Orang-orang Besar dan Rambut Panjang
Mulai SMP saya sudah berkeinginan untuk membiarkannya tumbuh dan berkembang secara sehat. Saya menyukainya, hampir tak pernah saya menyiksanya dengan sisir, baik sisir punya ibu, teman, maupun tetangga, semuanya hampir tak pernah. Biarkan acak-acakan begitu saja sudah cukup, yang penting rambut dan saya bahagia. Peduli apa dengan kritikan orang-orang sekitar, yang penting rambut dan saya bahagia sejahtera.
Ada semacam derita, yang terjadi saat saya mulai meneruskan sekolah saya ke jenjang yang lebih tinggi, waktu SMK. Terpaksa dengan sedikit kecewa, karena kalau tak kecewa maka bukan terpaksa lagi namanya. Terpaksa untuk mencukur rambut saya dengan gaya hampir botak. Entah kenapa peraturan di sekolah waktu itu sangat ketat mengenai rambut. Konon katanya, agar terlihat rapi dan seragam. Gaya rambut wajib botak yang sebenarnya menghambat kreatifitas siswa. Saya ini sudah nDak kreatif, malah dibotakin terus gimana?
Setelah 3 tahun, masa kebotakan mulai saya tinggalkan. Tak lagi menjadi bahan tertawaan kawan-kawan yang arogan. Haha. Lepas dari aturan-aturan tak masuk akal saat sekolah, akhirnya seorang laki-laki ini bisa lebih leluasa melampiaskan hasrat. Namun, inilah kehidupan, tak lebih mudah dari kelihatannya. Baik dari keluarga, teman-teman yang sungguh berusaha agar terlihat baik hati dan akrab, pandangan orang-orang dalam angkutan dan kereta, satpam-satpam kampus, perempuan-perempuan soleha dan lainnya, semua melayangkan pandang yang aneh terhadap rambut acak-acakan, kumal, dan (sedikit) panjang punya saya. Banyak orang-orang dalam keluarga dan teman-teman meminta saya untuk memotong dan merapikan rambut istimewa ini dengan alasan tak rapi atau jelek, nggilani, dsb. dsb.
Kenapa mereka begitu berbeda, mengapa menganggap gondrong itu hina dan urakan?
Mendapat tekanan dari sana-sini sejujurnya tak memberikan dampak apapun untuk si bebal satu ini. Hehe. Saya kemukakan alasan-alasan saya untuk memanjangkan rambut, dan mereka diam tanpa tanggapan, entah kalah dalam argumen atau sudah bosan nuturi saya. Entah.
Yang jelas, banyak orang-orang besar yang berambut panjang. Raja-raja jaman dahulu, tokoh dalam pewayangan seperti Arjuna, atau bahkan Maha Prabu Rahwana yang memiliki cinta paling agung sejagad dongeng-pun memiliki rambut yang berkobar seagung cintanya. Ilmuwan seperti Galileo, Newton, dan kawan-kawan. Pejuang revolusi yang ikonik seperti Che, seniman seperti Mbah Jancuk dan Rendra-pun berambut panjang, bahkan Nabi-pun seperti itu. Lantas kenapa mencegah, melarang saya seperti mereka?
Begitulah kira-kira jawaban saya pada mereka.
Namun yang terlihat sebagai jawaban ini sejujurnya menimbulkan pertanyaan terhadap pemikiran saya…
Saya tahu diri saya, lebih tahu daripada anda tentang diri saya, bahwasanya memang saya bukan mereka. Mereka adalah orang-orang besar, sedangkan siapa saya. Saya ingin seperti mereka, seperti Raja misalnya. Tapi tahta apa yang saya punya? Prajurit apa yang saya punya? Tak punya selir, tak punya rakyat, tak punya budak. Malah diperbudak nafsu dan syahwat yang hampir kekal menggelegar.
Menjadi ksatria seperti Arjuna atau Prabu Rahwana jelas tak bisa. Siapa yang sudi mengisahkan kehidupan saya? Saya tak kenal Dewi Sinta, dan jelas tak mencintai dan mengagungkan Sinta itu, maka saya tak mampu menjadi seperti Rahwana. Menjadi ilmuwan jelas mustahil, ilmu yang saya punya jelas tak sebanding dengan mereka, jangankan mereka, dibanding para pembaca-pun sebenarnya saya malu akan kebodohan saya dalam menuliskan perkara-perkara. Maafkan saya atas keterbatasan-keterbatasan sekaligus kelancangan ini. Sekali lagi maaf.
Pejuang Revolusi mungkin saja, mungkin-mungkin tak mungkin. Masalah negara saja saya tak tahu apa-apa. Mungkin saya bisa menjadi seperti Mbah Jancuk dan Rendra, seorang yang mencintai seni dan sastra. Tapi seorang seniman harus mampu melahirkan karya. Saya, menuliskan bualan-pun banyak kekurangan. Mau menjadi seperti Nabi? Tak usah dipaparkan panjang lebar, pembaca bisa tahu sendiri.
Memang tak bisa menjadi mereka. Saya ya saya, sejatinya saya adalah Saya.