Mata yang Sama, Juga Malam Itu
Tak ada hujan lagi di bulan Juni. Udara kering — siang panas sekali, dan malam, adalah tentang sebaliknya, dingin luar biasa.
Tak ada hujan lagi di bulan Juni. Udara kering — siang panas sekali, dan malam, adalah tentang sebaliknya, dingin luar biasa.
Saking keringnya, konon bangkai akan lebih cepat ter(b)urai di bulan ini. Seperti tikus yang sering dilihatnya terkapar di tengah aspal jalanan. Yang kering, yang lengket ke roda-roda mobil dan truk besar, dan hilang entah ke mana. Digantikan dengan bangkai tikus baru yang lain yang bernasib sama, tak amblas dimakan belatung namun kering dan dilindas roda yang tak mengerti ampun. Sebagai seorang pengendara motor, Ia sudah terbiasa menyaksikan adegan itu; mendengar bunyi tulang kering yang remuk, melihat bulu halus yang berhamburan, serta menunggu cipratan darah yang keluar dari bangkai dengan malu-malu.
Ia bergidik, membayangkan ke mana hilangnya bangkai-bangkai itu. Lalu ia sampai pada dugaan, bahwa partikel-partikel dari bangkai yang hancur itu betapa telah jadi satu dengan debu, asap, dan tai sapi, menempel di wajahnya serta wajah orang-orang lain di jalanan. Tak terkecuali pada wajah seorang perempuan yang sekarang duduk di jok belakang sepeda motornya, yang sedang melingkarkan kedua tangannya di pinggangnya, menyabuk.
Ia mengintip wajah ayu itu dari kaca spion motor birunya, sekadar untuk memastikan bahwa wajah itu aman-aman saja. Dan benar, ia tersenyum, ia sadar ia sedang menembus jalanan bersama seorang jelita yang nyaris sempurna, yang kebal dari partikel laknat berterbangan yang sempat dibayangkannya. Najis itu takkan berani menempel pada wajah seorang pewaris kecantikan paripurna Dewi Sanggalangit, pikirnya.
**
Malam ini ia sedang berada di restoran cepat saji yang tak jauh dari rumah kontrakannya. Ia sengaja memilih untuk duduk di luar, mengadu kulit sensitifnya yang terbungkus jaket tipis lusuh dengan dingin malam. Malam ini ia menang.
Restoran cepat saji ini cukup sepi, hanya ada ia dan beberapa temannya, serta pengunjung lain yang barangkali tak lebih dari lima orang. Ia dan teman-temannya duduk di tempat yang terpisah dari pengunjung lain. Televisi yang tergantung di tembok mati, barangkali pengelola restoran memang sedang berusaha menghemat energi, atau lebih tepatnya, pengeluaran. Tapi lagu-lagu di restoran itu masih mengalun, mengisi malam dengan volume suara yang pas, tak terlalu pelan, tak terlalu keras.
“Hai, namaku ‘…’,” perempuan itu memperkenalkan diri dan menjabat tangannya. “Ya, salam kenal ya,” jawabnya. Perempuan di depannya ini adalah teman dari temannya. Sebenarnya ia sudah pernah melihat perempuan ini sebelumnya, entah di koridor kampus, di perpustakaan, atau bahkan ketika berpapasan di jalan. Namun baru sekarang mereka saling berkenalan, dengan cara yang formal, dengan cara yang normal.
Perempuan itu mengenakan jaket jin yang sengaja tak dikancingkan, kaos putih bertuliskan “HILANG”, celana hitam yang cukup belel, serta bersepatu kets. Gaya yang memang cukup lazim di kalangan anak muda. Selain kaosnya yang menarik, perempuan itu punya mata yang….
We touch I feel a rush We clutch it isn’t much But it’s enough to make me wonder what’s in store for us It’s lust, it’s torturous You must be a sorceress ’cause you just Did the impossible
Suara Eminem yang khas, cepat namun jelas, memburu namun anti kehabisan nafas mengalun dari pengeras suara di restoran. Ia tahu lagu ini, berjudul ‘Space Bound’, dari album luar biasa Eminem, Recovery. Baginya, Em adalah seorang pencipta lirik yang jenius, bahkan jauh melebihi Ahmad Dhani waktu masih berambut panjang dulu.
Di kamar hotel, di sebelah lampu tidur, dengan kepala sedikit berat akibat beberapa minuman yang ia tenggak, ia menghabiskan buku Moses and Monotheism. Buku itu adalah buku terakhir yang terbit di masa hidup Sigmund Freud. Ia khusyuk, hanyut dalam buku kontroversial itu. Buku itu, atau minuman itu, telah menenggelamkannya dari dunia. Ia bahkan tak peduli lagi ketika wangi, rambut yang separuh basah, serta kesempurnaan kulit yang hanya ditutupi selembar handuk putih tipis sang titisan Dewi Sanggalangit berusaha menertawakan dunia.
