Hujan

Maret nyaris selesai, tapi hingga sekarang hujan masih saja enggan berhenti. Langit masih murung, hujan masih turun: merintik dan menderas.

Membicarakan hujan yang urung selesai, tentu saja aku ingat pada puisi Sapardi. Dari puisinya, aku tahu bahwa terkadang, hujan sanggup nyasar sampai bulan Juni. Tapi sekarang ini Maret urung berakhir, dan Juni masih lama lagi. Masih ada tiga bulan, dan itu bukan waktu yang sebentar untuk… untuk seseorang yang selalu sendiri ketika menyeruput kopi. Tetapi mungkin saja tiga bulan adalah waktu yang terlampau cepat untuk orang-orang yang sedang bergelut dengan skripsi. Terlalu cepat untuk pergi.

Barangkali memang aku saja yang tak tabah, tak pernah lebih tabah dari ‘Hujan Bulan Juni’*…

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

Mengapa hujan sekedar merintikkan rindunya setelah repot-repot nyasar di bulan Juni? Apa karena ia merahasiakannya, sehingga itu hanya menjelma sebagai rintik saja? Ataukah, ketika rindu menderas, maka ia takut rindunya tak lagi menjadi sebuah rahasia? Apa dan siapa pula pohon berbunga itu? Bunga di bulan Juni?

Dari yang kubaca tentang hubungan antara bulan dengan bunga, aku tahu ada tradisi orang-orang Romawi kuno untuk memperingati kelahiran dengan memberikan bunga sebagai hadiah, sesuai dengan bulan kapan orang itu dilahirkan. Lalu, dari situ kudapati mawar sebagai bunga untuk kelahiran di bulan Juni.

Mawar, dipercaya telah tumbuh sejak peradaban Babilonia. Ia juga telah terlukiskan pada piramida Mesir sejak abad ke-14 sebelum masehi, mawar pun juga digunakan sebagai persembahan untuk Dewi Isis oleh orang-orang ini. Tapi itu tak penting-penting amat, kan? Yang lebih penting di sini adalah arti dari mawar itu sendiri, yang menurut sebagian besar manusia sama saja: Love, Passion, Beauty and Perfection.

Kerapkali mawar digunakan sebagai cara untuk menyampaikan cinta. Beberapa kisah barangkali telah mendasari kebiasaan ini — Aphrodite, Cupid, Rodhante, Wisnu dan Brahma, juga Cleopatra, atau… kisah kapal Titanic. Tak perlu diceritakan di sini bagaimana kisahnya, cari tahu saja sendiri. Pun aku yakin pasti salah satu di antaranya ada yang kau ketahui, kan? Kurasa kau pun sudah tahu dan mau tak mau sepakat dengan anggapan bahwa mawar memiliki arti seperti yang disebut di atas.

Ah, mumpung ingat, bila nantinya kau kerja di televisi, koran, radio atau media lainnya, jangan pernah pakai Mawar — juga nama bunga lainnya — sebagai nama samaran untuk korban perkosaan. Karena seperti yang kubaca dari esei Dewi Candraningrum yang ditulis di Jurnal Perempuan, nama bagi korban perkosaan hanya satu: “Perih”. Untuk ini lagi-lagi kurasa mau tak mau kau akan setuju.

“Hey, tunggu dulu, sekarang ini masih Maret!” Lah, benar juga. Meski ia nyaris selesai, sekarang ini masih Maret. Ini berarti belum waktunya untuk mawar. Jadi semestinya ini bukan menjadi cerita tentang kecantikan, percintaan dan hal menye-menye lainnya. Di tulisan ini, kurasa aku pun malas membahas hal-ihwal cinta dengan ndakik-ndakik seperti Gibran atau seperti Rumi.

