Qabil

Pada satu siang di bawah pohon satu-satunya di padang itu, Adam termenung. Ia melihat anak-anaknya yang sekarang sudah akil baligh. Syahwat mereka mulai berontak, ingin disalurkan — dalam istilah Jawa, anak-anak Adam ini sedang mengalami apa yang disebut dengan kaceren. Adam berdoa, memohon petunjuk pada Yang Telah Menurunkannya dari Surga. Lalu, turunlah ilham untuk mengawinkan anak-anak Adam.

Adam dhawuh pada keempat anaknya untuk segera menikah, supaya gegar syahwat itu tak menjelma menjadi sebuah perzinaan. “Menikahlah kalian wahai anak-anakku, agar jimak kalian dapat dimaknai sebagai hal yang sakral,” kata Adam penuh kewibawaan. Anak-anaknya yang sedang kaceren merespon dengan luar biasa, bertempik sorak, berbahagia.

Eit, tapi ingat…!” kata Adam sambil mengacungkan telunjuk di depan muka.

“Ingat apa, papa?” kata anak-anak yang sedang puber itu berbarengan.

“Jangan kalian menikah dengan saudara kembar kalian sendiri!”

Qabil, anaknya yang paling pintar dan revolusioner terdiam sebentar. Ia langsung memikirkan akibat dari larangan papanya itu. Sebuah mimpi buruk. Qabil menyadari bahwa larangan itu tak lain adalah “perampasan hak memilih pasangan untuk bercinta” dalam bentuknya yang paling mutakhir. Dan, karena pelarangan ini, nantinya Adam akan dikenal sebagai manusia yang melampaui zamannya.

Qabil merasa diperkosa, ia lalu sadar bahwa ia adalah moyang dari Siti Nurbaya. Yang dicinta dan dihasrati oleh Qabil adalah saudara kembarnya sendiri: Iklimaya. Qabil tak terima, ia menggugat papanya.

“Papa! O, papa! Aku anakmu ini hanya menginginkan saudara kembarnya sendiri. Aku mencintai Iklimaya, papa!”

“Betulkah anakku? Apa buktinya kalau kau memang mencintainya?”

“O, papa, pertanyaanmu itu, betapa konyolnya. Cinta sejati tak pernah perlu bukti, papa!”

Eva yang sejak tadi ikut menyimak sambil memilin-milin rambut, tertawa. Ia ingat Adam pernah mengatakan hal yang sama kepadanya. Adam yang kenal betul dengan klise ini, berkata, “Omong kosong, nak! Cinta butuh bukti. Lebih dari itu, cinta butuh segalanya!” Eva cekikikan. “Halah, Adam iki ora cetho blas. Ra masuk blas, Dam,” batin Eva.

Qabil tak mendengar jawaban Adam yang buruk itu. Ia justru memandangi langit yang terpapar paripurna di atasnya. Ia membentangkan tangannya dan berkata,

O, Tuhan. Bila cintaku pada Iklimaya terlarang, mengapa Kau bangun megah perasaan ini dalam sukmaku?”*

Adam dan Eva saling pandang, terheran-heran. Mereka kaget anaknya ternyata edan. Dan rupanya, Tuhan mendengar gugatan Qabil. Ia lalu membisikkan ilham baru pada Adam dengan cara-Nya yang paling misterius. Adam mengangguk, menjawab, “Siap 86!”. Tak ada yang heran, mereka semua tahu, tentu saja Tuhan mengerti.

Di bawah pohon rindang, di satu tempat yang sekarang ini dikenal dengan nama Serengiti, Adam sedang bersiap-siap memberi maklumat. Eva, juga semua anak-anaknya, tegang. Yang paling tegang di antara mereka adalah Iklimaya. Bagaimana tidak, ia dianggap seperti piala yang mesti dimenangkan oleh saudara serta kakak kembarnya sendiri. Ia gugup, malu-malu, tapi sebenarnya merasa bangga luar biasa.

