Pram(puan)
Aku dipertemukan dengan dosen paling keren sejagad kampus yang mendaku kelas dunia ini.
Buku itu terjepit di antara buku Sidney Sheldon dan buku paket IPA untuk kelas 4 SD di lemari di dalam ruangan yang biasa digunakan keluarga untuk menonton televisi. Mama membawanya pulang dari pameran buku di kampusnya di Kediri, dengan mahar sebesar sepuluh ribu rupiah. Buku bajakan.
Kuambil buku itu. Sampulnya bergambar serombongan keluarga yang sedang naik dokar, dengan judul tercetak di bawah memakai huruf kapital, BUMI MANUSIA. Kualitas kertas dan cetakannya sudah pasti celaka — kertas koran dengan keburaman fotokopi di sana-sini, lengkap dengan beberapa halaman yang hilang entah ke mana. Kubaca tulisan di sampul belakang, ada foto pengarang, dan kutemukan di situ, kalimat yang belakangan aku tahu paling sering dikutip oleh orang-orang,
“Kita kalah, Ma,” bisikku.
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Kususun buku itu ke deretan buku novel. Waktu itu, aku memang sedang menata buku, memilah mana buku pelajaran punya adik, mana buku komik, mana novel, mana puisi, mana buku agama, dsb., dst.. Kutemukan juga buku-buku yang nyaris habis dimakan rayap sialan. Musuh bebuyutan itu.
Aku belum tertarik padanya waktu itu. Aku sedang gandrung membacai buku tentang sufi dan buku-buku tentang kebatinan Jawa. Cetakan yang sangat buruk itulah yang mungkin memengaruhi minat bacaku terhadapnya.
Baru pada kepulangan selanjutnya (4 bulan setelahnya), kuambil buku itu dan memasukannya dalam tas untuk dibawa ke Bandung. “Nanti kubaca di kereta yang kurang ajar dinginnya itu,” pikirku. Di kereta, aku duduk di dekat jendela. Dari Kediri, kereta masih sepi, karena kebanyakan penumpang naik di Blitar dan/atau Madiun. Di depanku ada seorang bapak-bapak membosankan yang berkisah tentang akiknya yang mahal, yang nantinya aku tahu dia tentara. Kukeluarkan buku dari tas, membaca ulang sinopsisnya sebelum memulai halaman pertama: ”Orang memanggil aku: Minke!”
Siapa yang tak hanyut. Tiga perempat perjalanan di kereta kuhabiskan dengan membaca buku itu secara religius. Khusyuk. Kebanggaan atas kejawaanku ambrol. Diserang bertubi-tubi. Di kereta itu, aku baru tahu arti sesungguhnya dari adagium buku adalah jendela dunia. Dari buku itu, aku mulai sadar bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Buku itu mengubah haluan bacaku — dan mungkin juga orang-orang lain — sampai sekarang. Dari yang melulu tentang tuhan dan agama, menjadi tentang manusia. Cerita tentang orang-orang yang dikalahkan, tentang kenyataan yang, tak melulu sama dengan apa yang dibayangkan. Tentang bagaimana melawan manusia-manusia yang menjijikkan. Kuselesaikan buku itu dalam dua hari. Dan dari buku itu juga aku menumbuhkan minat untuk mempelajari sejarah.
Seperti itulah perkenalanku dengan karya Pram. Mama berperan besar dalam perkenalan ini. Mama, sebagaimana bunda dan Nyai Ontosoroh, yang juga dipanggil Mama oleh Minke, bukankah selalu memberi dan mengajarkan hal-hal yang menakjubkan?
“Ah, Mama,” kata Annelies dengan manja.
Setelah itu, aku mencari esai-esai tentang Pram di mesin pencari. Kutemukan banyak sekali. Kubaca satu-satu. Aku penasaran betul. Kucari buku kelanjutannya di toko-toko buku besar di Bandung. Tak ada. Kucari di Palasari. Ada. Bajakan semua. Anjing. Aku baru baca di sebuah tulisan bahwa Pram sendiri sangat kecewa dengan pembajakan ini (juga dengan beberapa karyanya yang dilarikan). Maka aku ingin yang asli. Aku cari di penjual buku Facebook. Tetralogi Buru. Anjing. Harga selangit. Tak masuk akal. Menyedihkan. Saldo di ATM jelas tak cukup. Anjing. Anjing. Anjing. Mengutip kata teman, “Tak pernah aku merasa seedan ini.”
Alangkah beruntungnya, tuhan mengirimkan bala bantuan. Aku dipertemukan dengan dosen paling keren sejagad kampus yang mendaku kelas dunia ini. Seorang dosen perempuan. Sudah bergelar Doktor. Cantik tidaknya, tentu tak perlu dipersoalkan di sini dan bukan hak saya untuk menghakimi. Lagian itu tak penting-penting amat. Yang jelas, ibu dosen ini punya satu set tetralogi cetakan Hasta Mitra. Kelanjutan buku Bumi Manusia kubaca dengan meminjam darinya. Kan, sebagaimana dalam roman karya Pram itu, perempuan-perempuan yang ada di sekitar (Minke) selalu memberi dan mengajarkan hal-hal yang menakjubkan.