Selo
Manusia Jawa adalah manusia yang santai. Bahkan, Jawa seringkali diidentikkan dengan ‘selo’(enggres: slow). Dan hal ini memang nyata. Orang-orang Jawa punya motto hidup, “Alon-alon asal kelon” atau bila dibahasakan secara ngasal menjadi “Pelan-pelan yang penting pelukan”. Haha. Ngga, yang benar adalah alon-alon asal kelakon, pelan-pelan asal berhasil dilakukan(pasti). Tapi dengan didesak tuntutan dari gaya hidup jaman modern kekinian, budaya selo ini agaknya hampir musnah di kalangan muda-mudi Jawa. Keseloan mulai tergantikan dengan keterburu-buruan, dan permasalahan-permasalahan tak lagi ditanggapi dengan santai tapi dengan emosi menggebu yang tampak pada pembesaaran di urat leher. Kekinian, Masbroh!
Sebagai orang Jawa yang baik seharusnya tak segampang itu untuk mengikuti arus kekinian yang mengombang-ambingkan. Bukan ikut trend begitu saja. Bukan menelan mentah-mentah budaya kekinian yang seolah-olah mencitrakan kemajuan. Setidaknya bila memang terpaksa, marilah dibahas dan disikapi dulu dengan selo.
Memang, kekinian membawa banyak manfaat dalam kehidupan dan tentu saja dalam masalah persenggamaan. Baru-baru ini ketika ngobrol santai di warung makan, ada teman yang menunjukkan testimoni di sampul belakang novel yang dibacanya. Novel tentang percintaan remaja tentu saja, karangan seorang selebtwitit. Tertulis “Buku ini harus dibaca bagi yang mau menguasai wanita”. Kira-kira seperti itulah intinya, jika ada beda niscaya hanya perbedaan redaksional saja. Dan, memang nyatanya semengerikan itulah buku yang dikonsumsi oleh teman-teman era kekinian. Menganggap bahwa wanita adalah objek yang diciptakan untuk dikuasai. Selo sajalah ketika butuh senggama dengan wanita pujaan. Ngga perlu berhasrat untuk menguasai. Bukankah dalam persenggamaan semua adalah pelaku sekaligus korban? Kadang semua menang, kadang semua kalah. Sekali lagi, selo. Senggama akan indah pada waktunya.
Angkringan yang menjadi simbol keseloan masyarakat Jawa pun juga terkena imbas arus kekinian. Muda-mudi pergi ke angkringan bukan lagi untuk ngopi, ngudud, dan membincangkan mantan. Bukan untuk bersosialisasi lintas kasta, antara mahasiswa dengan pekerja, antara pekerja dengan majikannya. Tapi kini angkringan dikerdilkan oleh muda-mudi menjadi hanya sebagai tempat lain mengakses gadget-nya. Pindah nggon hape-an, dalam Jawa. Angkringan dan warung kopi yang dulu difungsikan sebagai ruang publik untuk melupakan kerjaan, untuk menertawakan kebijakan government, untuk menertawakan hubungan teman yang ditinggal nikah oleh mantannya, dan yang dulu digunakan untuk menertawakan nasib sendiri kini telah hilang. Tergantikan oleh angkringan yang menjelma menjadi semacam tempat obral saham, di mana setiap masing-masing jiwa menggenggam teleponnya. Duh, kekinian!
Begitulah dulu manusia Jawa menghadapi kerasnya hidup. Dengan santai, dengan selo dan cengegesan. Menertawakan nasib bagi orang Jawa adalah sebuah kewarasan. Apalagi menertawakan nasib teman. Nietzche yang seorang pesohor itu bilang, “Amor Fati.” Cintai takdir. Dibalik derita yang bertubi-tubi, seorang Jawa harus bisa tetap tegar dan menertawakan nasibnya sendiri. Dan ini bukanlah sebuah tindak yang patetik dan ogah berjuang. Orang Jawa asli adalah orang yang penuh perjuangan, tapi dengan selo sambil cengengesan dalam menghadapi segala hal.
Cak Nun dalam ceramahnya yang beberapa waktu lalu di Youtube bilang, orang jawa adalah orang cengengesan, dalam artian hidup tak perlu terlalu dipikirkan, tapi dijalani. Dan memang benar, dulu banyak orang Jawa tak terlalu memusingkan hidup. Lulus sekolah belum punya pekerjaan sudah berani melamar anak orang. Masih membawa berkas lamaran kerja kemana-mana, sudah berani nikah. Belum juga kerja diterima, sudah menghamili istri. Tanpa kerjaan, istri hamil, masih berani pula untuk kredit motor dan nyicil KPR. Begitulah kehebatan selo dan cengengesan dalam budaya Jawa. Sayang seribu satu sayang, kini hanya sedikit pemuda-pemudi yang berani mempraktekan.
Memang benar selo dan cengengesan tak selamanya baik. Contoh dari dua orang teman, Thole dan Mbik. Karena keseloan mereka yang super, sampai sekarang belum mendapatkan teman untuk yang-yangan. Mereka mendambakan kekasih memang. Tapi apa daya keseloan malah membuat mereka keseleo. Terseok-seok diterjang pemandangan orang berpasang-pasangan bergandengan tangan. Tapi, sebenarnya keseloan juga tak seburuk itu. Dari keseloan mencari pasangan, mereka memiliki waktu untuk menabung demi masa depan yang layak, demi uang muka KPR yang kian mahal. Sebagai buruh telekomunikasi yang ber-gadget kekinian, mereka terus mempersiapkan mental ketika sewaktu-waktu ditembak oleh para gadis. So, wahai para gadis, berlomba-lombalah dalam mendapatkan dua pemuda selo itu!
Selo amat penting. Khususnya waktu bersama keluarga. Jika dihadapkan dengan pertanyaan, Mana pacar? Kapan nikah? dsb. Maka jawab saja dengan satu kata ampuh, selo... Niscaya keluarga akan diam sejenak, lalu menertawakan nasib anggota keluarganya yang selo itu. Dan sebagi seorang selo nan cengengesan, menertawakan nasib sendiri pun niscaya menjadikannya lebih indah.
Tambahan: Tulisan ini dibuat dengan bahagia untuk 2 teman saya yang mengadu nasib di Jakarta, dan untuk calon kemenakan umur 2 bulanan yang masih di janin Mbak di Balikpapan. Terinspirasi oleh Mas saya yang hebatnya sesuai dengan ungkapan Cak Nun diatas. Tegar dalam menghadapi hidup. Selamat berjuang Mas dan Mbak, semoga segera bisa DP KPR dan semoga bisa memberikan kemenakan yang sama cengengesan dan unyu seperti saya!