adityawarmanfw

Pengalaman Kami Mengobati Eksim Dermatitis Atopik pada Bayi

Bayi kami mengalami dermatitis atopik selama 4 bulan. Kami mencoba berbagai susu hipoalergenik dan krim steroid sampai akhirnya menemukan solusi yang tepat.

Prima Sulistya

Kio, anakku, terkena dermatitis (eksim, eczema) sewaktu berusia 4,5 bulan. Persisnya ia menderita dermatitis atopik. Kejadiannya tak berselang lama dari mulainya Kio minum susu formula, usai ASI-ku makin seret. Eksim adalah reaksi alergi yang muncul di kulit, berupa ruam kemerahan dan munculnya lepuh berisi air (blister) yang rasanya sangat gatal. Untuk mengobati eksim atau dermatitis atopik ini, kami mencoba berbagai susu hipoalergenik dan krim steroid. Eksim itu akhirnya berhasil reda, tapi ternyata bukan lewat produk-produk itu.

Pipi >< Pipi Kio.

Bagian seram dari eksim adalah rasa gatal memicu penderitanya menggaruk. Akibatnya kulit Kio terluka. Kio bahkan sempat mengalami kulit pipinya melepuh basah seperti habis mengalami luka bakar. Oleh karena itu, kulit penderita eksim terasa sakit, perih, yang menyebabkan tidur tak nyenyak dan aktivitas sulit dilakukan. Seseorang rentan menderita eksim manakala orang tuanya punya riwayat alergi (penyakit yang diturunkan). Aku punya alergi setidaknya tiga macam, sedangkan suamiku alergi dingin.

Eksim juga membuat Kio susah gemuk, padahal kenaikan berat badan adalah PR wajib kami tiap dia kontrol. Anak ini kurus dengan pipi berkoreng (kalau lukanya sedang kering) atau kadang melepuh. Eksim juga muncul di perut dan kaki Kio berupa selingkaran area kulit yang mengasar. Dalam tidurnya, tiga tempat itu akan membuat Kio gelisah garuk-garuk. Sedih.

Perjalanan mengobati eksim/dermatitis atopik: mencoba susu hipoalergenik dan krim steroid

Dokter spesialis anak mengatakan pencetus eksim Kio adalah alergi susu sapi. Well, dia menyebut suspect, tapi kemudian menyarankan kami pindah ke susu soya. Saat itu aku jadi mengetahui bahwa alergi susu sapi (dokter kerap menyingkatnya jadi ASS) berbeda dengan intoleransi laktosa. ASS adalah respons imun yang berdampak jadi alergi, sedangkan intoleransi laktosa merupakan ketidakmampuan seseorang mencerna laktosa dalam susu sapi sehingga jadi sakit perut/diare.

Kami pun mencoba susu soya SGM. Tapi eksim Kio terus bertahan. Dokter lalu meresepkan susu formula hidrolisat ekstensif bermerek Nutramigen, produksi Enfa. Susu formula hidrolisat ekstensif adalah susu yang kandungan semua proteinnya sudah dipecah, nama pasar susu ini adalah susu pepti (mungkin karena merek yang terkenal adalah Nutribaby Royal Pepti, buatan Nutrilon). Dokter menjelaskan ada dua jenis susu yang proteinnya dipecah, satu lagi susu formula hidrolisat parsial yang proteinnya dipecah sebagian.

Sepenangkapanku, harusnya tahapan menjajal susu untuk anak ASS dimulai dari susu formula soya → susu hidrolisat parsial → susu hidrolisat ekstensif. Tapi dokter menilai alergi Kio cukup parah sehingga kami langsung lompat ke susu hidrolisat ekstensif.

Pulang dari dokter, kami mampir apotek membeli susu Nutramigen. Aku syok, Edo apalagi. Kami langsung menyebut nama Tuhan. Harganya sekitar 450 ribu untuk satu kaleng 400 gram. Kalau seperti ini bukan cuma tahapan susu yang loncat, biayanya juga. Sebab susu soya Isopro Soy-nya SGM sekotak 200 gram “cuma” 30 ribuan.

Sudahlah harganya mahal, rasa Nutramigen ternyata sangat tidak enak. Baunya, ugh, mengerikan. Kio ogah minum. Ya, wajar saja, kami yang membuatkan rasanya mau muntah.Waktu cerita ini berakhir happy ending dengan kesembuhan Kio, susu Nutramigen masih mangkrak lebih dari separuh isinya. Akhirnya aku buang ke tanah.

