Sebuah Maha Kenangan yang Lahir Kembali, Centhini

Kenangan memang tak pernah benar-benar mati. Ia hanya sekarat sambil menanti kesehatannya kembali. Begitulah. Kira-kira dua abad lalu pernah ada sebuah maha kenangan akan ‘keluhuran’ budaya Jawa yang diukir. Dan akhirnya, sekarat. Nyaris tak ada lagi yang membaca kecuali sebagian saja. Bahkan manusia Jawa sebagai pemilik kenangan pun terlalu abai padanya. Tak sedikit yang tak mengenalnya. Namun kini, Puji Tuhan, Ia telah mampu mengingkari ketercampakkannya.

Serat Centhini, atau yang bernama lain Suluk Tambangraras adalah sebuah Karya Adiluhung Jawa. Dengan tebal 4200 halaman, 12 jilid, 722 tembang, dan 200ribu bait lebih (hal. 2). Sebuah Suluk yang disusun oleh tiga pujangga Keraton Surakarta dan Anom Amengkunegara III sendiri selama 10 tahun. Ia lahir sebagai usaha pembuktian pangeran pemberontak terhadap ayahandanya, sekaligus sebagai pembelaan pada caranya memandang hidup. Pada kebenaran yang diyakininya.

“Akan ananda buktikan, Ayahanda, bahwa nafsu-nafsi ananda, suatu hari nanti, akan membimbing ananda kepada Ilmu Kasampurnan. Harus kita kenali kebatilan di ambang jalan kebatinan.” (hal. 3)

Elizabeth D. Inandiak, adalah salah seorang sosok yang menemani kesekaratan kenangan itu, dan berusaha menghidupkannya kembali. Kegigihannya bersama para sejarawan, sastrawan, kiai, juru kunci, dalang dan para petani akhirnya tak sia-sia. Kenangan itu hidup kembali, dengan wajah barunya; Centhini Abad 21. Sebuah kenangan akan pengembaraan yang edan-edanan, cabul, filosofis, dan luhur para lakon dalam Suluk akhirnya kembali dibangkitkan setelah begitu lama tenggelam dalam ketakpedulian jutaan manusia, khususnya manusia Jawa.

Perempuan hebat asal Prancis, pemberi nafas baru pada Serat Centhini, telah membuatnya tak lagi berbentuk tembang dan syair. Ia menghidupkannya kembali dalam bentuk prosa. Sebuah usaha yang sama sekali tak mudah. Dimulai dari penerjemahan tembang-tembang dari Jawa Kuno ke Indonesia, Indonesia ke Prancis, lantas kembali diterjemahkan oleh Laddy Lesmana dalam Indonesia. Hingga terbitlah sebuah karya, Centhini: Kekasih yang Tersembunyi.

Seperti Sang Suluk yang asli, kisah karya baru ini secara garis besar sama. Bercerita tentang Sultan Agung yang haus kekuasaan dan akhirnya menyerang Giri. Giri kalah, sehingga dua orang putra juga seorang putri Sunan Giri, terpaksa melarikan diri dari kejaran Sang Sultan. Jayengresmi, sang sulung, terpisah dari kedua adiknya. Lantas Ia pergi mengembara untuk mencari mereka, juga untuk mencari segala makna akan kehidupannya.

Runtuhnya Giri adalah sebuah awal. Awal untuk peperangan yang lebih besar, jihad yang lebih besar. Bukankah sepulang dari sebuah perang, Baginda Rasul Saww. pernah berkata, “Kita baru saja pulang dari jihad kecil menuju jihad besar.”? Ya, jihad besar ini adalah perang melawan diri sendiri. Pemberontakan pada nafsu-nafsu duniawi. Dan Centhini sendirilah, seorang tokoh pembantu dalam Suluk, yang akan menyingkap aling-aling jihad besar tersebut. Sebuah pencarian yang juga dilakukan oleh para Salik dalam Suluk.

