Kuasa untuk Berlari dan Menghadapi
Bisa saja salah, tapi menurutku hidup adalah tentang usaha untuk berlari, dan usaha untuk menghadapi. Dalam kehidupan, dua hal tersebut nyaris sia-sia untuk diingkari. Lari dari ingatan akan masa silam, dan berhenti untuk menghadapi masa depan. Memang, mustahil bagi kita untuk kembali ke masa silam. Hal itu pun sama dengan kemustahilan untuk kita dapat mengingat-ingat masa depan, tempat di mana segala sesuatu belum terjadi. Sebagai manusia, dalam menggambarkan masa depan kita hanya bisa menduga-duga. Mungkin, hidup manusia ada dari ingatan dan dugaan.
Ingatan dan Masa Silam
Ingatan adalah sebuah hal yang aneh. Bisa misalnya sebagai seseorang kita mengaku dapat mengunci ingatan dalam peti di kedalaman hatinya yang paling palung. Ada pula yang mengaku sanggup membingkai ingatannya dengan pigura Maha Indah. Tapi, sedalam apapun ingatan dikubur, seindah apapun ingatan dibingkai, ingatan masa silam adalah semacam makhluk kecil yang memberontak. Ia, meskipun dikekang, memiliki jerat-jerat yang bisa keluar dari peti tersebut atau bahkan menjalar keluar dari pigura. Menyalak-nyalak dengan gigih untuk menghambat kita dalam menghadapi masa depan. Ingatan merupakan genangan air besar yang mesti dilewati. Dan ketika kita melewatinya, sudah barang tentu kita akan basah oleh tempiasnya. Mungkinkah kita bisa lari dari jeratan ingatan masa silam?
Tak hanya ingatan, bahkan masa silam sendiri pun telah berhasil menyandingkan diri dengan masa sekarang, juga masa depan. Kasih, sukakah kau membuka jendela kamarmu, menutup buku dan mendongak keluar memandang bintang-bintang? Pernahkan kau, Kasih, memandangi langit gelap di atas rerumputan hijau yang menghitam ketika malam? Kasih, pernahkah kau duduk dengan tanganmu memainkan pasir di pantai, dan matamu menerawang jauh ke cakrawala bertabur bintang? Aku tahu, kau pernah.
Ketika melihat langit malam dengan bulan temaram dan pendar lemah bintang, tentu kita akan sadar bahwa hal semacam itu merupakan sebuah keindahan. Secepat itu juga Kasih, kita akan jatuh dalam pangkuan Morpheus dan terbius dalam lamunan. Menghidupkan kembali ingatan masa silam. Nostalgia akan romantisme membuat kita kadang melalak terbahak dan bisu berkaca-kaca. Kita sama-sama tahu bagaimana kegigihan ingatan masa silam untuk bersanding dengan kekinian. Jika itu belum cukup meyakinkan, akan kuceritakan hal yang lain, tentang rahasia bintang-bintang.
Dari bumi kita, bintang-bintang tampak sebagai makhluk yang rentan terkoyak. Mereka seolah-olah bagaikan noda yang mendominasi sucinya kegelapan. Bahkan sebenarnya, aku merasa aneh ketika ada orang berkata “Langit malam sedang dipenuhi bintang-bintang.” Padahal, terang bagiku bahwa kegelapan jauh lebih luas dari pada lautan bintang. Tanpa kegelapan, tak mungkin terlihat pendar bintang-bintang. Dan tahukah kau Kasih, rahasia tentang bintang? Yang kita lihat tersebar dan berpendar lemah seolah sedang meregang nyawa, sebenarnya memang sedang sekarat. Tak memiliki kuasa dalam cengkraman kegelapan. Banyak dari yang kita lihat adalah bintang-bintang sekarat, atau bahkan bintang yang telah mati. Nun jauh disana, sekarang bintang itu tak berbekas apapun, atau menjelma sebagai black hole bergravitasi masif. Yang kita lihat sejatinya adalah hantu masalalu dari bintang-bintang. Mereka telah mati. Hanya saja pendarnya tetap mengejar kita yang masih bisa tertawa, agar kita bisa menyaksikan bagaimana penderitaan mereka bertahan di hadapan semesta. Ironis, bagaimana kita kadang bahagia melihat bintang yang sedang meregang nyawa, bahkan yang tak lagi bernyawa. Seringkali kita tertawa di hadapan ingatan yang sejatinya merekam penderitaan — Memoria Passionis.