Selain resep susu, dokter juga memberi krim steroid topikal hidrokortison untuk mengobati eksim/dermatitis atopik Kio. Aku deg-degan waktu baca di Internet bahwa krim steroid jika kelamaan dipakai bisa karsinogenik.

Karena Kio emoh minum Nutramigen, kami buru-buru mengadu dan dokter yang sama menyarankan pindah ke Nutribaby Royal Pepti Junior. Kami nurut. Harganya lebih murah, sekaleng 400 gram dibanderol 250 ribu. Kio mau minum.

Kio minum Nutribaby agak lama, mungkin dua bulanan (dari total empat bulan perjalanan eksimnya). Eksimnya sempat reda-muncul-reda-muncul. Waktu kontrol lagi, berat badan Kio tidak bertambah. Ini terus terjadi selama empat kali kontrol. Sampai-sampai dokter menuliskan di buku KIA: faltering growth. Artinya, ada goncangan pertumbuhan berupa grafik pertumbuhan yang malah turun. Ini adalah mimpi buruk semua orang tua.

Kami pusing, sedih, sekaligus buntu.

Dokter lantas meresepkan krim steroid baru bernama mometasone. Baik hidrokortison maupun mometasone ada label huruf K dalam lingkaran merah. Obat keras. Krim wajib dioleskan tiap habis mandi, tipis-tipis di area yang ruam. Begitu pakai mometasone, eksim Kio sangat mendingan.

Tapi ada kalanya kambuh lagi. Bingunglah kami.

Kali ini mencoba mengobati eksim dengan obat alergi berbentuk puyer

Aku resah dengan krim steroid yang diresepkan untuk Kio. Lantas kami pindah ke dokter anak lain. Aku lupa-lupa ingat apakah di dokter ini atau sejak dokter sebelumnya, diagnosa alergi susu sapi “melebar” ke kemungkinan alergi makanan lain, yakni telur dan produk turunan susu (dairy) seperti mentega dan keju. Kio masih kuberi ASI walau sangat sedikit karena produksinya seret, sehingga dokter menyuruhku setop makan telur dan produk susu.

Setelah aku bilang aku enggak mau krim steroid lagi, dokter kedua ini memberi resep puyer racik pereda alergi. Isinya cetirizine, CTM, dan beberapa obat lain yang aku lupa. Nah, inilah obat yang benar-benar bisa bikin Kio bebas gatal. Tapi kan kasihan ya anak kecil kok sudah minum obat macam-macam. Aku pun menjajal belanja berbagai “krim eksim” yang ada banyak sekali di pasaran dan seperti berlomba dengan kandungan terbaiknya masing-masing. Yang pernah aku coba adalah Mustela Cicastela dan Atopiclair. Eyang Uti Kio juga memberi krim berisi essential oil bermerek Moell.

Dengan semua usaha itu, eksim Kio masih naik turun. Yaelah.

Puyer habis, Kio gatal-gatal lagi. Suamiku lalu browsing soal susu-susu hipoalergenik. Video YouTube ini menjelaskan bahwa “di atas” susu hidrolisat, ada satu jenis susu lagi yang bahkan sudah tidak mengandung susu sapi sama sekali. Isinya hanya asam amino buatan laboratorium (mohon koreksi jika salah). Jadi kami simpulkan ini susu obat.

Mereknya Neocate LCP, produksi Nutricia. Impor dari Inggris. Harganya sekitar 380 ribu untuk sekaleng 400 gram. Kami langsung menyebut nama Tuhan (lagi).

Tekstur bubuk Neocate benar-benar tidak seperti susu. Lebih mirip micin dalam versi halus. Anehnya Kio mau minum dan tidak pernah menolak. Kasihan sekali anak ini, mungkin sudah terbiasa rasa pahit susu pepti.

Selama dua bulan Kio minum susu Neocate, kadang-kadang minum puyer alergi racik (kali ini minta ke bidan), dan disalepin kulitnya dengan krim-krim bukan steroid yang aku beli tadi. Suatu waktu eksimnya justru makin parah. Lah susu 400 ribu masih enggak ngefek, sopankah begitu? Apa Kio harus diminumin air zamzam? (Jujur suamiku udah sempat usul diminumin air tajin.)

