adityawarmanfw

Mengenyahkan bayangan tentang hari depan

Cipularang, 25 November 2016

SEJARAH GERAKAN KIRI INDONESIA | CERITA | MINGGAT

Mengenyahkan bayangan tentang hari depan

Cipularang, 25 November 2016

Di sinilah aku sekarang. Duduk di dalam bis, memeluk tas yang kupinjam dari teman, dan menghadap ke jendela. Kabut menebal di luar. Lampu mobil-mobil yang semuanya bergegas tampak menyala redup.

Aku tak tahu betul bagaimana aku terlibat sejauh ini dan pada akhirnya memilih berangkat. Tak ada yang kupamiti kecuali teman-teman terdekat. Itu pun tak kujelaskan juga apa urusanku pergi. Aku hanya menyebut nama kota yang menjadi tujuan awal.

Aku tahu ini tak main-main. Risikonya besar. Yang paling ringan adalah ditangkap. Kedua, dihajar habis-habisan. Ketiga, dihilangkan. Selanjutnya, adalah dipaksa lari dan sembunyi entah selama apa dan terpaksa meninggalkan semuanya. Untuk hal-hal itu, semoga saja aku berlebihan.

Beberapa kali aku membuka kunci handphone-ku dan mencoba mengetik pesan singkat untuk menanyakan kabar orang-orang di rumah. Tapi semua urung kulakukan.

Kepalaku berdenyut. Di tengah kabut, bis malah melaju makin cepat. Kubuka ritsleting tas dan memastikan semuanya telah terbawa. Tidak. Sebenarnya aku bingung harus melakukan apa. Membayangkan apa yang nanti terjadi membuat dadaku berdebar dan tubuhku bergidik. Aku tak siap betul sebenarnya. Lalu aku mencoba memikirkan hal-hal lain. Mengenyahkan bayangan tentang hari-hari depan dengan mencoba mengingat masa lalu.


AKU INGAT pergi ke bioskop menonton Harry Potter waktu masih kelas dua Sekolah Dasar. Bersama siapa aku tak ingat betul. Mungkin dengan Eyang dan Akung.

Beberapa mantra dalam film itu masih kuhafal.

“Wingardium Leviosa,” kata mereka di dalam kelas. Benda-benda lalu melayang, bertingkah di udara. Kemudian si gadis keturunan muggle bernama aneh, Hermione, merapal, “Petrificus Totalus!” dan sosok Longbottom membujur kaku lalu jatuh ke lantai. Juga sosok penyihir berjubah membisikkan “Alohamora” untuk membuka gerendel pintu.

Dulu, penyihir diburu dan dibantai dengan pelbagai cara. Dibakar hidup-hidup, digantung, direbus. Tapi berabad selanjutnya di dalam bioskop, kehadiran mereka disambut dengan baik, bahkan dirayakan. Aku ingat setelah film usai, beberapa anak sambil menuruni tangga bioskop mendesis seolah bisa bicara dengan ular. Beberapa lainnya merapal mantra-mantra. Setiap anak adalah Harry Potter, Ron Weasley dan Hermione Granger walau tak memegang tongkat dan agama mereka semua mengharamkan sihir.

Sebab penasaran dengan lanjutan cerita dari film itulah kemudian aku mulai membaca buku yang tak bergambar. Sebelumnya aku membaca komik. Novel pertamaku adalah Harry Potter dan Kamar Rahasia. Aku ingat membacanya setelah pulang sekolah, jam 3 sore, setiap hari selama tiga minggu. Bulan berikutnya, ketika liburan ke Surabaya — ketika di sana selalu pergi ke Gramedia — aku menodong Mama dan atau Eyang atau Akung untuk membelikan buku seri ketiga yang halamannya makin banyak itu. Seri keempat dan seterusnya, yang halamannya makin tebal lagi, kudapatkan sesuai jadwal terbit internasional. Itu juga hasil todongan.