“Setiap dari kalian harus mengurbankan hasil kerja masing-masing pada Tuhan. Taruh qurban kalian di atas bukit, sebulan setelah hari ini. Ia yang qurbannya melesat ke langit bersama cahayalah yang berhak menikahi Iklimaya,” kata Adam to the point saja.

Semua menyimak betul-betul. Iklimaya bergetar. Pakaian primitifnya telah kuyup oleh keringat. Bagian tubuhnya yang terbuka tampak mengilap.

“Lalu, binatang buas akan menghabisi qurban yang tak diterima. Demi Tuhan, lakukanlah dengan sebaik-baiknya, anak-anakku!” Adam mengakhiri maklumatnya.

Habil menggigit-gigit bibir bawahnya. Sedangkan Qabil yang cerdik dan revolusioner, tersenyum saja. Qabil tahu… Qabil selalu tahu bagaimana memenangkan Iklimaya.

“Binatang buas akan menghabisi qurban yang tak diterima,” Qabil mencoba mengulangi kata-kata Adam. Qabil lalu memilih untuk bercocok tanam saja. Binatang buas yang dimaksud papanya pastilah sabretooth, atau aligator purba. Tapi, karena qurban diletakkan di atas bukit, maka yang paling mungkin adalah perkiraan yang pertama tadi. Ah, apa pun itu, tak jadi soal. Yang penting jangan berqurban daging, pikir Qabil.

Maka dari itu, Qabil bercocok tanam. Ia menyulap tanah tandus Serengiti menjadi subur. Ia percaya, binatang buas macam sabretooth atau serigala takkan mau memakan sayuran.

Qabil begitu semangat. Dalam tiap cangkulan ia menderas nama Tuhan yang ada dalam Iklimaya. Tetesan keringatnya, bercampur air cinta yang muncrat ketika membayangkan Iklimaya-lah yang menyuburkan benih yang ia tanam. Benih cinta pada Iklimaya. Bunga-bunga mekar di sekeliling ladang.

Lalu, tibalah waktu yang dijanjikan. Seperti Sysiphus, Qabil mendorong gerobak berisi hasil panennya ke atas bukit. Gerobak berisi hal yang takkan diminati binatang buas. Qabil bersiap meminang Iklimaya. Rencananya sudah matang… terlalu matang.

Dan, kenyataan berkata lain.

Betapa aneh, justru qurban Habil yang berupa daginglah yang diterima. Qabil kecewa berat. Strategi yang disusun seapik mungkin, ternyata kacau begitu saja. Tanpa penjelasan yang rasional, cahaya itu melesat ke langit bersama dengan qurban Habil. Menyisakan qurban hasil panen Qabil di puncak bukit, yang tak tersentuh juga oleh binatang buas.

Qabil menangis, air matanya konon sekarang menggenang menjadi rawa paling rahasia di Serengiti.

***

Cain Abel — Albertinelli

Hampir setiap orang tahu kelanjutan kisah ini. Qabil membunuh Habil dan meminang Iklimaya. Itulah pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia. Lalu Qabil melihat gagak mematuk tanah, menggalinya, membuat kuburan untuk kawannya yang mati. Dari situ Qabil belajar cara mengubur sekaligus menyembunyikan dosa. Akan tetapi, pembunuhan itu adalah perihal lain lagi.

Yang akan dituliskan di sini selanjutnya, adalah bagaimana kita, saya dan Anda — ditakdirkan — menjadi Qabil di era kekinian ini. Kita, sebagai Qabil yang mutakhir. Khususnya dalam hal memerjuangkan cinta.

Qabil telah mencontohkan pada kita bagaimana cara untuk memberontak pada takdir percintaannya. Ia “menggugat”, lewat papanya, kemudian langsung ke Tuhan. Qabil mengajarkan pada kita bahwa cinta harus dikejar dengan cara yang sebaik-baiknya — tentu saja lepas dari peristiwa pembunuhan yang amat disayangkan itu. Qabil telah merencanakan segalanya dengan matang dan penuh kehati-hatian. Tak ada cela dari rencana Qabil, mulai dari usaha memrotes papanya, memroklamirkan perasaan megah yang terbangun dalam sukmanya, hingga sampai pada qurban dalam bentuk bagaimana yang mesti ia berikan. Segalanya telah terpikirkan dengan cermat. Tapi tentu saja, nasib lebih memilih untuk mengecewakan Qabil.

