Sebagian dari Kita Nyatanya Mengimani Kebencian
Kira-kira sejak setahun lalu saya mulai kembali memutuskan untuk mempelajari ilmu agama. Tak yakin apakah keinginan tersebut datang dari saya sendiri, atau karena pengaruh lingkungan dan gejolak-gejolak di linimasa. Ada semacam rasa gatal dalam diri saya ketika membaca “Anu itu aliran sesat. Anu yang lain itu kafir, tak sesuai aqidah. Jauh dari keislaman.”
Bah, apa-apaan? Saya tau ada yang salah dengan kecenderungan menyesat-nyesatkan atau bahkan mengkafirkan faham lain seperti itu. Namun, harus saya akui, ada manfaat yang saya dapatkan dari pola pikir takfiri ini, adalah bagaimana ia akhirnya memaksa saya mempelajari apa-apa yang mereka anggap sesat.
Awalnya saya mulai mempelajari faham-faham yang tervonis sesat ini melalui internet. Sayangnya, tak saya dapatkan apa-apa. Justru yang muncul di search engine adalah tulisan-tulisan dari kaum takfiri. Populer sekali memang faham takfiri ini.
Kekecewaan tak memberhentikan diri. Kepopuleran faham takfiri ini bahkan telah mewabah di kampus saya. Ketika itu masjid kampus mengadakan acara bedah buku. Tak perlu disebutkan di sini saya rasa, karena pembaca-pembaca tulisan ini yang aware terhadap isu-isu takfiri pasti tahu bedah buku apa yang dimaksudkan.
Yang sangat saya sayangkan dari teman-teman yang aktif dalam organisasi keagamaan kampus Telkom adalah; alih-alih melakukan pencerdasan, mereka malah mewabahkan penyesatan dan doktrin kebencian. Memang saya tak mengikuti acara tersebut, tapi alangkah beruntungnya(bila ini sebuah keberuntungan) ketika di linimasa muncul live tweet acara tersebut yang ditweet-kan oleh akun resmi masjid kampus (@MSUCenter).
Kepada teman-teman pengurus Masjid kampus, selamat atas keberhasilan menyebarkan pembodohan dan kebencian di kampus! Bukannya menjadikan masjid sebagai tempat yang dipenuhi kedamaian, malah menggunakannya untuk menyebar kebencian. Kasihan teman-teman. Tapi untuk itu saya pribadi berterimakasih, kejadian tersebut membuat saya yakin untuk tak lagi tertarik dengan organisasi keagamaan dan dakwah-dakwah yang ada di kampus, kampus Telkom khususnya.
Lain ladang, lain belalang. Di televisi yang agung tak sengaja saya tonton dakwah di RodjaTV, yang sampai sekarang ini ditonton juga oleh teman-teman sekolah, dan sayangnya juga oleh saudara saya. Dakwah tak sengaja tertonton itu menceritakan tentang pembantaian sunni oleh syi’ah di Syam, dan mujahidin sedang berjihad di bawah bendera hitam berlafalkan kalimat tauhid, ini yang harus kita bela! Begitulah kurang lebih yang saya tonton. Ah lagi-lagi ini dakwah macam ini, dakwah tak bermutu macam ini.
Ironisnya setelah dimana-mana jihadis bendera hitam itu dicap sebagai terroris, setelah kebiadabannya akhirnya diketahui, masih saja ada teman-teman yang membela kaum seperti ini. Masih menonton tv dakwah begituan. Apa yang sebenarnya teman-teman cari? Tak ada manfaat mendengarkan dakwah seperti ini, bila akhirnya teman-teman enggan untuk tabayun. Maaf, saya hanya gatal, tak bermaksud menggurui.
Minggu kemarin dalam perkuliahan, dosen saya menyatakan ketakheranan terhadap kaum-kaum takfiri yang dengan mudahnya membantai dan memenggal kepala orang. Jauh sebelum itu, ada sebagian yang mengaku sahabat malah memenggal kepala cucu Nabi. Maka saya tak kaget jika ada kaum-kaum seperti itu. Kurang lebih begitulah kata beliau. Blaise Pascal pernah mengatakan “Orang tidak akan pernah melakukan kejahatan secara tuntas dan penuh kebahagiaan sebagaimana kalau mereka melakukannya berdasarkan keyakinan agama.” Mungkin memang seperti ini yang dirasakan oleh para jagal bersorban itu.
Saya sepakat dengan perkataan dosen saya, memang benar; Sejarah telah meriwayatkan kebiadaban yang lebih besar.
Terakhir, mengutip Richard Dawkins dalam bukunya yang kontroversial, God Delusion. Ia mengatakan bahwa “Kebencian hanya perlu membuktikan bahwa ia religius, dan ia tak lagi dianggap sebagai suatu kebencian.”
Semoga, yang kita imani bukanlah kebencian.. Amin.