Bunga pada bulan Maret adalah daffodil. Dalam bahasa Indonesia, ia disebut bunga narsis. Aku akan menyebutnya daffodil saja. Bunga ini adalah bunga musim semi, seperti yang banyak mekar dalam adegan timelapse salju mencair. Tahu kan apa yang kumaksudkan, kan kau senang menonton film kan? Bila mawar menyatakan cinta, maka daffodil ada untuk menyatakan hal lain. Sebagaimana ia menjadi bunga musim semi, maka ia melambangkan sebuah kelahiran kembali, awal yang baru (apa ini berarti move on?), juga keceriaan dan kebahagiaan. Pun kendati begitu, arti-arti ini sama sekali tak menjadikan Maret sebagai sebuah kebahagiaan. Sebenarnya, selain daffodil, ada satu lagi bunga yang menjadi hadiah di bulan ini: Jonquil.

Lagi-lagi bunga yang asing. Bunga yang sebenarnya masih satu spesies dengan daffodil. Ia tumbuh banyak di Eropa bagian selatan, juga di timur laut Afrika. Kenapa aku masukkan juga pada tulisan ini, padahal jonquil hampir sama dengan daffodil adalah karena apa yang ia perlambangkan. Jonquil, melambangkan atau mengungkapkan sebuah hal yang betul-betul menarik, yaitu, ‘desire for affection returned’ — ketertarikan yang tidak bertepuk sebelah tangan. Arti yang sama sekali tak melambangkan bulan Maret ini. Sebuah ironi yang lucu sekali, saya kira.

Dan diam-diam, ada yang tertawa, di balik hujan. Berhelai-helai jonquil lantas berguguran.

Sekali lagi, ini lucu sekali, saya kira. Tapi aku selalu ingat kata Mama, ‘’Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.’’

* Sekarang belum bulan Juni, jadi belum waktunya kita membicarakan Sapardi.

***

Maret nyaris selesai, tapi hingga sekarang hujan masih saja enggan berhenti. Langit masih murung, hujan masih turun: merintik dan menderas.

Membicarakan hujan yang urung selesai, tentu saja aku ingat pada kejadian-kejadian yang ia sebabkan. Banjir, cucian yang malas kering, kemacetan yang kadang nikmat kadang menyebalkan, beberapa janji yang akhirnya dibatalakan, juga sepeda motor yang kotor lagi setelah baru saja dicuci.

Di kota ini, hujan menyebabkan hal yang berbeda sekali dengan yang kualami ketika di kota asal: hujan di kota ini menyebabkan jalanan macet gila-gilaan. Di kota asalku, ketika hujan; jalanan menjadi sepi, emperan pertokoan dan warung kopi menjadi sesak dengan orang-orang yang berteduh, menunggu hujan selesai. Hujan ditunggui sampai habis sambil berkenalan, mengisap rokok, dan membincangkan hal-hal remeh dengan sesama peneduh. Penuh keakraban dan kesabaran.

Tapi, di kota perantauan ini lain. Aku merasakan kebalikannya. Ketika hujan, jalanan malah penuh sesak. Macet tak karuan. Klakson meraung-raung dari mobil dan motor yang tak punya kesabaran. Suhu tubuh memang menurun karena dingin, akan tetapi tempramen para pengemudi justru meningkat. Bagiku, ini aneh sekali. Aku lihat banyak orang tergesa-gesa, padahal hujan turun untuk mengajarkan manusia tentang kesabaran. Kredo “Hujan di Bandung melahirkan puisi” hanyalah omong kosong, saya kira. Tak bisakah orang-orang di sini menunggui saja hujan berhenti, sambil menyesap kopi? Berkenalan dengan orang lain yang siapa tahu, jodoh?

Aku baru saja membaca habis buku nikah seorang penulis, yang diam-diam kuidolakan. Namanya agak mirip memang dengan personil boyband yang sebentar lagi akan konser di GBK. Ya, boyband itu One Direction dan penulis yang kumaksudkan tentu adalah Mas Zayn. Eh, ampun. Mas Zen RS. Dan aku tahu guyonan tentang boyband tadi tidak lucu, terutama untuk beliau idolaku. Tapi hujan mengajarkan kita sabar, mas.

