Kereta ini merambat lesu
Cerita dari kursi nomor 22D
Cerita dari kursi nomor 22D
Di satu siang, sesaat sebelum masuk ke dalam gerbong, kulihat wajah Bunda yang cemas selama sepersekian detik yang terasa beku. Detik pada jam FM OHLENROTH tuayang menempel di dinding stasiun itu mungkin tak bergerak juga. Bunda mendapatiku sedang menatapnya, baru kemudian terbitlah senyumnya. Kulambaikan tanganku untuk ke sekian kalinya. Bunda membalas, ragu-ragu, disusul dengan nafas yang diambil dalam-dalam. Kemudian diletakkannya kembali tangannya dalam sedekap. Gerik sederhana yang jadi tanda tiap keberangkatan. Senyum dan lambaian tangan yang sama sejak tujuh tahun lalu. Kejadian yang padanya selalu aku letakkan curiga: Cemaskah Bunda?
Lepas adegan itu, terdengar peluit petugas kereta api melolong panjang. Dan dimulai dengan satu hentakan kasar, Kahuripan berjalan. Perjalanan ini, kuduga, bakal panjang, berat, dan melelahkan.
Kukeluarkan tiket dari dalam saku. Kursi nomor 22D di gerbong nomor dua. Tiga gerbong di depanku. Kereta tak terlalu ramai di gerbong ini. Aku berjalan. Sampai akhirnya aku tiba di gerbong milikku, yang dinding dalamnya baru, berlapis papan kayu berpelitur. Tampilan baru, tapi dengan loko tua yang itu-itu saja. Dan memang senapas dengan semangat zaman: berhebat-hebat dengan tampilan.
Banyak kursi kosong karena sekarang bukan akhir pekan. Hanya di ujung, dekat gerbong ketiga dari rangkaian, kursi-kursi diduduki oleh setengah kelas anak-anak sekolah menengah yang mungkin sedang rekreasi. Aku lanjut berjalan. Kursiku ada di dekat ujung yang lain.
NOMOR 22D. Sampai juga aku. Ada dua orang bapak-bapak yang duduk di depan dan sebelah kanan kursiku. Satu mengenakan jaket dan rambutnya mulai beruban, satu lagi berkacamata, berbadan tegap dan mengenakan kemeja. Tampak mereka saling kenal satu sama lain. Kusapa mereka, lalu kunaikkan tas dan bekal dari rumah yang dibawakan Bunda ke atas. Ada telur asin, serundeng, roti, dan sebungkus besar oat choco. Juga sekotak nasi ayam panggang manis yang sesaat sebelum aku berangkat sempat dijejalkan Bunda dalam tas keresek cokelat tua bercap toko pakaian yang cukup masyhur. Kududukkan pantatku di kursi yang nyaris tegak lurus sandarannya itu. Karenanya, kursi itu kusebut kursi sial.
Kereta melintas dekat pabrik rokok yang tumbuh seperti pohon pule. Besar, tua, dan hidup sampai sekarang. Samar-samar bisa kucium wangi tembakau dan cengkeh. Satu hal yang khas jika kereta melewati Kota K. Kulihat bangungan-bangunan besar itu dari jendela. Dan di sana sedikit kulihat pantulan wajahku sendiri. Dan dari pantulan itu pula kembali kulihat bayang Bunda.
Beberapa tahun belakangan kurasai tiap kepulangan mirip seperti mimpi yang melelahkan, tiap keberangkatan adalah masa terseok dan sekarat, dan mendarat di tujuan adalah kembali hidup dipenuhi cemas, ragu, dan takut kehilangan.
Harapan — dengan cara ajaib — bisa juga menjadi hal yang menyakitkan. Maka memberikan janji-janji manis dan indah tentang hari depan adalah hal-hal yang pertama kuhindari saat bercakap dengannya. Aku telah paham betul, sekali harapan tak terwujud, remuklah bongkah hati. Dan kuingkari sendiri hal itu. Sebelum keberangkatan, kubilang pada Bunda, akan kuselesaikan studiku. Segala proses belajar formal memang telah kutuntaskan sejak akhir tahun lalu, dan tinggal barang dua tanda tangan lagi selesai tugasku di sini. Tapi, dua goresan yang mestinya hadir itu kini tertahan di ujung pena orang-orang yang memaksa orang lain untuk menjaga nama baiknya. Aku dipaksa jalani hukuman sebab dianggap tak bisa menjaga nama baik. Tentu konyol. Aku selalu sangsi dengan nama baik. Apa pentingnya nama baik jika memang bertindak buruk. Penjagaan nama baik, buatku, amat dekat dengan pemujaan diri sendiri. Mengukuhkan sifat anti-kritik dan karenanya anti-kemajuan. Satu bentuk pemberhalaan diri yang tentunya menjijikkan.
