Haruskah Intoleranisme Diblokir?
Kita adalah manusia-manusia yang hidup dalam peradaban modern. Akses terhadap informasi yang begitu cepat, pertukaran informasi begitu mudah, penyampaian ide dan pendapat dilakukan secara gampang. Kita, adalah manusia yang terlempar kedalam Jagad Internet. Aku ada, maka aku browsing. Ngehehe.
Internet dianggap sebagai salah satu, atau mungkin satu-satunya tempat yang benar-benar mendukung kebebasan seorang manusia, untuk berbicara dan mengemukakan pendapat. Alexis de Tocqueville berkata “Siapa yang tidak mencintai kebebasan demi kebebasan itu sendiri, maka ia terlahir sebagai budak,” ini menggambarkan bahwa begitu butuhnya manusia akan suatu ruang yang membebaskan. Jaman sekarang, ruangan ini tentu ditafsirkan sebagai internet. Internet begitu dicintai oleh manusia-manusia yang ingin melarikan diri dari belenggu-belenggu dunia nyata yang amat membatasi pencurahan pikiran-pikiran mereka. Tapi bagaimana bila Internet pun ternyata di batasi?
Bulan Mei lalu, Jagad Internet dikejutkan dengan pemblokiran sebuah situs sharing video (Vimeo), dengan alasan yang tak jelas. Alasan pemblokiran yang tak jelas ini mengundang gelak tawa bagi sebagian penduduk internet. Menurut kementrian, pemblokiran situs Vimeo adalah karena situs tersebut mengandung unsur pornografi. Memang, tak ada yang lucu dengan alasan ini. Tapi, saat itu juga diketahui bahwa pemblokiran dilakukan tak lama setelah ada video kampanye dangdutan parpol Pak Mentri diunggah ke Vimeo.
Tuduhan-tuduhan segera menyerang Pak Mentri pada saat itu, atas sikapnya yang melakukan blokir seluruh situs, dan bukan melakukan pemblokiran konten-konten yang melanggar peraturan saja. Menurut saya pun pemblokiran yang dilakukan kementrian ini lucu, pemblokiran kelas warnet kalau boleh saya bilang. Terjadi protes-protes atas pemblokiran ini dan konon sekarang kementrian sudah membuka kembali akses terhadap situs Vimeo, tapi nyatanya saya belum bisa mengaksesnya. Juga situs reddit yang konon diblokir oleh kementrian, saya tak tahu apa sebabnya. Atau adakah yang bersedia menjelaskan pada saya?
Sejak masa kampanye kemarin, Jagad Internet Indonesia dijejali dengan berita-berita fitnah, teori-teori konspirasi, propaganda pemecah belah persatuan, penyesatan-penyesatan, dan sebagainya. Juga baru-baru ini dibuat geger oleh video ‘Join the Ranks’, ajakan bergabung ke kelompok militan-yang-konon-jihadis (IS).
Keresahan terjadi ketika situs dan video ini tidak segera diblokir. Pak Mentri tampak menunjukkan sikap dan kecepatan yang berbeda dalam menanggapi hal ini dibanding ketika terjadi ‘keresahan’ yang disebabkan oleh video dangdutan. Mengenai kelambatan ini Kementrian memiliki alasan bahwa prosesnya memakan waktu yang tak sebentar, harus melalui metode flagging-flagging dan tak bisa dilakukan pemblokiran situs seluruhnya. Jika Pak Mentri mengetahui bahwa cara ini adalah cara yang benar, kenapa dulu gara-gara sebuah video dangdutan, seluruh situs menjadi korban? Apakah Pak Mentri baru tahu cara ini cara yang benar? Jika benar, lantas selama ini Bapak Mentri ngapain saja?
Ah, sudahlah biar blokir-memblokir ini menjadi urusan kementrian, sekalian biar Pak Mentri belajar bagaimana memblokir yang benar.
Tapi benarkah untuk mengatasi menyebarnya faham terrorisme, pemblokiran ini merupakan jalan keluar? Saya rasa pemblokiran dan sensorsip bukanlah jawaban. Alih-alih menekan penyebaran terrorisme, pemblokiran dan sensorsip ini justru melukai demokrasi, dimana hak berpendapat sangat dijunjung tinggi. Pemblokiran ini hanya akan menyebabkan sirkulasi informasi yang tak sehat. Malah masyarakat hanya akan disuapi oleh berita-berita yang telah lulus sensor dari pemerintah. Pemblokiran dan penyesoran ini akan menyebabkan pemerintah mengambil tindakan serupa jika terbit suatu faham yang kontroversial di kemudian hari. Sungguh sayang bila nanti dikemudian hari terjadi sedikit-sedikit sensor, sedikit-sedikit blokir.
Menurut saya betapa-pun faham terrorisme ini salah, biarkan saja. Agar masyarakat sendiri yang akhirnya mengetahui dan menyimpulkan bahwa ini memang faham yang keliru. Yang perlu dilakukan justru adalah meningkatkan pemahaman, dan kesadaran masyarakat. Biarkan saja video dan situs-situs tersebut tetap ada, agar masyarakat mau belajar untuk mengklarifikasi, tak hanya secara konyol mempercayai. Seperti dalam Islam dikenal prinsip tabayun.
Saya sebagai pelajar di bidang informatika, tak setuju dengan penyensoran dan pemblokiran. Biarkan informasi mengalir dan biarkan masyarakat yang mengambil sikap. Informasi-informasi ini saya ibaratkan sebagai suatu keadaan dimana;
“Ada seekor kuda yang berteduh dibawah pohon yang berbuah begitu lebat hingga jatuh ke tanah. Anda adalah seorang musafir kelaparan. Tergantung apakah anda memilih buah yang manis atau tai kuda yang berceceran.”
Kemudahan memperoleh informasi sudah sepatutnya untuk dirayakan, bukan malah dihadang-hadang. Tinggal masyarakatlah yang harus bijak dalam mempercayai, memverifikasi, dan berkesimpulan.