adityawarmanfw

Membela Soviet?

Itu yang terjadi ketika membincangkan soal gerakan kiri di Indonesia. Segala cerita buruk tentang gerakan kiri akan ditolak. Tapi, akan…

Beberapa minggu lalu seorang teman mengirim pesan ke facebook untuk mengabarkan bahwa neneknya ternyata adalah seorang anggota Gerwani yang masih sehat dan sekarang tinggal di daerah Pacitan.

Ia tidak tiba-tiba mengirim pesan dan menceritakan hal seperti itu. Sebelumnya, aku beberapa kali berbagi bacaan dan berbincang soal ’65 dengannya. Bukan apa-apa, hanya kebetulan saja aku ada akses ke bahan bacaan dan mempelajari tentang hal itu lebih awal daripada dia. Ketika kita bertemu lagi, dia mengulangi apa yang pernah diketiknya di pesan facebook itu. Begini dia bilang:

“Aku tau lah sekarang dulu PKI gimana. Diceritain kakekku. Ternyata nenekku dulu juga Gerwani. Aku terus suruh dia nari. Terus dia nari-nari,” katanya sambil memperagakan neneknya yang sedang menari.

Selain menyileti kemaluan para jendral, kupikir memang hal itulah yang kiranya muncul di benak banyak orang ketika memikirkan Gerwani. Menari. Aku menganggap wajar jika kebanyakan orang mengaitkan hal itu dengan Gerwani. Bagi mereka yang tak sempat membaca atau tak punya akses bacaan atau tak mau membaca soal peristiwa ’65 dan hanya menerima asupan propaganda anti-komunis dari pemerintahan Orde Baru lewat film yang diputar berulang-ulang atau propaganda lain dari reaksioner lainnya — yang minim kualitas tapi luar biasa jumlahnya itu, Gerwani memang jadi dikenal sebagai kelompok yang bi(a)sa menari tarian Harum Bunga. Dan kupikir karena itulah kenapa temanku yang baru mulai mempelajari soal ’65 itu meminta neneknya untuk menari.

Aku membayangkan yang terjadi akan berbeda jika, misalnya, bukan teman yang baru mulai mengakrabi soal ’65 melainkan kawan yang kiri dan sedang berjuang yang mendapati bahwa neneknya seorang anggota Gerwani. Dia tak akan repot-repot menanyakan apakah neneknya bisa menari, sebab, propaganda soal tarian itu tentu sudah tak lagi dianggap sebagai sesuatu yang masuk akal atau bahkan justru dianggap sebagai hal konyol yang tak perlu repot-repot dibuktikan sudah jelas tak mungkin terjadi di dalam organisasi seprogresif Gerwani. Alih-alih soal tarian, kawan yang kiri mungkin akan bertanya seputar strategi taktik pengorganisiran waktu itu, dan setelah menjawab, neneknya akan balik bertanya: Lalu bagaimana kemajuan gerakan pembebasan perempuanmu sampai hari ini, Nak?

Sejak sebelum Orde Baru tumbang, sampai sekarang, mendorong penyelesaian Genosida ’65 serta politicide yang terus terjadi sampai sekarang ini adalah salah satu bentuk perjuangan demokratik, perlawanan terhadap sisa-sisa Orde Baru dan sekaligus pembelaan terhadap sosialisme.

Di lingkar perkawanan saya, hampir setiap hal yang menyudutkan kubu kiri di Indonesia dianggap sebagai propaganda reaksioner, hasil rekayasa Orde Baru dan antek-anteknya. Dan karenanya, kebenarannya sangat layak untuk diragukan. Bahkan, kadang tak perlu melakukan klarifikasi lagi — sudah pasti itu semua palsu dan bohong belaka. Termasuk, misalnya, ketika mendengar tuduhan bahwa PKI membunuh ulama. Kawan-kawan akan mengatakan bahwa bukan masalah agama yang jadi alasan, tapi masalah tanah. Dan waktu itu tuan tanah yang musuh rakyat itu sebagian adalah ulama.

Itu yang terjadi ketika membincangkan soal gerakan kiri di Indonesia. Segala cerita buruk tentang gerakan kiri akan ditolak. Tapi, akan berbeda jika membincangkan Soviet. Pelbagai kisah buruk tentang Soviet ditelan mentah-mentah. Dan tak jarang yang ditelan ialah yang paling parah: Pembangunan tatanan masyarakat sosialis di Soviet waktu itu telah menelan puluhan juta nyawa — rakyatnya sendiri.

Tanpa perlu menanyakan lagi, berapa jumlah sebenarnya? Berapa jumlah kaum kontra-revolusi, juga tuan tanah yang disebut kulak itu, dieksekusi? Benarkah mereka bukan kolaborator atau simpatisan Nazi? Atau, benarkah pemerintahan Soviet di bawah Stalin asal main bunuh?

Saya tak yakin benar kenapa itu bisa terjadi. Boleh jadi memang karena propaganda buruk soal Soviet oleh Nazi, negara-negara imperialis, kelompok kiri anti-Soviet, revisionis, sejarawan dan akademisi borjuis, juga musuh-musuh sosialisme yang lain telah berlangsung sangat lama dan sedemikian hebatnya. Bahkan salah satu propagandisnya mendapat Hadiah Nobel.

Tapi agaknya yang lebih mungkin, adalah karena tak cukup banyak literatur tentang Soviet (di masa Stalin) yang bisa dibaca dalam bahasa Indonesia. Tentu saja, tulisan-tulisan baik sejarah maupun teori dari kubu yang berlawanan sangat banyak dan mudah didapat. Seperti misalnya, puluhan terjemahan tulisan Trotsky di MIA Indonesia, juga yang terbit dalam bentuk buku. Tapi tak banyak tulisan Stalin dalam bahasa Indonesia — meskipun setidaknya ada 16 jilid kumpulan tulisan Stalin yang pernah diterbitkan.

Atau, jangan-jangan memang tak ada pentingnya membela capaian Soviet masa itu, atau setidaknya melawan propaganda buruk tentangnya? Atau apakah melakukan pembelaan pada Soviet masa itu, tak sama dengan membela sosialisme?