Melihat-Nya dalam Mama
Tuhan yang pertama kali kukenal
“Tuhan, terimakasih telah kau titipkan aku pada seorang Mama, yang teristimewa.”
Tak pernah kutanyakan sebelumnya pada Mama, bagaimana pengembaraan beliau untuk mencari Yang Maha Liyan. Dan bagaimana beliau memantapkan keyakinannya sekarang. Tak pernah sebelumnya. Hingga saat Ramadhan kemarin, dimana aku mendapatkan kesempatan untuk begitu dekat dengan Mama, setelah minggatku berkali-kali dalam pencarian jati diri. Itu pun tak mudah, untukku yang mendengarkan tutur cerita Mama saja begitu tak mudah. Apalagi Beliau, yang sudi meluruskan kembali pita ingatannya yang mulai kusut dan terkunci dalam lemari di hatinya yang suci.
Tak mudah, sekali lagi. Tak mudah kecuali dengan tangis. Tangisku, juga tangis Mama. Akulah manusia pertama yang mendengarkan kisahnya. Tak pernah diceritakan pada siapapun sebelumku. Izinkan aku Ma, untuk menuliskannya. Ah, bukan hanya untuk Mama, tapi untuk semua yang turut terlibat dalam cerita ini. Untuk itu Ma, aku janji berhati-hati menuliskannya.
Aku hanyalah salah satu dari sekian banyak manusia yang dilahirkan dari sepasang orang tua yang berbeda suku & agama pada mulanya. Ayahku, adalah seorang Muslim Jawa. Sedangkan Mama, adalah seorang keturunan China yang berdomisili di Surabaya. Pendek kata, Mama adalah seorang wanita keturunan China yang men-Jawa. Beliau adalah seorang Kristen yang baik, dan besar dalam kepercayaan pada ajaran Cinta Kasih Kanjeng Gusti Yesus.
“Terima kasih Ma, Telah kau tempa dan lahirkan aku dari rahimmu yang suci dan penuh cinta kasih.”
Dalam keluarga, aku cenderung besar dalam tradisi Islam Jawa. Tradisi nyekar, ziarah sarean, dan menyiapkan sajen untuk para leluhur terus dilakukan oleh keluargaku hingga saat ini. Saat Lebaran misalnya, bila dihitung mungkin ada sekitar 20an kopi hitam, teh, pisang, jajanan-jajanan pasar, dan lainnya sebagai sajen untuk leluhur keluarga. Mak’e (Ibu dari Ayah) dhawuh, “Riyaya-riyaya ngene iki Mbah-mbahmu yo pingin mulih, Le..” Beliau percaya bahwa saat Lebaran tak hanya yang masih hidup saja yang berkumpul dan pulang, tapi leluhur-leluhur di Surga pun ingin pulang guna menjenguk anak-cucu-cicitnya yang berbahagia. Entahlah, mungkin Mak’e benar.
Lingkungan daerah sekitar rumahku tumbuh bersama dalam kultur NU. Manut Gus Dur, dalam bahasa tetangga-tetanggaku. Kebaikan dari kondisi ini adalah sikap toleran dan lebih bersahabat terhadap budaya-budaya Jawa. Mungkin ini yang menjadi ciri khas orang-orang NU. Tahlilan yang kerap kali diadakan menambah kerukunan antar tetangga. Aku suka bila diundang tahlil, tentu karena makan bersama dan berbincang dengan tetangga. Aku pun tahu di tempatku tinggal di Kediri, banyak sekali aliran-aliran, faham, atau mazhab Islam yang berbeda-beda. Selain NU, ada juga Muhammadiyah, LDII, Wahidiyah, Ahmadiyah, dan lain-lainnya. Tapi, semua beragama dengan damai. Indah bersama toleransi.