Serat Centhini bukanlah Suluk Adiluhung bila tanpa persenggamaan erotisnya. Bukan Centhini bila tanpa ajaran Asmaragama, tanpa pupuh nakalnya. Disini, Inandiak telah berhasil untuk tidak terlalu berusaha menyingkirkan syair-syair cabul dan kotor milik Sang Suluk. Tak menyingkirkan endapan lumpur dalam karya tersebut. Sebaliknya, Ia berhasil mengubah syair kotor tersebut kedalam kalimat-kalimat yang sangat indah. Erotis. Cabul tetapi indah. Dalam hal ini, Ia telah berhasil membumbungkan imajinasi pembacanya sampai ke kolong langit. Dan memang seperti itulah seharusnya Centhini, sebuah karya yang anggun dengan caranya sendiri.

Ada kalanya juga erotika ini hadir dalam bentuknya yang lain. Keintiman yang lain, sebuah persenggamaan yang lain, yang lebih agung bentuknya daripada persenggamaan biasa. Pada malam ke-40, ketika Amongraga dan Tambangraras bersenggama dengan khusyuk dan suci. Begitu suci hingga membawa sukma mereka mendesak ke langit, seperti ketika Nabi sedang Mi’raj. Mendekat hingga beberapa depa dari Gusti Pangeran, atau bahkan lebih dekat lagi.

“Beberapa di antaranya berdiri, bingung, mencari tempat tersembunyi untuk memasukkan jari tengahnya ke lubuk lubang kelaminnya yang becek. Pluk, begitu bunyinya, kemudian terhempas mereka, tak sadar lagi, di tubuh wanita-wanita lain yang lagi berahi.” (Minggatnya Cebolang — hal. 145)

Kata-kata cabul dalam Suluk yang asli memang telah disantunkan oleh Inandiak. Tapi bukankah dalam kalimat-kalimat tersebut tetap terdapat sebuah kekuatan, sebuah daya gugah yang menggedor-gedor pintu imajinasi? Keberhasilan itulah, alasan mengapa ribuan terimakasih harus diucapkan pada Inandiak dan Laddy Lesmana.

“Kekasihku, di jalan ada jumpa dan sua kembali. Tetapi orang berjalan sendiri-sendiri. Kupikul ragaku menempuh kemegahan Suluk, dan kamulah tembang laras Suluk itu. Kamu mengira aku pergi padahal aku mengembara dalam dirimu.” (Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan — hal. 292)

Tak pelak bila memahami Centhini harus dengan hati-hati. Bagi sebagian mungkin tidak akan merasa nyaman dengan bahasa yang kotor. Dengan penyebutan alat kelamin yang tersebar dalam halaman-halaman buku. Ada juga bagian di mana para tokohnya madat sambil berdoa, berwudhu setelah persenggamaan yang liar, homoseksualitas, melacur, dan lainnya.

“Perut penuh, para murid lalu pergi mandi sore ke kali terdekat. Pria dan wanita mencebur ke kubangan sama, mereka meneriakkan Asma Allah sekuat-kuatnya sambil bergendang bokong yang paling sedia, dan semua orang yang dulunya sopan kini saling menunggangi diiringi keceriaan ikan-ikan kakap beserta bayi-bayinya mencucup air mani keluar terlalu dini di sini atau mengisap puting susu sendirian di sana.” (Ia yang Memikul Raganya — hal. 305)

Sebuah karya yang begitu kurang ajar sekaligus istimewa. Memang tak persis sama dengan Suluk yang asli. Ada beberapa bagian yang ditambah dan dikurangi oleh Inandiak. Misalnya kemunculan Gatolotjo yang sebenarnya tidak ada dalam Serat Centhini yang asli. Atau ajaran-ajaran Kebatinan Jawa semisal ajaran Triparaga oleh Eyang Ranggawarsita, yang tidak disertakan dalam karya ini.

Terlepas dari perbedaan itu, karya Elizabeth D. Inandiak ini tetaplah sebuah karya yang besar. Ia begitu indah, menggugah, dan tidak ‘kosong’. Ia berhasil menghidupkan kembali Sang Maha Kenangan. Dalam bentuk lain, tapi tetap bersesuaian dengan makna Sang Suluk Adiluhung Jawa, bahwa tiap jalan, lurus atau bengkok, ada kubangannya.

Tak takut lagi ketinggalan

Daftarkan email Anda untuk berlangganan nawala.
[email protected]
Langganan