Dokter anak kedua yang kami temui dulu sempat menyarankan kami menemui dokter anak subspesialis alergi. Sayangnya, ia sedang cuti sebulan karena naik haji. Aku sempat mengulik daftar dokter di berbagai RS Jogja dan seingatku tak mendapati dokter sejenis lagi.

Dugaan alergi makanan dan ganti sabun mandi

Larilah aku ke dokter kulit yang mendalami anak (seperti kebalikan dokter yang naik haji tadi ya) di RS Sarjito. Beliau menyarankan aku mengganti sabun mandi ke Cetaphil Baby serta melakukan tes pada makanan Kio. Tes itu caranya begini: selama beberapa hari Kio hanya kuberi satu jenis makanan berpotensi alergi, misal ikan. Diamati dampaknya. Lalu bergeser ke makanan lain selama tiga hari juga. Dan seterusnya.

Saat itu Kio memang mulai MPASI. Kebayang kan gimana kami ini. Kepala di kaki, kaki di kepala.

Aku lantas mengganti sabun Kio dari Mustela “Very Sensitive Skin” ke Cetaphil Baby. Tak ada perubahan. Untuk tes makanan, gagal besar karena Kio TIDAK MAU MAKAN APA PUN SELAIN SUSU.

Inilah rasanya parents, punya anak alergi, BB stuck, sekaligus GTM. Sekarang kaki suami di kepalaku, kakiku di kepala suami.

(Di lain waktu) Suamiku usul agar Kio balik ke susu soya. Alesannya, “Kan dulu pas soya pernah sembuh, waktu mudik itu lho.” Hadah alasan apa ini, tapi akunya mentok juga, ya udahlah coba aja. Eh? Pakai susu soya kok enggak memburuk parah? Habis itu kami coba susu sapi biasa, lho kok masih gitu-gitu aja, enggak jadi parah???

Kami kayak tersesat di rimba informasi. (Di atas data ada informasi, di atas informasi ada pengetahuan, di atas pengetahuan ada kebijaksanaan. Yeee malah bahas hierarki data.)

Menemukan tes deteksi alergi bernama tes IgE Atopy

Suatu ketika aku googling, kalau enggak salah baca web eczema.org, dan dapat info ada tes namanya IgE Atopy. Dari sana jadi tahu bahwa tes deteksi alergi itu selain tes tusuk kulit (prick test), juga ada tes yang model ambil darah gini. Tes tusuk kulit ada di RS Sardjito dan aku udah sempet nanya-nanya, harganya 100 ribuan, tapi aku takut. Aku mengidap alergi udang dan kepiting, suatu kali pernah kumat sampai jalur pernapasanku bengkak, menyempit, dan aku susah napas. Sedangkan tes tusuk kulit itu kulit kita ditusukin jarum yang udah berlumur alergen yang mau diujikan. Ini kan bayi kecil yak, kalau reaksinya parah mana dia bisa ngomong. Aku skip lah tes tusuk kulit. Begitu menemukan tes IgE Atopy, rasanya ada titik terang.

Tes ini harganya di RS JIH Yogyakarta harganya di atas 2.282.000 (hasil nanya ke CS). Kalau di Lab Cito Kotabaru, 1.750.000, lalu ada diskon 250.000 kalau download aplikasi Cito. Tanggal 2 Agustus 2023 Kio dites, tanggal 4 Agustus hasilnya keluar dan dikirimkan ke WhatsApp. Hasilnya, dari 54 alergen yang diujikan, Kio alergi dengan:

  1. Dermatophagoides pteronyssinus (tungau debu rumah) — level alergi: class 3 (skornya 0-6, makin tinggi angkanya makin bereaksi)
  2. Kuda (beneran ditulis “horse” di hasil labnya) — class 1
  3. Glutamat — class 1

Hasil cek lab. >< Hasil tes IgE Atopy.

Kio. Sama. Sekali. Enggak. Alergi. Susu. Sapi.

Jutaan uang susu itu kami tangisi. Hiks.

Sampai sekarang kalau aku cerita Kio alergi kuda, orang masih suka ketawa.

Menurut internet, tungau debu rumah tinggal di kasur dan barang-barang berlapis kain yang rentan jadi rumah debu. Begitu hasil tes keluar, aku langsung memanggil jasa sedot debu yang spesifik melayani sedot tungau debu rumah, yaitu Cleanwell. Biaya sedot debunya 80 ribu untuk sebuah kasur ukuran 160, sudah termasuk dua bantal dan dua guling.