Langkah Qabil yang pasti, tak goyah, revolusioner, justru berujung pada kegagalan. Kegagalan besar yang akhirnya memicu kegagalan-kegagalan lain setelahnya. Syekh Amongraga pernah berkata, begini kira-kira, “Setiap jalan yang lurus pasti ada kubangannya”. Dan itulah yang dirasakan (atau diderita) oleh Qabil, keblowok, jatuh dalam kubangan. Bercampur lumpur dan tinja.

Barangkali, sebagian dari kita pernah merasakan hal yang sama. Kita menduga sudah merencanakan segala hal dengan matang. Bertemu seseorang, berkenalan, bertukar pesan lalu menjanjikan sebuah perjumpaan. Entah itu di kafe, perpustakaan, atau toko buku.

Kita merasa sudah merencanakan perjumpaan dengan matang. Rencana perjumpaan yang sematang rencana tokoh Hidjo dalam novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo. Dalam sebuah fragmen, Raden Adjeng Banjoe Biroe — tunangan Hidjo — mengajaknya untuk berkencan di bioscoop. Hidjo menjawab, dengan sangat romantis, “Nee, Lieve,” (Tidak, jantung hatiku), sembari mendekatkan mulutnya ke telinga Raden Adjeng Banjoe Biroe seolah ingin menciumnya. “Kita mentjari tempat di Restaurant sadja jang sedikit gelap dan omong-omong di sitoe.” Betapa maut cara yang dilakukan oleh Hidjo. Betapa paripurna.

Sekarang anggaplah kita telah berhasil mengajak seseorang itu untuk keluar, ke tempat yang paling nyaman, di mana pun itu. Katakanlah, kita berhasil mengajaknya ke kafe. Ngopi dan membincangkan filsafat, buku, dan segala hal lainnya tanpa mengusik masa lalu. Kita sedang mengukir kenangan baru.

Lalu… perbincangan sampai pada agama. Oh, sama, Islam juga. Lalu kita merasa sedikit aman. Dan tiba-tiba, “Hmm… Islam-mu model apa?”

Ruangan kafe itu seketika berputar-putar di kepala. Semut-semut berhenti mengangkut gula yang tercecer di atas meja. Kita melihat ke luar. Di atas tiang listrik, kita melihat seekor gagak yang besar dan legam. Di tanah dekat aspal, kita lihat gagak lain terkapar. Gagak di atas tiang listrik itu turun, mematuki tanah di samping gagak lain yang terkapar. Dan kita — yang sebenarnya sedang duduk di kafe itu dan berhadapan dengan seseorang — merasa menjadi gagak yang mematuk tanah itu. Bedanya, yang kita lakukan adalah menggali kuburan untuk kita sendiri. Atau haruskah kita membuat terkapar orang di hadapan kita ini?

Dalam sosial-ekonomi, barangkali berdebat hal-ihwal perbedaan agama adalah sesuatu yang tak ada pentingnya lagi. Akan tetapi, perdebatan soal agama, mazhab, sekte, atau apa pun itu, tampaknya memang belum habis dalam perjuangan cinta.

Jangan merasa aman; sebab ternyata cinta perlu tahu apa mazhabmu. Apakah kau bersujud di atas tanah atau sajadah, apakah ketika sholat tanganmu lurus atau bersedekap, dan apakah di akhir kau menoleh atau bertakbir.

Kita gagal. Mewarisi kegagalan moyang kita Qabil. Kita gagal dalam cinta, sebagai Qabil yang mutakhir.

* dipinjam dari Rahwana dalam lakon Rahvayana karya Sujiwo Tejo.

Tak takut lagi ketinggalan

Daftarkan email Anda untuk berlangganan nawala.
[email protected]
Langganan