1900
Belum selang lama ini saja dan Ibu bertjakap-tjakap hal-ihwal perempuan, lalu saja njatakan sekian kalinja lagi, bahwa saja hendak lepas, berusaha sendiri, melajang bebas bagai burung dilangit. tiada lagi jang lebih menghiburkan dan menarik hati saja. tiada lagi jang djadi ingin hasrat hati saja dengan amat dendamnja. Kata Ibu: ,,Tetapi belum ada orang kita jang berbuat demikian.”
,,Kalau demikian, memanglah telah waktunja sekarang, ada seorang jang berbuat begitu.”
,,Tetapi tahukah engkau, segala usaha jang bermula itu sukar adanja? — selalu orang jang merintis, mulai mentjari djalan, nasibnja tentu susah? ,,Tahukah kau, tjelaan, ketjewa berturut-turut, sindiran akan datang nanti menimpamu!” — ,,Tahulah saja! Bukan baru2 ini sadja pikiran itu timbul. sudah bertahun-tahun lamanja terkandung dalam hati saja.”
,,Dan apakah kebaikannja bagi dirimu sendiri? Akan berasa puaskah hatimu, akan berbagaiakah kamu?”
²**²**
²
Demikianlah pertjakapan Ibu Kartini dengan Ibunja. Jang dengan tegas dinjatakan bahwa tidak ngeri, tidak takut ataupun gentar dalam menghadapi segala tantangan. Ibu Kartini akan merasa puas dan berbahagia, apabila dapat melihat perempuan ² Bumiputera dapat merdeka dan berdiri sendiri.
Inilah tjita ² Kartini jang kita warisi!
—Pertjikan Api Kartini
SELAMAT Hari Kartini!
Tulisan di atas saya temukan dari instagram storiestokohitam, seorang penjual buku lawas yang saya belum pernah beli darinya. Kemarin ia mengunggah sebuah foto satu halaman majalah Api Kartini. Majalah resmi organisasi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang diterbitkan oleh Jajasan Melati. Tapi saya tak tahu edisi yang mana yang diunggah itu karena keterangannya tak masuk dalam foto. Saya unduh foto itu, resolusinya kecil, lalu menuliskannya lagi di sini. Sebelumnya, surat ini sudah pernah saya baca di kumpulan surat Kartini yang diterbitkan Jalasutra dalam judul “EMANSIPASI: Surat-surat kepada Bangsanya 1899–1904”. Tapi gaya terjemahannya beda sekali dengan yang dinaikkan oleh redaksi Api Kartini. Saya lebih suka yang di majalah ini.
Di hari² penuh Kartini (dan Dian Sastro) ini, membela perempuan tidak cukup hanya disimpan dalam hati. Minimal, harus diunggah ke media sosial. Dan yang terjadi di sana adalah seperti tahun yang sudah²: “Mengapa mesti sanggul dan kebaya?” Dan semacamnya — mengapa anak² kecil diarak keliling desa pakai kebaya? Mengapa bukan lomba menulis esai saja, atau menulis surat seperti Kartini? Mengapa tak mengubah yang gelap jadi terang saja?
Yang lain juga sama membosankannya: ramai² membanding²-kan Kartini dengan perempuan lain seperti Cut Nyak Dien, atau Rohana Kudus. Yang bersenjata dan yang hanya berkata-kata. Yang Kafir dan Islam. Bla bla bla. Saya tak ikut².
Sampai sekarang, saya masih tetap pada pikiran saya setahun lalu, bahwa tak ada cara lain lagi untuk merayakan Kartini, kecuali dengan memahaminya sebagai manusia yang utuh, tak terus²-an kuat, tapi juga lemah dalam beberapa hal. Ia yang terbakar menyala berapi² menentang feodalisme, penindasan, tapi juga tak kuasa di hadapan ayahandanya yang pelaku feodal. Tak juga memahami Kartini sebagai sekadar istri ketiga, seorang yang akhirnya tetap jadi jinak, penurut, perempuan yang akhirnya habis di atas ranjang sebagai selir bupati.
Hiruk-pikuk di media sosial itu tak sepenuhnya membosankan sebenarnya. Ada beberapa hal menarik yang bisa saya dapat.
Ada cerita ketika Pramoedya Ananta Toer mewacanakan untuk membuat monumen Multatuli di tempat di mana ia pernah menorehkan sejarah. Ia meminta itu pada PJM Soekarno. “Kenapa bukan Sneevliet?” tanya Bung Besar. Pada akhirnya, yang terlaksana justru jauh dari nama² itu. Yang dibuat oleh Bung Besar justru adalah patung Kartini bercawet. Kartini yang berkutang, Kartini yang mengenakan BH. Padahal entah di zaman itu apa benar sudah ada teknologi BH atau belum. Saya tak tau pasti.
Yang menarik selanjutnya adalah foto yang diunggah teman di Facebook.
Foto dari KITLV itu menampilkan Kartini dan suaminya. Bukan, bukan wajah Kartini yang kuyu, bukan juga tangan Ibu kita yang takut² karena diapit tangan kokoh suaminya itu yang mesti diperhatikan. Sambil mengunggah foto ini, teman saya itu bertanya, ”Tangan siapakah di bawah tangan kiri Bupati Rembang itu???”
Ya, tak salah lagi. Pemilik tangan itu adalah manusia yang harus, kata Pram, “beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali buta huruf pula!”
— God, God! Sambar gledek!