Marhaban Yaa Jesus Christ

Pulang, akhirnya. Setelah beberapa bulan berada dalam kesibukan. Pulang, akhirnya.

Kepulangan bulan Desember bagi saya adalah sebuah keharusan. Ada hal yang penting dan tak bisa ditangguhkan, tak bisa dengan alasan apapun untuk tidak melakukannya. Kepulangan yang tak dapat lagi ditawar. Pulang pada keluarga di Surabaya. Ya, untuk Natal, tentu saja.

(Tapi sebenarnya saya memang ingin pulang, kok. Karena memang ingin dan bukan karena berusaha melunasi kewajiban.)

Ada sebuah kerinduan yang ganjil, pada cemara plastik gemerlapan di sudut ruang tamu rumah Surabaya. Yang hijau, sejak tahun pertama saya mulai mengenalinya dan tentu saja hingga sekarang. Pada lampu gemerlapan yang digantung, juga pada suara monofonik Jingle Bells yang euphoric. Hiasan-hiasan yang bergelantungan — yang dulu sering saya bawa pulang — , salju dari kapas serta wangi daun pandan yang menyegarkan. Selain rindu pada keluarga, barangkali hal itulah yang membuat saya begitu ingin pulang.

Syukur Alhamdulillah, semua keluarga Surabaya diberi kesehatan dan kebahagiaan untuk bersilaturahmi. Syukur juga untuk Eyang dan Akung yang baru saja pulang dari ibadahnya di Yerusalem. Yang foto-fotonya membuat saya takjub dan tertegun. Pohon Zaitun yang berumur ribuan tahun. Relief di Via Dolorosa yang begitu berhasil mengabadikan sebuah rangkaian penderitaan. Ah. Semoga saya diberi kesempatan berkunjung kesana.

Saya, serta berjuta manusia lain yang tersebar di penjuru dunia bersepakat bahwa Natal memang harus dirayakan. Natal adalah kegembiraan meluap sebab datangnya Sang Kabar Baik. 20 abad lalu, pernah lahir sosok yang disebut dalam Al-Quran sebagai sebuah “Tanda bagi alam semesta” (Q. 21:91), juru selamat bagi manusia yang batil dan berdosa. Ialah Kanjeng Yesus As. Yesus bin Maryam — salam kepadanya — semoga dipercepat kehadirannya kembali.

Telah termaktub juga dalam Al-Quran, “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan kembali.” (Qs. 19 : 33). Tidakkah cukup untuk membuktikan bahwa kehadirannya dalam dunia patut untuk dirayakan? Apabila tidak mau merayakan, tidakkah cukup alasan untuk sekedar menghargai kehadirannya?

Ingatlah juga bahwa beliau adalah Sang Pembela Kaum Tertindas, yang menyelamatkan ummat dari tiran, “yang menghapus segala air mata dari mata mereka” (Wahyu 21:4).

Namun seolah ayat-ayat tersebut tak berarti apa-apa. Masih saja ada yang menganggapnya perayaan orang kafir dan hukumnya haram.

Haram mBahmu! Acara kafir nDasmu! Bagaimana bisa orang berlogika bahwa merayakan, atau sekedar mengucap selamat pada yang merayakan Natal berarti mengakui bahwa Yesus putra Maryam adalah Tuhan? Dan bila berpatokan pada cara berpikir itu, berarti seluruh anggota keluarga saya telah murtad setiap akhir tahun. Begitukah? Betapa mengerikan, saudaraku. Karena hukuman bagi seorang Muslim yang murtad adalah kematian. Begitu mengerikan. Jelas saya menolak pengharaman ini.

Tapi biarlah, kiranya dunia tak akan seru bila tak ada golongan-golongan seperti itu. Perbedaan adalah sunatullah, dan mereka bukanlah hakim bagi saya dan jutaan yang merayakannya.

Ada yang gagal menjadi hakim, lalu ada yang mencoba menjadi algojo. Algojo penyegel Gereja. Hingga Natal harus dirayakan dengan sembunyi-sembunyi. Ya, sang penyegel adalah saudaranya sendiri, sesama manusia. Manusia yang lupa bahwa Kanjeng Gusti sendiri tak pernah melarang untuk merayakan datangnya kabar gembira.

Heran, apakah mereka tidak melihat ketulusan saudaranya untuk merayakan Natal?

Padahal ada orang-orang yang tetap dengan bahagia menyambut Natal walau rumah dan gereja mereka sedang terendam banjir.

Kemarin Mama cerita, ada tetangga di desa saya yang sudah berumur cukup tua, tak bekerja dan harus merawat cucunya yang masih bayi. Orang tuanya, entah kemana saya lupa. Yang jelas tak ada di rumah itu. Mama mengunjunginya. Bertanya, “Lha ngeten iki maem e pripun?” Menanyakan bagaimana untuk makan sehari-hari. Tetangga menjawab “Wonten ingkang maringi, Pendeta Tris niku mben dinten maringi maem thole-ne.” Ia bilang bahwa ada seorang Pendeta yang setiap hari datang untuk membantu memberikan makanan. Padahal setahu saya rumah Pendeta itu berjarak sekitar 2km dari tetangga saya. “Lha nggih teng pundi niki tanggane ingkang tiros e Muslim..”.

Sekali lagi, saya kagum dengan ajaran Cinta Kasih ini. Selamat Natal, Pak Pendeta..

Bagi mereka, segala pahit dan getir harus disudahi karena hari itu adalah hari datangnya Kabar Baik. Kelahiran Putra Sang Perawan Suci. Yang harus disambut dengan suka cita dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan. Maka selamat datang, Yaa Yesus As. Marhaban Yaa Jesus Christ.

Tak takut lagi ketinggalan

Daftarkan email Anda untuk berlangganan nawala.
[email protected]
Langganan