Dalam buku nikah yang kubaca yang berjudul “Traffic Blues: Saat Hujan Deras dan Jalanan Mulai Tergenang”, Mas Zen bercerita tentang saat-saat yang terjadi ketika menunggui hujan. Ada cerita menunggu hujan di halte bis, meminum bir dan membincangkan pernikahan sambil tertawa bersama seseorang yang baru dikenal. Ada lagi cerita ketika menunggu hujan di dalam bis sambil meminum bir, mengisap ganja kala terjebak kemacetan. Kadang Mas itu romantis. Buku nikah ini cukup langka, dicetak terbatas karena tentu saja, ini buku nikah. Aku sendiri membacanya di sebuah kedai yang lumayan dekat dengan kampus. Dari membacanya, akhirnya aku sampai pada kesimpulan: aku ingin naik bis dalam kemacetan dan semoga menemukan seseorang untuk berbincang. Mumpung Bandung sedang macet-macetnya dan hujan masih saja enggan berhenti.

Seperti hujan yang bisa nyasar di bulan Juni, ia pun bisa menyasarkan orang. Aku, pernah menyasar karena hujan. Dan kalau dihitung sudah tiga kali aku menyasar di kota ini. Agak memalukan memang, tapi memang seperti itulah. Hujan yang menyebabkan macetnya jalanan dan macetnya kemampuan untuk mengingat jalanan membuatku akhirnya hanya bisa pasrah kepada dua arus kemacetan ini, yang akhirnya membawaku ke entah. Di mana perjalanan mestinya satu jam menjadi tiga setengah jam, di mana bahan bakar yang harusnya hanya berkurang hanya sebanyak tempat balsam menjadi berkurang sebanyak sekian liter. Tapi, yang memalukan kurasa bukan karena aku tersasar. Tapi lebih karena aku lupa satu hal: meneduh. Menyeduh kopi dan mencari seseorang untuk berbincang-bincang, sambil tertawa menawarinya sebuah pernikahan.

Hujan ini juga menyebabkan aku berkali-kali mencuci motor, untuk kemudian kotor lagi. Kali ini aku merasa seperti Sisyphus yang sedang dikutuk untuk melakukan hal yang tak berguna. Semacam hukuman paling berat, untuk melakukan hal yang nirguna. Tapi dari situ, aku menemukan satu hal. Bahwa pelangi tak hanya disebabkan oleh hujan dan tak mesti melengkung di langit tinggi. Pelangi ini ada di sela jari-jari roda motor ketika mencuci. Kecil dan sementara memang, tapi sempat membuat melamun. Ukurannya sama sekali tak memengaruhi keindahan yang ditawarkan. Dalam momen sesaat itu bahkan aku sempat menyaksikan bidadari-bidadari pulang ke kahyangan menapaki pelangi kecil itu. Mereka berhamburan, lalu buyar bersama lumpur dan oli.

Di kota ini juga, aku melihat sebuah pelangi yang lain lagi. Bukan, tentu saja bukan di matamu karena di matamu sudah pasti tak ada pelangi. Yang benar saja…

Kota ini memberikanku kesempatan untuk melihat pelangi di malam hari. Barangkali kau pun pernah melihatnya di sini. Ketika itu aku masih tinggal di apartemen yang seharusnya berharga murah tetapi dimahal-mahalkan tanpa sebab yang jelas. Aku tinggal di lantai teratas, lantai dua puluh satu. Pemandangan setiap malam adalah lampu-lampu Bandung yang berefek sendu. Setiap paginya, sambil menyesap kopi, Bandung mempertontonkan padaku hal lain yang ia miliki: sesuatu yang mirip embun, tetapi nyatanya, polusi.

Pelangi di malam hari. Seperti sebuah lagu atau puisi memang. Tapi ini benar-benar ada, dan bukan gambar hasil mesin pencari. Memang warnanya tak sejelas pelangi di siang hari, samar tetapi tetap saja itu menampakkan warna pelangi. Baru-baru ini kuketahui ia disebut sebagi lunar ring. Mirip dengan halo — cincin cahaya yang muncul pada saat-saat tertentu di sekeliling matahari.

Pada pelangi malam hari, pada warna-warnanya yang samar dan keindahannya yang paripurna, kuhabiskan segala yang sisa di cangkir kopi, kecuali ampas dan manisnya.

Tak takut lagi ketinggalan

Daftarkan email Anda untuk berlangganan nawala.
[email protected]
Langganan