adityawarmanfw

Lukisan Kesukaan Engels

Di artikel bertajuk “Kemajuan Pesat Komunisme di Jerman”, Kak Engels yang ganteng itu menuliskan apresiasinya untuk lukisan Penenun Silesia…

Di artikel bertajuk “Kemajuan Pesat Komunisme di Jerman”, Kak Engels yang ganteng itu menuliskan apresiasinya untuk lukisan Penenun Silesia karya Karl Hübner.

Begini, saya terjemahkan suka-suka:

“Biarkan aku pada kesempatan ini menyebutkan sebuah lukisan karya salah satu pelukis Jerman terbaik, Karl Hübner, yang memungkinkan agitasi sosialis yang lebih efektif ketimbang ratusan pamflet yang barangkali pernah dibikin. Lukisan itu menampilkan beberapa penenun Silesia yang membawa kain linen ke para pengusaha, yang kontras, dengan kekayaan dan hati yang dingin di satu sisi, serta putus asa pada kemiskinan di sisi yang lain. Para pengusaha yang perutnya bisa kenyang itu tampil dengan wajah merah dan tak berperasaan laiknya kuningan, menolak sepotong kain yang dimiliki seorang perempuan; Perempuan itu, yang tidak melihat adanya kesempatan untuk menjual kainnya, tenggelam jatuh dan pingsan, dikelilingi oleh kedua anaknya yang kecil, dan dijaga dengan susah payah supaya tak makin tenggelam oleh lakinya; Seorang pegawai melihat-lihat pada sepotong kain, pemiliknya dengan kegelisahan yang menyakitkan menunggu apa hasilnya; Seorang pemuda menunjukkan kepada ibunya yang putus asa upahnya yang sedikit saja yang diterimanya atas kerja kerasnya; Seorang pria tua, anak perempuan, dan seorang anak laki-laki, yang duduk di batu dan bangku ecara bergantian, dan menunggu giliran mereka; Dan dua pria, masing-masing dengan sepotong kain yang ditolak tak dibeli disampirkan di punggungnya, baru saja meninggalkan ruangan, salah satunya mengepalkan tinjunya dengan marah, sementara satunya lagi, meletakkan lengannya ke kawannya itu, sambil menunjuk ke arah surga, seolah berkata: diamlah, ada hakim yang akan menghukum dia. Seluruh adegan ini terjadi di lobi yang dingin dan tak bersahaja, dengan lantai batu: hanya pengusaha yang berdiri di atas karpet; Sementara di sisi lain lukisan itu, di belakang pilar, pemandangan dibuka ke dalam rumah penghitungan yang mewah dan perabot yang dipernis, dengan tirai dan cermin yang indah, di mana beberapa pegawai menulis, tak terganggu oleh apa yang melintas di belakang mereka, dan di mana putra dari pengusaha itu, seorang pria muda yang dandy, bersandar di pilar, dengan cambuk di tangannya, mengisap cerutu, dan dengan dingin menatap para penenun yang sedang merasa tertekan.”

Seni yang baik adalah yang ma(mp)u bersetia dalam menggambarkan kondisi sebenarnya. Realistis dan jujur pada kehidupan.

Itu saja.

Seni yang baik seperti itu, kata Engels, akan mampu “mengguncang optimisme borjuasi, yang mau tak mau akan menimbulkan keraguan pada validitas tatanan yang ada.”

Dan ia akan tetap baik, lanjut Engels,“meski tanpa menawarkan solusi langsung untuk masalah-masalah yang ada, bahkan tanpa perlu untuk menunjukkan keberpihakan.”

Nah. Coba perhatikan lagi lukisan kesukaan Engels itu. Pelan-pelan.

Terguncang nggak, kamerad?