Hidup Sebatang Kretek
Hari masih begitu pagi di mana saat itu embun-embun sedang meregang nyawa diterpa cahaya surgawi. Perkutut peliharaan Sang Sultan sibuk manggung mengkidungkan nyanyi sunyi. Jauh dari Kraton, seorang gadis berjalan menuju pasar. Langkahnya elok, gemulai, tapi mantap. Entah berdasar dendam atau perlawanan, yang pasti adalah ia melangkah dengan tak goyah. Bokongnya nawon kemit, lika-liku tubuhnya sempurna, memang tak tinggi tapi juga tak pendek. Kadang, kemben yang dipakainya melorot karena tak mampu mengampu susunya yang bagaikan dua gading yang tak retak. Dan Ia, gadis itu, tenang saja ketika membetulkan letak kembennya — tanpa memperhatikan kedua susunya yang ingin menyembul walau malu-malu. Soal parasnya, tak perlu dipertanyakan lagi. Setibanya di pasar, ia mengeluarkan 3 benda; tembakau, cengkeh dan klobot untuk membungkusnya. Dengan segala keelokannya Ia menyihir seluruh penghuni pasar, baik laki-laki maupun perempuan untuk mendekat padanya. Membuat para penghuni pasar rela menunggu untuk dilintingkan sebatang kretek dengan saus istimewa yang hanya ada di pasar dan di zaman itu, ludahnya. Ludah gadis itu yang melahirkan rasa pada kretek, menghempaskan penghisapnya menuju langit. Ya, Kasih, gadis sempurna ini adalah Rara Mendut.
Tulisan ini bukan tentang Rara Mendut, tapi tentang hidup sebatang kretek. Bagiku, kretek bisa mengajarkan bagaimana manusia seharusnya menjalani laku hidupnya. Kretek tak hanya tentang propaganda tentang penyakit akibat mengkonsumsinya. Kretek tak selalu bercerita tentang hal-hal negatif dan mengerikan seperti kemandulan dan cerita tentang ibu yang bisa melahirkan seorang anak idiot yang cacat. Cerita hidup sebatang kretek memiliki makna yang jauh lebih tinggi dari itu semua. Kretek adalah sebuah kejadian. Bacalah, Kasih.
Melinting kretek merupakan sebuah usaha, baik melinting sendiri ataupun dilintingkan oleh orang lain, melinting adalah sebuah usaha — dan kretek, adalah pencapaiannya. Hal ini kudapati sama seperti hidup, Kasih. Kita hidup dengan terus berusaha untuk mencapai sesuatu. Baik dengan keringat kita sendiri, ataupun dengan kerakusan kita memeras keringat orang lain. Banyak orang puas dengan kretek hasil lintingan orang lain, yang sebenarnya merupakan usaha para buruh linting yang banyak didasari oleh penderitaan dan tuntutan keuangan, usaha dari para buruh untuk lepas dari jerat kemiskinan. Sama halnya dengan hidup, manusia terus mengandalkan manusia lain dan berbahagia atas hasil dari usaha manusia lain.
Tapi, tak jarang juga orang yang melinting dengan usahanya sendiri, dengan keringat sendiri, dan menciptakan kreteknya sendiri. Bagiku, beginilah bagaimana kita seharusnya menjalani hidup, Kasih. Menciptakan tujuan sendiri, berusaha mencapainya, dan lalu memaknainya sendiri. Bukan tertawa dan menikmati hasil kerja orang lain. Setujukah kau denganku, Kasih?
Kini, kretek telah berhasil diciptakan. Terlepas dari cara yang digunakan. Baik yang pertama(dilinting orang lain) maupun cara yang kedua(melinting sendiri). Kini kretek telah ada. Manusia telah sampai pada pencapaian hidupnya. Keberhasilan manusia adalah ketika mencapai tujuannya. Dan sekarang adalah saat untuk mencicipinya. Bagaimana? Tentu saja dengan membakarnya, dan menghisapnya.
Hisapan-hisapan barangkali adalah nostalgia terhadap perjuangan ketika dalam usaha pencapaian. Jika kretek kita dilintingkan, mungkin akan terbayang perjuangan dari para buruh linting dan orang-orang lain yang menderita. Bayangan itu akan muncul dalam setiap hisapannya. Bila kretek yang terbakar adalah hasil lintingan sendiri, maka yang muncul dalam tiap hisapan barangkali adalah nostalgia tentang perjuangan pribadi kita dalam merealisasikan tujuan.
Begitu hebat, Kasih, ketika kita merasakan pencapaian. Tapi kini kretek telah terbakar, dan siap habis kapan saja. Dihisapi maupun tak dihisap, kretek akan habis. Begitu juga kepuasan setelah mengalami pencapaian, tak akan bertahan lama.
Apa yang lebih perkasa dari hisapan kita? Tentu saja baranya. Bara adalah waktu yang menghabisi pencapaian kita. Penghabisan ini membuat kita mencari kretek lain. Menciptakan kretek yang lain untuk menggantikan yang telah habis. Memulai dari awal, dengan lewat jalan pintas dilintingkan orang lain atau melintingnya dengan usaha sendiri.
Begitulah Kasih, kisah hidup sebatang kretek. Kisah seonggok daging yang bernama manusia. Ada yang puas menghisap hasil sendiri, banyak yang puas menghisap usaha orang lain. Dan pencapaian manusia tak hanya berhenti pada sebatang saja. Ketika sebatang itu habis oleh bara, ia akan menciptakan batang yang lain. Tapi, selagi batang itu masih ada dan membara, bolehlah kiranya manusia menikmati. Walau terus tergerus oleh waktu, selagi hidup masih ada, se-nyeri apa pun itu bukankah manusia harus bisa menikmati? Maka berbahagia-lah ketika mengkretek.