Pemuda Uga Kumito
Belakang Tebing Citatah, 14 September 2016
SEJARAH GERAKAN KIRI INDONESIA | CERITA | KAWAN
Pemuda Uga Kumito
Belakang Tebing Citatah, 14 September 2016
Suara azan lantam menyusuri lorong gelap, merambati tembok pondokan, menabrak sudut-sudut, pecah, lalu masuk ke tiga belas pasang gendang telinga manusia di dalamnya. Di sela-sela adzan itu terdengar gonggong anjing bersahutan, berlomba-lomba dengan suara muazin yang diperlantang oleh corong pengeras suara. Listrik tiba-tiba padam. Makin terasa adil juga maghrib itu. Muazin dan anjing berlaga tanpa teknologi.
Tapi apakah gonggongan anjing membuat seruan buat menyembah itu kalah?
DI PONDOKAN berukuran kira-kira lima kali lima meter, dua di antara pemilik tiga belas pasang gendang telinga itu beranjak dari duduknya dan menyalakan lilin. Tak ada dari mereka yang menuju langgar. Bukan karena mereka ogah pada doa, atau sembah, tapi karena mereka percaya, doa dan sembah saja tak pernah cukup bagi manusia untuk mengubah nasibnya. Mereka percaya pada mulanya nasib manusia itu indah. Mereka yakin betul Tuhan tak akan pernah membuat sengsara makhluknya. Manusialah — sambil menyalahkan dan menunjuk-nunjuk muka setan — yang melakukan itu. Segelintir manusia yang culas, dengan hati yang dekil, telah membuat semuanya jadi berantakan.
Untuk itu mereka selalu ingat; sama sekali tak perlu bantuan ilahiah untuk menjadi manusia yang culas, dan tak perlu juga bantuan yang ilahiah untuk mengubah manusia menjadi baik dan mampu untuk mengembalikan nasib jadi indah.
Tapi niat, kawan, niat manusia untuk berbondong-bondong merapal doa dan sembah pada pemberi hidup, sepenuhnya menyerahkan nasib, amat sulit untuk dibuat kalah. Lamat-lamat, lewat lorong gelap itu juga, terdengar gesekan sandal menuju langgar, juga gemericik yang berjeda: suara orang mengambil wudhu.
Tentu niat itu tidak salah. Akan tetapi bisa menjadi salah bila doa dan sembah itu tak dibarengi dengan kerja-kerja, perjuangan nyata manusia untuk mengubah nasibnya. Berhenti menunjuk muka setan-setan yang barangkali tak punya salah, berpaling, dan mengepalkan tinju pada muka segelintir mereka yang culas dan dekil hatinya. Menunjukkan kebobrokan berpikir mereka yang telah menghambat bahkan memundurkan peradaban manusia. Sampah-sampah yang membuat kotor nasib manusia.
Hal itulah yang sedang berusaha diingatkan lagi oleh seorang pemuda berwajah tirus, berambut panjang dan memakai kacamata, ke benak pemilik dua belas pasang gendang telinga. Menghadap ke papan, diterangi cahaya lilin yang berpendar. Di sebelah kanannya bertumpuk tulisan yang mengungkap borok-borok peradaban.
Jumlah telinga masih sama. Setidaknya, gonggongan menang di pondokan itu.
Namanya Uga Kumito. Ia kawan baikku. Tentu bukan nama asli. Ia pakai nama koordinasi untuk alasan keamanan. Nama itu diambil dari bahasa Suku Meh yang hidup di tanah Papua. Itu juga hanya satu dari sekian nama.
Aku mengenalnya di awal tahun 2016 di tempat yang dulunya dinamai Rumah Dialektika. Aku mula-mula mengenalnya sebagai pemuda pendiam yang hampir selalu berhati-hati ketika berbicara. Tiap kata yang keluar dari mulutnya seperti sudah dipikir matang-matang. Tak pernah sekali pun sok tau — dia orang yang akan bilang “tidak tahu” ketika memang tak paham sesuatu.
Seorang mahasiswa; bukan agen perubahan, bukan juga agen kontrol sosial yang berjarak dengan rakyat. Yang berlaku bak dewa penolong hendak mengentaskan rakyat dari ketertindasannya dengan gelar maha yang dimilikinya. Ia bukan mahasiswa seperti itu.
“Mahasiswa tak boleh berjarak dengan rakyat,” katanya.
Di tengah peradaban penuh kebusukan ini, beruntunglah aku mengenalnya. Pemuda yang baik, betul-betul baik; yang bergerak, yang menyadarkan dan berjuang dalam barisan massa rakyat. Belakangan ini aku makin tahu ke mana arah cita-cita juangnya; menjadi kombatan, mengangkat senjata dan merebut kekuasaan dari segelintir manusia culas dan berhati dekil. Merebut kuasa dari mereka yang merusak dunia, meracuni peradaban manusia dengan menciptakan budaya yang penuh mudharat, budaya yang menyuruh manusia ikhlas ketika dihisap, yang memaksa manusia menghaturkan sembah ketika diperbudak, budaya yang menginjak martabat manusia, menunduk di hadapan penguasa yang menindas.
Kepada kawan-kawannya ia selalu ingatkan: sayangi kawanmu.
Sekali lagi, mesti diakui kalau aku beruntung mengenalnya.
Ia pemuda yang menyayangi rakyat, menyayangi buruh, buruh tani — mereka yang tak memiliki alat produksi. Mendukung rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. Mengutuk militer yang justru memerangi rakyatnya sendiri. Ia pemuda yang telah memproklamirkan diri untuk tidak pernah sekali pun menyakiti perempuan, apalagi menindas mereka, dan berjanji untuk mendukung kemajuan mereka, yang berarti juga adalah kemajuan bagi peradaban umat manusia.
Sungguhlah, peradaban manusia masih bisa maju jika banyak pemuda seperti dia. Akan terwujud peradaban manusia yang bergerak maju tanpa perlu merusak alam dan mengisap hasil kerja manusia lain.
Terdengar lagi suara sandal. Kami semua diam. Dan, tak ada yang menyangka, di temaram cahaya lilin tiba-tiba Uga Kumito berbisik, “Yang culas akan mati. Perjuangan abadi.”