Menjadi Gila di Belantara
“Badannja sama loeka lantaran digigit patjet dan binatang-binatang ketjil lainnja jang ada di dalam hoetan sekeliling tempat itoe,” tulis Mas Marco Kartodikromo.
PEMERINTAH BELANDA, atas dan demi nama kapital, selalu berusaha menghancurkan semangat revolusioner dari — meminjam istilah Tirto Adhi Soerjo — “bangsa jang terprentah”. Semangat ini dianggap melanggar hak-hak tertinggi pemerintah kolonial Belanda yang “diberikan oleh Tuhan sendiri”. Kesadaran bangsa untuk melawan dianggap sebagai dosa yang tak dapat ditolerir, tak dapat diampuni. Menggunakan senjata Jan Kompeni, pemerintah kolonial membantai dan mengucurkan darah orang-orang yang bahkan tak pernah terbukti bersalah.
Pemerintah Belanda yang adiluhung itu kemudian — kali ini demi citra etis — dengan bersandar pada haknya yang maha besar, melakukan perburuan terhadap kaum revolusioner yang tersisa. Dengan gerombolan anjing buasnya yang terlatih, mereka memburu umat komunis, semikomunis, komunis semu, pun yang hanya sekadar dicurigai sebagai komunis. Lalu, membuang mereka ke belantara Boven Digoel, Niew Guinea (sekarang Papua).
Boven Digoel adalah semacam kamp konsentrasi, namun berbeda dengan kamp konsentrasi bikinan Nazi. Orang dibuang di sana bukan untuk dibantai, tapi dibiarkan hidup, diasingkan demi “kenormalan” daerah jajahan. Digoel adalah belantara yang keras, dipenuhi binatang buas dan suku-suku pedalaman yang masih biadab.
Salah satu syuhada cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia yang di-Digoel-kan adalah Mas Marco Kartodikromo. Redaktur koran Doenia Bergerak yang konsisten menghantam pemerintahan Belanda yang agung ini adalah murid Tirto Adhi Soerjo — pemimpin Medan Prijaji, Sang Pemula, guru daru guru bangsa — yang kita kenal sebagai Minke dalam tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Ketika Mas Marco tiba di Digoel pada bulan Juni hampir seabad lalu, ia menulis kondisi daerah pembuangan itu dalam catatan hariannya. Digoel adalah “tempat jang amat boesoek kelihatannja”. Orang yang lebih dulu diasingkan, raut mukanya“amat menjedihkan”. Boven Digoel yang dikelilingi hutan dan rawa-rawa tak sehat, dipanaskan oleh matahari khaltulistiwa yang tak kenal belas kasihan adalah tempat bersarang dan berkembangnya penyakit.
“Badannja sama loeka lantaran digigit patjet dan binatang-binatang ketjil lainnja jang ada di dalam hoetan sekeliling tempat itoe,” tulis Mas Marco Kartodikromo. Banyak dari yang terbuang itu akhirnya meninggal karena TBC, malaria, dan demam kencing hitam — tahap terakhir dari demam malaria tropika. Mas Marco sendiri, seorang pejuang yang gagah perkasa, yang terkenal dengan ucapannya “sama rasa, sama rata” dan “berani karena benar, takut karena salah” hanya dapat bertahan lima tahun di tanah itu. Ia dihabisi TBC, yang obatnya baru ditemukan pada akhir Perang Dunia II.
Para terbuang yang mulia itu diharuskan menelan tablet kina enam biji seminggu untuk mencegah terjangkit malaria. Pil ini memiliki efek samping membuat telinga berdesing dan kepala pusing. Banyak juga akhirnya di antara mereka yang menderita penyakit saraf. Gila karena lingkungan, makanan dan konsumsi tablet kina.
Saya membaca kisah itu di buku Tanah Merah yang Merah karya Koesalah Soebagyo Toer yang diterbitkan oleh penerbit Ultimus. Saya lalu ingat pada diri saya sendiri. Sebagai orang yang pernah aktif dalam organisasi kepencintaalaman, saya kerap “membuang” diri sendiri ke belantara. Lari dari hiruk-pikuk kota yang riuh. Kabur dari keinginan yang justru terasa memenjarakan. Saya berpaling dari hidup dengan pergi ke hutan belantara. Lari ke hutan seperti Dian Sastro. Lalu sesekali belok ke pantai.
Tiap pergi ke sana, seperti para terbuang, saya merasakan bagaimana pacet mengecup mesra bagian tubuh saya. Saya pun membiasakan diri untuk menelan tablet kina guna menghindar dari maut malaria yang mengerikan itu. Sekarang saya sering pusing. Sebentar lagi barangkali akan tertawa-tawa sendiri. Aih, mungkinkah saya sedang menuju gila…?