Sabbatical Leave
*Yang nulis Prima, aku cuma edit sedikit kutipan percakapannya karena Prima, anehnya, lupa-lupa.
*Yang nulis Prima, aku cuma edit sedikit kutipan percakapannya karena Prima, anehnya, lupa-lupa.
Orang harus kreatif mencari kegiatan selama karantina, tapi rupanya tak cukup banyak kegiatan fisik yang bisa dilakukan. Aku sudah membersihkan rumah, memberi makan kucing lalu mengosongkan bak kotoran, dan memanggang kue pada jam 5 pagi. Setumpuk pekerjaan menunggu disentuh, juga alat penahan kaki untuk sit up yang teronggok di atas meja, tapi yang kubicarakan bukan kegiatan yang mengerutkan dahi dan membuat otot perut sakit.
Biasanya aku menelepon atau ditelepon Edo sehari dua kali, saat bangun tidur dan setelah kami selesai bekerja di kantor. Di masa karantina, sementara kecepatan koneksi internet turun, kami mulai bertelepon sehari tiga sampai tujuh kali. Lama-lama obrolan pun habis.
“Halo, Yang?”
“Halo.”
“Sedang apa?”
“Rebahan aja. Kamu?”
“Seperti yang bisa dilihat. Sama.”
“Tadi makan apa?” disusul tanya jawab template. Kami sama-sama tak yakin akan bisa bertemu dalam dua bulan ke depan. Jika kenyataannya demikian mungkin obrolan kami bisa dipindahkan ke Google Form.
“Yang?”
“Hm?”
“Mengkhayal aja yuk. Bosan,” kataku setelah untuk kelima kalinya seminggu ini, kami membahas apa yang harus kuberikan saat Edo ulang tahun September nanti.
“Kalau kamu mengambilsabbatical leave, misalnya setahun, kamu bakal ngapain aja?”
Aku sudah lama menyimpan keinginan untuk mengambil waktu sabatikal, libur bekerja selama seperiode tertentu, jika tabunganku sudah lumayan. Ketika waktu itu datang aku akan mengungsi ke kota baru. Di sana aktivitas sehari-hari akan kuisi dengan membaca buku-buku yang selama ini kutumpuk, menonton banyak film, belajar beberapa bahasa asing, dan menekuni ulang teknik menulis dan editing.
Ketika aku berulang tahun ke-28, aku mulai berpikir bahwa sabbatical leave ini harus segera diambil atau semuanya akan terlalu terlambat. Hitung-hitung saja, ketika masuk umur 30 aku akan mulai panik soal pernikahan. Belum lagi prediksi usia terbaik untuk punya anak. Ketika menikah dan punya anak, aku akan terlalu sibuk dan terlalu khawatir tentang kondisi keuangan. Pintu untuk rehat dari kerjaan langsung menutup begitu pernikahan dilangsungkan, dan baru terbuka lagi ketika sudah waktunya aku masuk usia pensiun.
Menikah bukan satu-satunya hambatan. Ambisi dan saldo tabungan adalah rintangan yang sekarang lebih eksis. Aku sulit membayangkan bagaimana nasib pekerjaanku jika aku menghilang setahun.
Anggaplah segala macam persoalan menikah, punya anak, dan ambisi karier bisa ditemukan jalan keluarnya, masih ada masalah tabungan. Setidaknya aku butuh dua tahun untuk mengumpulkan modal hidup leyeh-leyeh tanpa pemasukan. Gagasan ini jadi sangat rumit sehingga kadang kala sebaiknya jadi khayalan saja.
Edo, pacarku, adalah seorang analis data di sebuah perusahaan di Jakarta. Kami bertemu pertama kali lima tahun lalu di sebuah lomba menulis. Awal tahun kemarin kami bertemu kembali dan enam bulan kemudian, di kuarter ketiga 2019, kami mulai berpacaran. Aku menyukainya karena tulisan-tulisannya bagus, ia sangat tekun membaca, jadi aku pikir seandainya ia punya setahun yang luang, cita-citanya tak akan jauh-jauh dari impianku.
Dia diam sejenak setelah pertanyaanku.