Itulah Kasih, senyata itu ingatan, bahkan masalalu itu sendiri untuk tampil di hadapan kita bersandingan dengan masa depan. Maka masih bisakah kita lari? Masihkah ada keinginan untuk lari? Ada orang-orang yang menyukai sejarah. Dan banyak orang lainnya menghina orang-orang ini dengan istilah kekinian “Susah move on.” Lucu, memang. Tapi biarkanlah kedunguan kritik itu, Kasih. Bagiku pun mempelajari sejarah adalah penting, suatu kewajiban. Dengan mempelajarinya-lah, kita bisa menembus batas-batas usia. Walaupun umur kita tidak akan panjang, di mana mencapai 60 pun sudah baik, kita bisa memperpanjang usia kita ke belakang dengan mempelajari sejarah. Sejarawan memperpanjang hidup mereka dengan mengetahui segala hal yang terjadi di masa silam. Ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu tahun lalu. Dengan ini, usia yang sebentar masih tetap bisa dirayakan. Dan begitulah keanehan lain dari hidup, bagaimana pun menyedihkan, harus tetap dirayakan.
Dugaan dan Masa Depan
Kasih, selagi hidup, kita terus dihidangkan pada masa depan. Ia(masa depan) adalah sebuah keniscayaan. Kadang, Ia datang bagaikan Katrina yang menerjang. Memporak-porandakan apa yang sedang kita rayakan. Di waktu lain, Ia menjenguk kita dengan santai, seperti angin sepoi di sawah garapan Ayah. Masa depan itu sendiri adalah kepastian, tapi apa yang akan terjadi di masa depan, penuh dengan ketidakpastian. Dan manusia, hanya bisa memberikan dugaan-dugaan.
Manusia gemar menduga-duga. Aku pikir kau pun setuju dengan itu, Kasih. Dengan menduga-duga, kita merasa seolah lebih siap untuk berdiri tegak menghadapi masa depan. Kita menduga bahwa dugaan kita bisa memberikan sebuah harapan. Kita dengan percaya diri meyakini bahwa harapan akan membawa kita ke masa depan yang lebih baik. Tapi harapan, tak jarang berakhir tragis. Bahkan menurut Camus, harapan justru membuat manusia tersiksa.
Kasih, bagiku harapan hanyalah sebuah barang dagangan. Penjualnya tentu saja orang-orang yang sudah merasa mapan. Mereka memainkan kita dengan produknya yang berupa harapan. Dan kita dengan dungunya terus mengkonsumsinya. Tragis. Aku harap kau tak terlalu pusing berburu buku-buku motivasi, self-empowering dan semacamnya. Sia-sia, Kasih. Kita hanyalah lelucon bagi para penjual motivasi. Tapi, aku tak menyalahkanmu bila kau terus berharap. Apalagi jika harapan itu adalah untuk kita.
Jika harapanmu adalah tentang kita, Kasih, maka saat itu harapan menjadi sama seperti cinta. Dan seperti halnya harapan, tentu kau tahu cinta tak selalu berakhir bahagia. Atas nama rindu ia menyiksa, atas nama cinta ia menghalalkan dosa. Ah, bukan maksudku berbicara tentang dosa. Biarlah dosa menjadi kesepakatan kita bersama. Cinta ibarat labirin Knossos, tak ada yang bisa bebas darinya kecuali Theseus dan Ariadne. Mungkinkah kita menjadi mereka, lepas dari sesat bernama cinta? Tragis, getir, dan menyiksa adalah keniscayaan cinta. Tapi anehnya, manusia tetap mencarinya dan membutuhkannya. Harapan dan cinta. Ya, dua hal bodoh itu.
Manusia menduga dengan harapan dan atau cinta membuatnya dapat bertahan di hadapan masa depan yang menerjang. Secara naif kita mempercayainya. Dan ketika terjangan masa depan berhasil menjungkir-balikkan harapan dan cinta mereka, manusia dengan naifnya membuat dugaan yang lain lagi. Membuat dugaan tentang sebuah harapan dan cinta yang lain lagi, dan begitu seterusnya. Berungkali ini terus terjadi, menduga, berharap, jungkir-balik, porak-poranda, bangkit, dan kembali menduga. Manusia, dipaksa merayakan hidupnya ketika bersiap-siap kembali diporak-porandakan masa depan. Dan untuk masa depan kita, Kasih — apa pun bentuknya — aku menduga bahwa kita harus menghadapinya dengan cara berbahagia merayakannya.