adityawarmanfw

Penghujung Desember: Yang Gerimis

Untuk sebuah ulang tahun.

*Untuk sebuah ulang tahun.

Lagi-lagi terlambat. Mestinya ini ditulis pada bulan lalu, pada penghujung Desember. Dan sekarang sudah menjelang akhir Januari. Tapi, aku ingin kamu anggap tulisan ini tidak terlambat. Anggap saja sekarang ini masih hari-hari pada akhir bulan Desember. Yang gerimis.

Dalam sebuah bagian, pada tulisan sebelumnya, aku pernah berbicara tentang betapa menyedihkannya orang-orang yang merayakan ulang tahun. Dalam tulisan itu aku menganggap bertambahnya usia sangat tak patut untuk dirayakan. Barangkali aku ingin sedikit merevisinya. Dalam tulisan ini.

Nampaknya wajib ada pengecualian yang dibuat. Karena nyatanya memang ada beberapa hari kelahiran yang harus dirayakan. Dirayakan dengan berbahagia. Disyukuri dengan segenap hati. Misal, hari lahir Putra Perawan yang pernah kutulis sebelumnya, Milad Kanjeng Nabi Saw., dan kelahiran-kelahiran yang lain lagi. Kelahiran manusia-manusia yang mulia dan suci. Yang jelas-jelas tak boleh dibasahi dengan kesedihan. Boleh pun basah adalah karena tangis kebahagiaan, atau tangis kerinduan.

Memang, aku telah salah menganggap bahwa setiap perayaan hari ulang tahun adalah sebuah perbuatan menyedihkan.

Perubahan pikiran ini juga mulai terjadi saat menjelang hari ulang tahunmu. Ketika aku ragu untuk memberikan sekedar ucapan, padamu. Apalagi memberikan sesuatu, tak pernah terbesit dalam pikiranku sebelumnya. Sampai saat aku melakukan pembacaan ulang pada sebuah buku, yang sekarang sudah berpindah tangan menjadi milik orang lain. Atau yang entah sekarang berpindah ke tangan mana lagi. Tapi itu tak penting. Yang penting adalah(betapa beruntungnya), sesaat sebelum melepaskan buku itu, aku sempat mengabadikan lembar-lembarnya dalam foto. Tersimpan rapi dalam galeri laptopku, yang kini makin renta dan kian usang. Tak tahu apakah waktu ataukah kemajuan teknologi yang lebih ganas menghabisinya.

Buku tipis, sebuah antologi puisi berjudul “Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan,” karya seorang cerpenis, Agus Noor. Yang kudapatkan secara langsung dalam acara pembacaan puisi oleh sang pengarang sendiri, dalam sebuah malam gerimis di sebuah kafe kecil di Bandung. Lengkap dengan tanda tangan dan sebait doa. “Untuk …, Semoga terselamatkan dari kesedihan,” tulis doa itu. Ya, semoga pemiliknya yang sekarang masih tetap mengamini doa itu. Sebagaimana aku.

“Percakapan,” itulah judul dari salah satu puisi dalam antologi ini. Puisi yang paling kusukai. Bagiku ia indah, juga begitu dalam. Pemilihan katanya amat ‘mematikan’. Memang aku sendiri tak terlalu paham tentang nilai keindahan dari sebuah puisi. Seperti apa puisi yang baik itu, aku sendiri kurang tau pasti. Yang penting “Percakapan” bagiku adalah puisi yang baik. Barangkali penilaianku ini jangan terlalu dipermasalahkan. Apa yang kurasakan tentang puisi ini jangan dipertanyakan. Sesuai dengan adagium latin yang cukup terkenal, yang juga pernah dikutip oleh Dostoyevsky, ‘de gustibus non-est disputandum’, perihal rasa tak untuk diperdebatkan. Kali ini mari anggap saja bahwa puisi ini memang benar-benar bagus. Dan biarkan aku menyukainya.