“Mmm, mau jadi nelayan.”
“Hah?”
“Mancing di tepi pantai. Pemancing yang duduk di kayu kayak tongkat di atas pasir itu lho, Yang.”
“HAAAH?”
“Kamu pernah lihat nggak pemancing yang duduk kayak gitu?”
“Nggak lah. Emang ada? Kamu ngapain pengin sabbatical leave buat gituan? Mau kayak Hemingway ya?”
“Hemingway mancing?”
“Iya, di Kuba. Makanya dia nulis Old Man and the Sea. Kamu mau niru gitu?”
“Dia kan mancingnya di perahu ya?”
“Iya.”
“Ini di atas kayu. Aku belum baca Old Man and the Sea, bagus? Salju Kilimanjaro pernah baca tapi nggak habis.”
“Aku suka Hemingway. Orang melankolis biasanya suka Hemingway. Kamu baca Inggris atau terjemahan? Salju terjemahannya jelek.”
“Terjemahan. Masak sih, kayaknya Gramedia. Masak jelek?”
“Bukan, Obor.”
“Masak sih?”
“Obor. Kamu baca yang sampulnya biru keabu-abuan?”
“Iya.”
“Obor. Tapi kenapa mancing sih?”
”Duh, itu namanya apa ya?” sambil terus bertelepon ia mencari sesuatu di Google. Atau Duck Duck Go. Entahlah.
“Nah, kayak gini,” ia bicara sendiri. Aku tak tahu apa yang ia maksud.
“Maksudnya gimana sih?”
“Oooh, egrang ternyata, Yang. Coba kamu cari “stilt fishing”. Tapi ini kok Sri Lanka ya. Kayaknya aku pernah lihat langsung kok.”
Aku ketawa keras banget. Nelayan Sri Lanka ternyata punya tradisi memancing di atas cagak kayu yang diberi palang untuk tempat duduk di pemancing. Cagak itu ditanam di tengah air yang dalam. Aku membayangkan Edo melakukan pose seperti itu dan gambaran itu sama sekali tak cocok dengan kebiasaannya rebah, rebah, dan rebah setiap hari sampai-sampai dijuluki teman serumahnya sebagai manusia tak bertulang.
“Kenapa nggak ada foto yang Indonesia ya? Padahal aku pernah lihat. Hebat ya mereka.”
“Hahaha. Kenapa sih kamu mau ikut begituan?”
“Hehehe.”
Aku masih tertawa sedikit-sedikit melihat foto nelayan Sri Lanka. Kami menemukan paket wisata seharga 50 dolar untuk merasakan pengalaman memancing di atas cagak itu. Ya, Do, nanti kita coba kalau virus corona sudah selesai.
“Yang?” ia memanggilku.
“Ya?”
Di layar telepon video kami, ia tersenyum. Jerawat besar di dahinya samar karena hari mulai sore dan kamarnya makin gelap.
“I love you.”
“I love you too.”
Chat di g00gl3 d0csPrima: HALO CINTAKUUUUU Prima: SEDANG NGEDIT YAAA Edo: KENAPA KAMU BANYAK KURSI KURSI SIH Edo: AKU BILANG KAN KAYU Prima: AKU INGATNYA KURSI Edo: PEKOK, DASAR Prima: EH BAJINGAN. MINTA DIPUTUS YA. Edo: nGA. BAIKANNYA SUSAH NTAR. GA USAH ANEH2 Prima: KOK LUCU SIH CHAT DI GOOGLE DOCS HEHE Prima: YAAAANG Prima: YAAAAAANG Prima: YAAAAAAAAAAAAAAANG Edo: Heh Edo: SIK NGEDIT Prima: HASH Prima: Yang aku cinta kamu Edo: Ya aku tahu Edo: Ini apaaan sihhhhh aku tu pusing kelaparan Prima: Hahahaha Prima: Yaudah masak bubur, 15 menit matang Edo: Lha kan majikomnya dipakai masak nasi piye to kamu iniiiii Prima: Kan pekok kan. Masak bubur pake panci juga bisa cintaku. Atau pakai teflon. Prima: Jangan manja.