Berkali kuyakinkan pada Bunda bahwa tak sedikit pun aku punya kesalahan. Dan bahwa ada hal-hal yang mesti dibela dengan sepenuh bisa: kemerdekaan. Dan sebagaimana sejarah bercerita, kemerdekaan tak pernah jatuh dari langit. Kemerdekaan mesti direbut, diperjuangkan sepenuh bisa.
TAPI BUNDA MENOLAK ITU. Sebijak mungkin ia bilang, mengutip pepatah tua, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Di tempat mana pun ada aturan-aturan, yang tak bisa dilawan, dan mesti disepakati. Berkali-kali pula Bunda memohon padaku untuk menjalani saja hukuman ini. Aku yang tengah berusaha menjaga kewarasan di tengah kegilaan pada nama baik itu menjawab pada Bunda: Di mana bumi dipijak, di situ yang lemah terinjak-injak.
Di sana ada yang memang punya kuasa, patuhilah, kata Bunda lirih. Dan itu juga kujawab, dengan segenap permohonan ampun: nabi-nabi besar mencontohkan untuk melawan segala bentuk kezaliman.
Berkali-kali pecah tangisnya sebab jawaban-jawabanku, dan ratusan kali kiranya kusalahkan diri atas ketidakmampuanku berbuat yang baik-baik barang untuk sedikit saja menenangkannya. Dan untuk itu, berkali-kali pula kumohon maaf dan ampun darinya. Kumohonkan pada Bunda supaya tenang, tapi sendirinya aku tak pernah bisa tenang. Tak pernah benar aku merasakan merdeka. Tapi berkali-kali juga kuyakinkan diri: bukan Bunda sebabnya! Segala kata-kata dan pesan darinya adalah kasih dan sayang yang menderas bak aliran sungai panjang tiada terkira. Dalam satu fase kehidupan inilah aku tahu betapa berat rasanya menerima kasih sayang. Apalagi yang sederas ini. Jika pun ada doa, yang kuminta dikabulkan adalah kuatnya Bunda dan aku tak menjadi anak celaka. Bunda telah terampas sejak mudanya, nyaris hilang daya ketika dewasa…, tak sampai hati aku menjadi luka bagi masa tuanya.
Percakapan dalam pikiran yang tiada lain yang bisa mendengar selainku itu buyar ketika tiba-tiba, seorang perempuan yang duduk di balik kursiku sedang menelepon dengan suara yang keras. Aku nyaris yakin satu rombongan remaja di ujung lain gerbong juga bisa mendengar dengan jelas. Sekeras suara nelayan yang takut suaranya hilang ditelan ombak. Bapak berpeci yang duduk di depanku tersenyum sambil mempertontonkan raut muka yang aneh. Sebentar saja aku balas tersenyum, sebelum perempuan itu mengisak tangis. Suara yang keras itu jadi terputus-putus. Kucoba mencari wajahnya lewat pantulan di jendela. Dia belum tua. Kereta …, anaknya …, berangkat …, dia …, tidak tahu …, maksudnya …, rentetan kata-kata itulah yang terdengar dan berulang.
Langit mulai mengoranye ketika dua kota sudah kulewati. Perempuan malang itu masih menelepon tiap seperempat jam sekali, ke orang berbeda-beda, dan masih dengan suara keras. Seperti tak mau jika ada satu kata saja yang lolos dari pendengaran lawan bicaranya. Ia menelepon ke adiknya dan ke kerabat-kerabatnya. Aku mulai terbiasa. Dan mulai lagi bayangan-bayangan berkelebat dalam pikiran. Kutelan dua pil pereda nyeri kepala. Sebelum terpejam, sempat juga aku berpikir, bahwa pil-pil yang kutelan ini juga senapas dengan semangat zaman.
Kereta ini memulai perjalanan dengan hentakan keras, merambat lesu meninggalkan permulaan, mengarah ke tujuan yang melulu bergeser ke depan. Dan di hadapanku: Hidup yang besar, bergerak, mulai tampak.