adityawarmanfw

Pram: Ceritaku Sudah Habis

“Ceritaku sudah habis.” — Ujar Pram malam itu, melalui tokoh Minke kepada Annelies yang manja.

“Ceritaku sudah habis.” — Ujar Pram malam itu, melalui tokoh Minke kepada Annelies yang manja, yang merengek memintanya untuk bercerita. Dan memang itu yang dilakukan Minke setiap malam ketika Ann sakit, bercerita kepadanya, hingga Ann lelap dalam tidurnya. Tapi malam itu, ia mengaku kehabisan cerita.

Di atas adalah sebuah fragmen dari sebuah tetralogi yang terkenal, Bumi Manusia. Dan Pram yang saya maksudkan juga pasti sudah jelas, tak lain dan tak bukan, ialah Pramoedya Ananta Toer. Seorang bumiputra, yang dengan karya-karyanya berkali-kali menjadi kandidat pemenang Nobel Sastra. Satu-satunya dari Indonesia.

Karya-karya Pram banyak bercerita tentang sejarah perjuangan bangsanya. Seperti dalam Tetralogi Buru yang tak hanya menceritakan rangkaian kejadian masa lalu dengan gayanya yang khas, tapi juga berhasil menyeret pembacanya untuk ikut bergerak dalam arus penghantaman balik pada praktik kolonialisme dan imperialisme. Membuat pembacanya menjadi saksi dalam episode-episode awal perjuangan bangsa, yang akhirnya memaksa kita mempertanyakan kembali definisi yang tepat dari nasionalisme, humanisme, keberanian, dan perjuangan.

Ketika diwawancarai oleh Kees Snoek pada tahun 1992, dengan karya-karyanya Pram berharap dapat memberikan kekuatan kepada para pembacanya untuk terus berpihak pada yang benar, pada yang adil, dan pada yang indah. Ia berharap bagi siapa pun yang telah membaca karyanya, akan menjadi semakin berani. Lebih berani. “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?” ujarnya.

Tapi bagaimana membacamu sekarang ini, Pram?

Rezim Orde Baru, telah secara berdosa membredel, mengoyak, karya-karya Pram juga pribadinya. Bahkan membakar karya Pram, menjadi semacam hobi bagi mereka. Sederhana saja, karena dianggap mengandung ajaran komunis. Bicara tentang bakar-membakar, saya ingat Pram juga memiliki kegemaran yang sama yaitu membakar. Bedanya adalah Pram gemar membakar sampah, sedang satunya gemar membakar karya. Ya, karyanya dibakar sampah.

Namun, Alhamdulillah, sekarang kita telah berada dalam era demokrasi, yang selalu diidamkan dan dipercaya oleh Pram. Era pembredelan dan pembakaran buku sudah berakhir. Karya Pram yang tadinya dilarang telah diterbitkan kembali. Tapi tetap saja, mendapatkannya tak mudah. Tak murah. Karya Pram, masih tetap menjadi barang yang langka.

Beruntunglah bagi yang telah berkenalan dengan karya-karya Pram. Terutama jika telah mengenalnya ketika masih muda. Karena Pram sendiri menaruh harapan yang besar kepada generasi muda untuk dapat memajukan bangsa, “…angkatan muda itu mewakili masa depan,” kata Pram.

Bagaimanapun juga, karena kelangkaannya, juga harganya yang mahal — karya Pram, bahkan sekedar namanya saja, Pramoedya Ananta Toer, boleh jadi tak lagi dikenal oleh generasi muda. Toko buku besar dan populer, yang ramai pengunjung muda, sekarang malah dipenuhi dengan buku-buku motivasi, buku jalan pintas selamat dunia akhirat karya ustadz televisi dan ustadz Twitter. Ironis memang, sekarang generasi muda yang dulu selalu dibanggakan oleh Pram, lebih mengenal sosok dan karya Felix Siauw daripada Pram sendiri. Lebih ironisnya lagi, melihat dari kicauannya di linimasa, Felix adalah seorang yang anti terhadap demokrasi. Demokrasi yang telah diperjuangkan Pram dalam karyanya, juga sepanjang hidupnya.

Perjuangan manusia bumiputra dalam usaha mencari nilai kebangsaan, membela kemanusiaan, melawan tiran yang ditulis Pram dengan indah dalam bukunya ternyata kalah oleh buku-buku propaganda khilafah, jihad dan panduan praktis masuk surga. Kalah juga oleh novel-remaja yang menye-menye. Tak sedikit pula generasi muda yang meyakini kebenaran fatwa yang menyebutkan bahwa demokrasi merupakan sebuah sistem haram. Produk kafir yang merupakan upaya untuk melemahkan umat Islam.

Generasi muda, yang dibanggakan Pram, seolah tak peduli lagi pada bangsanya sendiri. Merongrong demokrasi, padahal propaganda khilafah itu takkan bisa hidup tanpa tegaknya demokrasi. Generasi muda sekarang sedang asik berlomba-lomba menjadi agen khilafah dan bahkan menjadi simpatisan ISIS. Gadis muda sekarang memuja memuji kebudayaan Jepang yang katanya luhur dan berbudi, mengelu-elukan kebesarannya, yang sebenarnya tak lebih besar daripada bangsa sendiri. Seperti yang saya ketahui dari buku Pram, “Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer”. Generasi muda ini, meminjam istilah pram: seperti kacang yang telah lepas dari lanjarannya.

Februari tahun ini, mestinya usia Pram genap 90 tahun. Tapi beliau, penulis kelahiran Blora itu, kini benar-benar tak bisa bercerita lagi. Ia telah berpulang 2006 lalu, ketika usianya 81 tahun. Padahal Pram pernah diramalkan oleh seorang peramal untuk hidup barangkali hingga 100 tahun. Tapi tentu saja, Tuhan lebih tahu usia manusia dari pada peramal itu.

“Mama punya banyak cerita, Ann.” Sambung Pram melalui Minke. Ya, memang banyak orang lain yang bisa bercerita. Tak hanya Pramoedya yang bisa bercerita.

Tetapi Annelies menjawab, dengan jawaban yang saya kira masih cocok dipakai hingga saat ini, “Ceritamu selalu lebih bagus.”

Walaupun kini tak bisa bercerita lagi, saya yakin cerita tentang Pram takkan pernah habis. Walaupun ia tak bisa lagi membaca dan menulis, tapi cerita tentang Pram akan terus-menerus dibaca dan ditulis.