adityawarmanfw

Jantung

Jakarta, 23 Desember 2016

CATATAN

Jantung

Jakarta, 23 Desember 2016

“Jantung bapak sudah tidak kuat,” kata laki-laki itu pada saudaranya.

Di kursi tunggu itu, aku tak bisa merasakan kakiku. Dada tiba-tiba seperti tak ada isinya. Tubuh seolah jadi ringan. Aku melihat mereka. Aku ingin tahu apa yang terjadi.

Sejenak lalu, dari pintu lorong ruang ICU, laki-laki itu menggendong perempuan berusia sekitar 50-an. Ibunya. Pingsan setelah melihat, atau mendengar — entah aku tak tau pasti — kondisi suaminya.

Satpam yang mengikuti di belakangnya bilang, “Tidak apa-apa itu, beliau cuma kaget saja.”

Saudara-saudaranya mengerumuninya. Tak jauh di depanku.

“Bapak tidak apa-apa, sudah tenang saja, Buk,” kata laki-laki itu sambil menggosok punggung ibunya setelah sebelumnya mengoleskan minyak kayu putih ke tepi lubang hidung ibunya yang membuatnya bangun. Ibu itu menangis. Terisak. Laki-laki itu hampir ikut menangis.

Aku melihat ke istri kakak sepupuku. Dari raut mukanya, ia sedang cemas, aku tahu. Suaminya, kakak sepupuku itu, berada di lorong yang sama.

Sekarang aku ada di ruang tunggu rumah sakit jantung di Jakarta. Kalau tak keliru, aku sempat dengar dari cerita bapak-bapak supir Grab yang kutumpangi kemarin malamnya, Bu Tien turut andil dalam pendirian tempat ini. Sejauh mana keterlibatannya, aku tak tahu betul.

Rumah sakit ini berbeda dengan rumah sakit yang pernah kukunjungi sebelumnya. Di sini hampir tidak ada bau menyengat khas rumah sakit. Tapi kengerian, tentu tetap ada. Sepupuku sudah selesai menjalani operasi katup jantung sejak sore kemarin, tapi sampai malam ini urung juga dipindahkan ke tempat “intermediate”, tempat transisi sebelum pasien dipindah ke ruang perawatan.

Yang dioperasi di tempat ini, kebanyakan adalah orang yang bocor katup jantungnya, atau yang tipis selang nadinya. Aku tak paham istilahnya dan tak tahu apa selang nadi istilah yang tepat. Tapi yang pertama itu, bisa diatasi dengan memberikan katup mekanik atau biomekanik. Yang kedua, bisa dengan menanamkan semacam pipa agar nadi tak sampai pecah. Kerusakan itu terjadi akibat tingginya tekanan darah.

Jantung, kata mamaku dulu, adalah benda berdenyut yang ukurannya tak lebih besar dari kepalan tangan. Ia mengatakan itu sambil memegang tanganku dan mengepalkannya. Jantungku waktu taman kanak-kanak, ternyata tak lebih besar daripada bantalan odading di Dago yang buka dini hari itu. Dan aku ingat, kepalan tangan mama sedikit saja lebih besar dari kepalan tanganku.

Malam itu, di atas kursi di ruang tunggu, sambil memejamkan mata untuk mencoba tidur aku memegang dada sebelah kiriku. Masih ada yang berdenyut. Lirih. Mungkin jika sinar, ia akan tampak berpendar lemah. Seperti bintang. Atau seperti lampu perahu nelayan yang sejenak tampak sejenak hilang. Atau seperti lilin di tepi jendela. Pelan, tapi tetap bisa dirasakan. Ini artinya aku masih hidup.