Sesuai judulnya, puisi ini memang menuliskan sebuah percakapan, yang terjadi barangkali antara seorang kekasih dengan yang terkasih. Dibuka dengan sebuah percakapan dalam bait pembukanya,

“selamat ulang tahun, kamu.” / “selamat ulang tahun, waktu.” Disini, kita ketahui bahwa tak hanya ‘kamu’ yang sedang berulang tahun. Tapi ‘waktu’, yang ia sendiri tak tahu kapan dilahirkan, juga ingin diberi sebuah ucapan. Waktu yang seolah-olah sesuatu yang mati padahal ia hidup. Waktu yang seolah-olah sesuatu yang hidup padahal ia mati. Pada bait ini, atas kedalamannya, jawaban yang terkasih memang layak mendapatkan pujian. Kuharap nanti kamu mendapat kesempatan untuk membacanya, atau mendengarnya.

Dalam bait ketiga, dimana sang kekasih ingin memberikan sebuah kado, yang sangat ia inginkan, tapi yang juga ia sadari takkan bisa ia berikan, waktu. “andai kumampu, kuhadiahi kau waktu / waktu / yang / tak / akan / pernah / melukaimu.” Dalam tiap bait yang terbaca, puisi ini begitu mengejutkan. Setidaknya memang begitu yang kurasakan. Lantas yang terkasih menjawab, “aku inginkan waktu, yang tak membuatku pudar. / waktu yang tak hanya menyelamatkanku dari ketiadaan / tapi juga kesedihan. / waktu yang seperti sebuah ciuman.”

Seperti sang kekasih, andai saja bisa, aku juga ingin memberikanmu waktu. Tapi tentu saja itu adalah sebuah kemustahilan. Dan juga aku sendiri tak yakin apa kau menginginkannya. Apalagi dariku, yang bukan (si)apa-(si)apa, yang aku sendiri tak tahu pasti.

Dalam puisi, sang kekasih yang tak mampu memberikan waktu, mencari alternatif lain. Sebuah kompensasi. Ia lalu memberikan sebuah jam tangan, yang bukan sekedar untuk mengukur waktu. “untuk itulah kuberi kau jam tangan, cintaku, / untuk mengukur seberapa lama aku menjadi kebahagiaan dalam hidupmu.”

Tapi sudahkah aku menjadi sebuah kebahagiaan? Lagi-lagi aku tak tahu pasti. Dan sebab itu, aku tak memberikanmu sebuah arloji. Setidaknya tidak pada kali ini. Yang terkasih sendiri juga tak semata-mata terima dengan hadiah jam tangan itu, ia sangsi, “tapi untuk apa manusia membuat jam? / bila kebahagiaan dan kesedihan / tak pernah tepat waktu.”

Tak pernah tepat waktu. Seenaknya saja puisi itu, seolah-olah maha tahu dan pernah mengalami segala sesuatu. Tapi memang kebahagiaan dan kesedihan tak dapat ditebak kedatangannya. Aku kira kamu juga setuju pada bait itu. Bisa saja kebahagiaan itu datang, di waktu yang salah. Kerap kali ia memang tak pernah tepat waktu. Seperti “Eureka!” yang diucapkan oleh Archimedes dalam mandinya. “kebahagiaan, / memang tak pernah sederhana / seperti yang kerap dituliskan dalam buku. / kebahagiaan, selalu menjadi rahasia waktu.”

Dan… Masih pantaskah aku bila ingin memberikanmu sebuah kebahagiaan? Bila memang kamu anggap tak pantas, maka bisakah aku melepaskannya? Karena aku pun telah merasakan hal yang sama dengan yang terkasih, yang diungkapkannya dalam percakapan, “…aku selalu bahagia mencintaimu / sebab setiap kali aku memelukmu / ada sebagian dirimu di masa depan / yang tak akan pernah mampu kulepaskan.”

Ah, tidak.. Ternyata tak sepenuhnya sama. Aku tak pernah memelukmu. Aku masih hanya menatapmu.

Sekarang aku merasa beruntung telah menemukan sesuatu yang kiranya bisa kuberikan pada hari ulang tahunmu. Memang tak sebaik bila hadiah itu adalah waktu. Tak sebaik kebahagiaan yang dirahasiakan oleh waktu. Tak juga kekal dalam ingatanmu seperti ciuman yang menyelamatkan dari kesedihan. Tapi aku tetap berharap, kamu suka. Itu saja.

Sudahlah, cukupkan saja tulisan ini. Sapardi memanggilku. Mengingatkanku untuk tak lupa pada puisinya. Sebuah deklarasi untuk menolak keperkasaan waktu, “Yang fana adalah waktu. Kita abadi: memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa.”

Ya, Kita Abadi.