Radikalisme Agama

Kemarin ‘Kantin Filsafat’ membahas tentang isu radikalisme agama, yang sekarang hampir bisa dikatakan bahwa isu tersebut menggonjang-ganjingkan jagad Nusantara, atau bahkan, dunia.– oke, ini lebay.

Kantin Filsafat malam itu dimulai dengan penjelasan oleh Pak @syarafmaulini, tentang apakah itu radikalisme. Radikalisme menurut penjelasan beliau adalah suatu faham yang ingin kembali ke-akar. Sesuai dengan kata radic yang berarti akar. Radikalisme juga senada dengan fundamentalisme, yang berarti kembali ke fondasi atau dasar. Sampai batas-batas tertentu faham ini memang bertujuan baik, karena memang ajakannya untuk kembali ke konsep-konsep dasar atau akar dari sebuah agama. Hingga ia merubah dirinya menjadi ekstrimisme, dengan memaksakan fahamnya ke orang lain dengan menempuh jihad palsu, yakni kekerasan.

Radikalisme dalam agama(Islam) timbul karena ketidakpuasan terhadap sistem yang telah ada, juga merupakan sebuah usaha untuk membentengi diri dari terjangan faham-faham liberal Barat. Hal lain yang mempengaruhi radikalisme adalah kecenderungan untuk merindukan kejayaan masa lalu, misal pada zaman Kanjeng Rasul di mana penyimpangan-penyimpangan, dan nyaris segala masalah bisa diatasi dengan kehadiran Sang Illuminator. Kerinduan pada zaman kekhalifahan yang dalam kisah-kisah telah membawa Islam dalam puncak kejayaan, yang akhirnya dari faham radikal ini lahir laskar-laskar untuk menegakkan kembali kekhalifahan Islam. Seperti HTI, atau IS untuk pentas dunia.

Mengapa faham radikal dan isu khilafah bisa dengan mudah menyebar dan mendapat dukungan dari kalangan muda Indonesia? Banyak dari teman-teman saya yang beragama dengan cara ini, yang memang tak sepenuhnya salah. Tapi kenapa? Kenapa banyak dari teman-teman lebih mudah menerima faham ini? Jawaban dari Pak Syarif adalah, bahwa kalangan muda seumuran saya sedang mengalami masa keterombang-ambingan. Dalam terpaan angin yang kencang, maka manusia umumnya akan mencoba berpegang pada dahan yang paling kuat, yakni agama. Tapi bukankah agama memiliki banyak penafsiran?

Penafsiran agama yang ditawarkan kaum fundamentalis adalah tafsir secara tekstual, tanpa memperhatikan konteks. Yang memang tafsir agama semacam ini lebih mudah diterima oleh kalangan muda, karena kecenderungannya untuk menyadarkan segalanya pada teks kitab suci. Karena tak perlu memaksimalkan akal, tak perlu melihat konteks latar belakang sebab turunnya ayat suci, kebudayaan di mana ayat tersebut diturunkan, maka tentu tafsir tekstual lebih diterima oleh kalangan muda yang malas dalam berpikir.

Tapi, bukankah banyak juga kalangan terpelajar, kalangan cendekia yang terpengaruh dan bahkan turut menyebarkan faham seperti ini, bukankah kalangan tersebut bukan termasuk orang yang malas berpikir?

Memang benar, dan memang sulit untuk menyimpulkan jawaban. Bahkan lucunya ajaran agama yang fundamentalis justru malah dengan cepat menyebar ke kalangan anak-anak yang mempelajari ilmu pasti, daripada anak-anak yang mempelajari ilmu sosial. Seperti yang sudah sering kita dengar, ITB, sekolah teknologi terkenal itu kini diplesetkan menjadi Institut Tarbiyah Bandung. Atau bahkan di kampus Telkom sendiri, faham ini begitu mudah menyebar. Apakah anak-anak eksak sudah malas berpikir, dan akhirnya lari ke tafsir agama yang tak membutuhkan terlalu banyak proses pikir? Mungkin itu salah satu keajaiban manusia, dalam satu waktu bisa begitu pintar sekaligus begitu dungu.

Tak takut lagi ketinggalan

Daftarkan email Anda untuk berlangganan nawala.
[email protected]
Langganan