Hari ini kasur dibersihkan, besoknya EKSIM. KIO. SEMBUH.

HILANG CLING PIPINYA MULUS SEPERTI TIDAK PERNAH TERJADI APA-APA.

Rasanya gimana ya? Hmm. Antara kesel kenapa enggak gercep tes, tapi juga bersyukur akhirnya ini anak sehat kembali. Selama alergi kan berat badannya landai hingga berbulan-bulan. Sampai-sampai tiap ketemu temen, aku pasti curhat soal (1) eksim dan (2) BB.

Setelah sembuh, grafik bobotnya berhasil naik lagi.

Poin yang bisa diambil dari perjalanan mengobati eksim/dermatitis atopik pada bayi

Pemicu alerginya adalah hal pertama yang harus dicari. Cara termurah dengan menyeleksi makanan karena sepertinya di kalangan dokter, makanan diyakini sebagai penyebab tersering eksim pada anak-anak. Anda bisa mencari daftar makanan yang sering menyebabkan alergi pada orang Indonesia.

Cara termurah lainnya adalah dengan mengganti sabun mandinya. Jika sabun mandi biasa sudah diganti dengan sabun untuk kulit sensitif, kemudian eksimnya tak muncul lagi, berarti pemicunya adalah sensitivitas pada kandungan sabun yang terlalu bersifat basa (pH di atas 6) yang membuat kulit anak jadi kering. Sabun terbaik untuk kulit sensitif adalah yang pH-nya seimbang di kisaran 5,5-6.

Tapi karena cara ini tidak bekerja di Kio, sebab alerginya belakangan diketahui dipicu bukan oleh makanan maupun sabun, aku rasa awalan terbaik dalam mengobati eksim/dermatitis atopik ialah dengan melakukan tes deteksi alergi. Seperti yang aku sebut, bisa dengan tes tusuk kulit (prick test) atau tes IgE Atopy. Kelemahannya, tes ini memakan biaya dan belum tersedia di semua kota di Indonesia.

Kami berharap cerita ini dapat bermanfaat bagi para orang tua yang sedang bergulat dengan eksim/dermatitis atopik. Setelah membagi cerita ini di media sosial, kami menyadari eksim/dermatitis adalah hal yang sangat sering terjadi, mulai pada anak-anak sampai pada lansia. Ada seorang teman, Mas Rulli Rachman, bercerita eksimnya selalu menjadi parah setiap ia merasa stres. Temanku, Mario Lawi, juga cerita ayahnya menderita eksim dan bisa reda dengan obat alami, yakni dioles getah dari kulit pohon turi putih.

Catatan

Pertama kali aku memuat tulisan di media sosial, aku memakai judul “Mengobati Dermatitis Atopik”. Mas Zaki, temanku yang rupanya mengidap eksim, lalu memberi koreksi bahwa eksim tak bisa disembukan (sebagaimana semua alergi lain). Karena itu judul tulisan ini aku ganti. Berikut catatan darinya, aku sudah meminta izinnya untuk memuat di sini.

“Eksim itu kondisi yang ga bisa disembuhkan. Semua jenis pengobatan sifatnya cuma meredakan. Misalnya sekarang udah bersih² tungau & debu, kan nanti pasti balik lagi. Apalagi kalau tungau dan debu gitu, kan jenis alergen yang ga selalu bisa dihindari sepenuhnya. Penanganannya, selain hindari alergen, emang sangat penting juga menjaga kelembaban kulit, misal kayak pakai Cetaphil yg udah pernah coba itu. Tentu merek pelembab, sabun mandi, handbody, sabun cuci mukanya bisa macam² ya, asal yang gentle, ga ada alkohol, deterjen & parfum. Pokoknya yg menghidrasi kulit.

“Gejala ruam, gatal, kering (kadang kayak bersisik) di kulit saya beberapa tahun belakangan ini sudah jarang kambuh karena cukup disiplin jaga kelembaban kulit. Dulu saat kambuh, kulit saya ruam, merah, gatal & penuh luka bekas garukan. Hehe. Cuma belum tahu alergennya apa cik, soalnya ga pernah tes. Hehe. Mungkin tungau, dingin, atau keduanya. Kalau makanan tertentu kayaknya bukan. Bapak saya juga ada derma.”