Baru ketika ia merasakan ada sedikit goyangan di ranjang sebab menerima tambahan beban, ia tersadar. Ia pandangi sang Dewi. Lalu handuk putih itu segera saja tergolek di lantai yang dingin. Babak baru sedang berlangsung, dengan wangi yang baru, dengan tenaga yang baru terkumpul kembali setelah habis setengah jam yang lalu.
It’s like an explosion every time I hold you, I wasn’t joking when I told you You take my breath away You’re a supernova…
Sang Dewi membelalak, mulutnya meracau, melahirkan kidung-kidung surgawi. Penuh harapan, mengangkang, kakinya terangkat ke atas seolah berusaha menggapai bintang. Pemuda berambut panjang sebahu itu telah berkhidmat kepada pekerjaan.
**
“Nggak mau coba es krimnya ini, enak lho,” kata perempuan itu.
Ia menggeleng, tak terlalu suka dengan sesuatu macam itu. Ia sendiri hanya memesan segelas besar minuman bersoda, Coca-Cola. Sebenarnya ia tak terlalu suka nongkrong di restoran seperti ini. Bukan gayanya. Kalau bukan karena ajakan dan semangat teman-temannya untuk berkenalan dengan teman baru, sudah barang tentu ia takkan ikut. Dari dulu, ia lebih suka menghabiskan waktu di kamar, sekadar membaca buku atau menonton film-film lama. Pun kalau harus keluar, ia memilih warung kopi kecil saja, karena di sana, ia bisa berbincang dengan para warga biasa, berbicara tentang apa saja.
Nobody knows me I’m cold Walk down this road all alone It’s no one’s fault but my own It’s the path I’ve chosen to go
“Katanya, kamu suka baca buku ya?”
“Hmm. Nggak kok, biasa aja. Suka beli, bukan suka baca. Baca sih karena terpakasa,” jawabnya entah bermaksud merendah atau bagaimana.
“Oh, gitu ya… keren,”
“Hehe. Kamu suka baca juga kah?” kali ini ia mencoba bertanya.
“Nggak juga sih, suka ngantuk kalau baca buku. Pusing. Palingan cuman buku-buku novel ringan aja, itu juga jarang.”
Ia mengangguk, berusaha tidak tampak merendahkan. Ia paham betul manusia yang merendahkan manusia lain adalah justru manusia yang paling rendah.
Frozen as snow I show no emotion whatsoever so Don’t ask me why I have no love…
Ia menatap cangkir kopi yang masih mengebulkan asap itu. Tak sanggup mendongak ke atas, tak sanggup menatap seseorang yang duduk di depannya. Ia memerhatikan semut-semut yang saling menyapa temannya dengan membenturkan sesuatu mirip antena. Ia menghitung remah-remah roti yang tercecer di atas meja sambil menebak, mana yang akan diangkut lebih dulu oleh para semut.
Perempuan jelita itu melihat ke atas, menghitung lembar-lembar plafon yang ada di cafe itu. Dimulai dari plafon paling pojok yang ada di atas tempatnya duduk. Yang ia lakukan sebetulnya adalah menahan agar air matanya tak jatuh ke meja, agar tak diketahui semut-semut yang berjalan, agar tak membasahi remah roti yang berceceran itu dan menambah beban si semut.
So after a year and six months, it’s no longer me that you want But I love you so much it hurts Never mistreated you once I poured my heart out to you
Suara Eminem memenuhi cafe malam itu. Ketika asap mulai hilang dari cangkir kopi, mereka saling tatap. Keduanya menutup mulut rapat-rapat, tak bisa berkata apa-apa lagi, tak tahu apalagi yang mesti diucapkan dan diungkapkan. Akan tetapi, mereka berdua saling mengerti. Pikiran mereka sama, “Ia telah menjelaskan semua tanpa sedikit pun menggerakkan bibirnya”.
“Semoga mata itu tak melahirkan apa-apa yang aku tak sanggup menghapusnya,” katanya, dalam hati.
“Semoga aku tak membasahi remah roti itu,” kata Sang Dewi, sama, dalam hati.
Ia ingat mata itu; mata yang sama, bulan yang sama. Purnama hitam yang menyihir siapa pun yang memandangnya dan dipandangnya. Mata yang sama, juga malam itu.
I’m a space bound rocket ship and your heart’s the moon And I’m aiming right at you Right at you Two hundred fifty thousand miles on a clear night in June And I’m aiming right at you Right at you… Right at you
Bandung, 1 Juli 2015