Kira-kira begitulah kondisi di lingkungan tempatku tinggal. Penuh pesan-pesan kedamaian. Tapi, sedikit berbeda di lingkungan sekolah. Saat berada di Sekolah Menengah Pertama, dalam pelajaran Agama aku mendapat guru dengan faham yang beragam. Aku ingat, pernah guruku berkata bahwa Tahlilan adalah Bid’ah, dan ziarah kubur itu identik degan perbuatan syirik. Karena beliau menganggap ziarah sebagai wujud pemberhalaan terhadap para leluhur. Bahkan, sebenarnya dalam keluarga pun ada yang menganggap seperti itu. Yang memahami bahwa Islam berarti menjalankan syariat-syariat Kanjeng Nabi Muhammad Saw. saja, meninggalkan Tahlil, nyekar, dan sesajen yang menurutnya bukan termasuk syariat Islam. Yang sebenarnya merupakan produk dari budaya saja.
Terpaan angin begitu terasa ketika aku mulai kuliah. Harus kuakui disini, aku baru kembali beragama sekarang ini. Setelah bertahun-tahun tak terlalu kuhiraukan agamaku. Entahlah, mungkin memang aku sudah berdosa. Di masa kuliah ini, aku baru menyadari begitu banyak masalah-masalah kekerasan yang timbul karena beda agama. Bukan hanya antar agama, tapi juga dalam masyarakat yang agamanya sama, hanya berbeda faham dalam menafsirkan agama itu sendiri.
Aku mulai belajar lagi, pola bacaanku berubah. Jujur, linglung aku tak punya guru. Bukannya semakin mengerti malah timbul pertanyaan-pertanyaan baru. Aku baca mulai dari tulisan seorang atheis macam Richard Dawkins, hingga karya orang-orang sufi dari Ibn ‘Arabi hingga Rumi. Buku sastra Jawa kuno macam Gatolotjo hingga Centhini. Terlalu berat, untukku yang tak punya guru. Hingga akhirnya aku tertarik pada sejarah agama-agama. Dimulai dari agamaku sendiri. Kubaca kembali kisah-kisah sejarah para Nabi. Kubaca kembali cerita-cerita tentang Sahabat yang agung. Ahlul Bait Rasulullah dan pengikutnya yang diburu dan dihabisi oleh orang-orang yang dianggap sebagai Sahabat. Akhirnya sekarang aku tahu adanya konsep keimaman dalam Islam, yang selama bertahun-tahun hidup berstatus Islam tapi tak pernah tau apa itu imam, selain orang terdepan dalam sholat.
Sudahlah, aku cukupkan saja cerita tentangku. Karena tulisan ini bukan untukku, tapi untuk membingkai kisah seorang Mama. Ketika itu rumah sedang sepi, adik tarawih dan Ayah sedang tak di rumah. Ada berita tentang kekerasan agama di televisi. “Kenapa to Le, kok bisa kayak gitu?” tanya Mama.“Mungkin, karena mereka merasa paling benar sendiri, dan merasa surga terlalu sempit untuk dihuni ramai-ramai, Ma.” Jawabku ala kadarnya. Ya, mungkin saja surga terlalu sempit untuk menampung orang-orang kelewat besar seperti itu.
Lalu, aku memberanikan diri bertanya tentang bagaimana Mama dulu memutuskan menjadi seorang Muslim, Mualaf. Mama adalah anak tertua dari 4 bersaudara dalam keluarga Akung. Menjadi yang pertama memang berat, karena dituntut untuk tak mengecewakan dan bisa menjadi panutan adik-adiknya. Mama jawab, “Karena Mama sepenuhnya percaya sama Ayahmu.”
“Terus, gimana tanggapan Eyang dan Akung waktu itu, Ma?” Mama mematikan televisi, diam cukup lama sebelum akhirnya menjawab pertanyaan ini.