HUJAN TURUN DERAS. Lampu-lampu mobil yang berpapasan dengan bis yang kutumpangi mendadak menjadi lebih indah dan hidup dan warnanya makin jelas. Tak lagi pudar dan lemah seperti tadi saat terhalang kabut. Bis ini terus berjalan. Aku makin dekat.

Gadis yang memerankan Hermione itu makin dewasa sebagaimana aku. Sebulan lalu, aku menonton filmnya yang baru yang berjudul Colonia.

Latar ceritanya berlangsung di Chile tahun 1973.

Hermione memerankan seorang pramugari bernama Lena. Kekasih Lena adalah seorang propagandis dalam organisasi yang mendukung Allende. Mahasiswa asal Jerman, bernama Daniel, yang entah bagaimana bisa sampai ke Chile.

Kisah percintaan mereka lancar. Bersama ke acara-acara kampanye partai. Berdansa juga meminum bir di kafe. Entah bagaimana juga, Daniel punya sebuah apartemen yang besar. Aktivis, apalagi marxis, biasanya susah barang sekadar mengisi perut. Mungkin dia tidak berasal dari keluarga proletar, atau setidaknya, ia lahir dari keluarga mampu, dan dihabiskannya uang dari keluarganya untuk aktivitas politiknya itu.

Lalu kudeta militer terhadap Presiden Salvador Allende yang dipimpin oleh Jenderal Auguste Pinochet terjadi. Allende adalah presiden marxis pertama yang terpilih dari pemilihan umum. Daniel tertangkap ketika berusaha mengabadikan momen brutal yang terjadi: tentara menghabisi rakyatnya sendiri.

Seorang kameradnya berkhianat dan membongkar aktivitas Daniel sebagai propagandis pada militer. Daniel dibuang dan diasingkan ke sebuah perkumpulan sekte keagamaan di Chile selatan, ke tempat yang dinamakan Colonia Dignidad.

Lena, yang kadar kesadaran revolusionernya rendah, atau barangkali hanya berbekal cinta, berusaha menyusul Daniel dengan menyamar masuk ke koloni itu. Di sana Daniel mengalami pelbagai siksaan dari militer, dipukul, disetrum, dipaksa minum obat-obatan entah apa. Demi menghindari siksaan ia bersiasat dengan berpura-pura gila.

Aku ingat satu fragmen dalam film ketika sepasang kekasih itu dipertemukan lagi. Daniel, dengan semangatnya mengungkap ketidakadilan di atas dunia, alih-alih segera menyelamatkan diri justru tetap berusaha mengumpulkan bukti-bukti kekejian yang terjadi di Colonia Dignidad. Aku ingat, lewat mulut Lena meluncur kata-kata, “Stop playing the revolutionary, hell-bent on saving the world. You’re gonna get us killed!”

Berhenti bertingkah sok revolusioner.


Beberapa minggu lalu, orang-orang rumah mengirim pesan menanyakan apa yang sedang kukerjakan dan mengingatkan supaya hati-hati dalam berpikir dan bertindak, berbicara dan menulis yang berhubungan dengan orang atau pihak lain. Simpan pikiran buruk dan keluhan terhadap yang lain dalam kepala saja. Tak perlu diungkapkan, apalagi jika mereka itu memiliki kuasa. Jika ingin menulis, tulis saja yang baik-baik. Aku membacai pesan-pesan itu dengan seksama. Dadaku sesak.

Aku sudah diingatkan.

Aku tahu. Aku sudah diingatkan. Tapi aku tak tahu kenapa tetap di sini sekarang. Membahayakan diri sendiri dan mungkin juga kalian.

“Berhenti bertingkah seperti revolusioner yang bersikeras ingin menyelamatkan dunia. Kau bisa membuat kita terbunuh!”

Di perjalanan ini tak ada yang mengingatkanku lagi soal risiko itu. Aku memikirkannya sendirian. Hujan makin deras. Bis ini terus melaju dan aku makin dekat dengan tujuan, makin menjauh dari kalian.