“Ya, tentu saja beliau marah, Mama udah mengecewakan mereka. Mama gak bisa jadi panutan adik-adik Mama. Liat sekarang Om sama Bunda(Tante) yang Mualaf juga. Mungkin kalo waktu itu Mama gak jadi Muslim, Om dan Tantemu juga gak akan berani masuk Islam. Mungkin gara-gara Mama mereka jadi berani. Mama sedih lihat Akung dan Eyang sedih. Tapi Mama bersyukur, Akung dan Eyang adalah orang yang kuat. Orang yang baik. Mama bersyukur sama Allah. Coba, kalau beliau bukan orang baik, apa yang bisa terjadi di keluarga Surabaya? Apa yang bakal terjadi sama Mama? Sama kita?” Aku diam. Tak menjawab apapun. Tak berani memikirkan apapun untuk menjawab pertanyaan Mama. Mata mama berkilat. Pun, mataku.
Memang, Eyang dan Akung adalah orang yang luar biasa. Beliau adalah orang penting dalam Gereja. Setiap liburan dulu aku selalu menyempatkan ke Surabaya. Saat itu, tujuanku yang utama adalah belanja komik. Bahkan, dulu aku yang kecil sering ikut ke gereja. Mendengar pendeta ceramah, mendengar orang-orang melagukan puji-pujian yang indah.
Mama, memang hanya seorang Mualaf. Mama jarang belajar Islam. Bahkan, Mama bilang bahwa Mama belajar sholat dan berdoa itu dari aku. Ya, ketika dulu aku di sekolah dasar Islam. Beliau belajar bersama aku. Tanpa aku sadari tentunya. Beliau sholat dengan buku panduan di depannya. Dengan bacaan yang dibaca huruf latinnya saja, dengan gerakan sesuai yang dilihat dalam panduan. Dengan melihat sholatku. Mama tak hapal Quran. Barangkali hanya sedikit sekali surat pendek yang dihapal. Ah, jangankan menghapal Quran, membaca Hijaiyah pun mungkin beliau terbata-bata. Tapi itu sama sekali tak berarti beliau bukan umat yang taat. Beliau adalah umat yang hebat.
Mama malah masih hafal penggalan ayat-ayat yang tertera dalam Kitab Perjanjian. Beliau berkata bahwa saat masa remajanya, ketika masih seumur denganku, setiap hari selalu mengambil satu ayat dari al-Kitab untuk dijadikan pedoman. Setiap hari satu ayat. Benar kan, Mamaku adalah umat yang hebat?
Tak berhenti disitu, Mama, Om dan Tante, semua adalah umat yang hebat. Mereka iuran untuk memberangkatkan Akung dan Eyang melakukan ibadah bulan depan. Jalan Salib. Jalan Salib berarti napak tilas perjalanan hidup Kanjeng Gusti Yesus. Di Palestina, kalau aku tidak salah. Dan, Insyaallah, Mama dan Tante akan umroh tahun depan. Benar kan, Mamaku adalah umat yang hebat?
Dibandingkan dengan orang-orang yang mengaku agamis, Mama mungkin hanyalah mualaf yang buta hijaiyah. Ikut-ikut suami. Tapi bagiku, Mama adalah sosok yang hebat. Seorang umat yang taat. Dibanding orang hafal Quran tapi gemar bertakbir sambil menyembelih orang-orang yang beda dengan alirannya. Dibanding orang-orang yang mengaku Islam tapi mengkafirkan Islam yang lain. Dibanding orang-orang bersorban yang memukuli jemaat yang sedang berdoa. Dibanding Khotib di mimbar masjid yang mendakwahkan benci. Mama jauh di atas itu semua.
Walaupun sedikit ilmunya mengenai agama, tapi beliau berhasil untuk menjadi seorang manusia yang berguna. Berguna bagi keluarga, menjadi contoh untukku, anaknya.
Ma, semoga anakmu bisa sepertimu, walau melangkah ke jalan yang berbeda. Aku rindu, Ma. Barangkali Mama-lah wujud Tuhan yang pertama kali kukenal.