adityawarmanfw

Genjer di Sekitaran Rumah

Satu percakapan di Kediri selatan

Satu percakapan di Kediri selatan

Hanya ada aku dan nenek di rumah siang itu. Sekarang nenek tak lagi berjualan di warung depan rumah setelah beberapa minggu yang lalu jatuh dan terpeleset. Sebab itu ia diminta istirahat oleh anak-anaknya. Dagingnya sudah hampir hilang dimakan usia. Punggungnya kian membungkuk. Kaki dan pundaknya tiap malam basah minyak oles. Mata dan rambut makin memutih. Makin menjadi pula setelah tak bekerja.

“Bagaimana waktu Belanda dulu, Mak?” Tanyaku padanya. Aku memanggil nenekku dengan sebutan Mak’e. Ia tak terlalu lancar memakai bahasa Indonesia. Setiap percakapanku dengannya digelar dalam Jawa. Sejak naik sekolah menengah, aku bicara dalam Jawa Inggil dengannya. Sebelumnya tidak.

“Orangnya tinggi-tinggi, bagus, bersih. Mereka banyak di daerah dekat pabrik gula. Pernah sekali waktu mereka datang dengan mobil besar-besar. Perang. Orang-orang sini, Mbah Kung juga, merobohkan pohon-pohon di jalan supaya mereka tak bisa lewat. Yang sengsara itu waktu kedatangan Jepang. Orangnya kecil-kecil, kulitnya kuning. Sipit-sipit. Sengsara itu, Le. Waktu Belanda, aku jual sayur-sayuran di pasar. Waktu Jepang aku diperintah kerja di pabrik kapas. Bikin benang. Bareng dengan yang lain. Orang-orang pakai pakaian dari karung. Jalan kaki dari rumah. Berangkat subuh pulang malam. Beras susah. Makanan susah. Seadanya saja.”

“Rumah ini Mbah Yut yang buat, Mak? Siapa nama Mbah Yut?”

“Ya. Namanya Mbah Kromo. Kartodikromo. Tapi rumah ini dulu belum seperti ini. Dulu masih gubuk. Ditembok tinggi kemudian oleh Mbah Kung. Dibangun lagi kan baru kemarin-kemarin sama ayahmu.”

“Kerja apa Mbah Yut?”

“Ya tani. Nggelak cikar, Le. Sampai ke Blitar, Tulungagung.”

Kutanyakan juga bagaimana akhirnya bisa kenal dan bersama dengan Mbah Kung, seorang yang kukenal selama lebih kurang tiga tahun saja, itu pun hanya tiap akhir pekan. Dan itu juga tak rutin. Dari tutur saudara-saudaraku, juga cerita dari tetangga, aku tahu ia orang yang cukup disiplin, atau jika aku tak keliru maka boleh dibilang keras. Cukup terpandang dan disegani. Waktu sekolah dasar, saat lebaran aku datang sendirian ke tetangga-tetangga hingga cukup jauh — sekitar 3 km dari rumah — kurasai perlakuan mereka padaku sedikit berubah setelah kujawab pertanyaan mereka cucu siapa aku ini. Dari mereka-mereka juga aku tahu di rumah inilah mereka dulu bisa menonton televisi. Itu lebaran bertahun-tahun lalu. Sekarang aku tak pernah berkunjung sejauh itu. Dua tiga rumah sudah bagus. Pernah tidak ke tetangga sama sekali. Padahal tak yakin juga aku apakah setiap lebaran maka begitu saja akan saling memaafkan tanpa perlu pertemuan yang menjelaskan untuk apa maaf itu dan untuk apa memaafkan. Apakah benar akan lunas segala dosa sesama manusia setelah lewat satu lebaran saja. Dan aku tahu jawabannya dari keluarga juga: tidak.

Aku juga kenal Mbah Kung dari catatan harian yang ditulisnya. Peristiwa kelahiranku ada di situ. Terkisah di satu buku bersampul cokelat, dengan huruf bersambung miring, yang ditulis dengan pena pancur bersama peristiwa-peristiwa lain yang sama kecilnya. Juga dari buku harian itu kudapati nama siapa-siapa yang pernah tinggal di rumah itu. Nama siapa-siapa yang pernah membantu keluarga kami. Yang diceritakan padaku sebagai siapa-siapa yang oleh keluarga sedang dibantu. Atau dalam Jawa: diopeni. Yang sebagian aku kenal, sebagian besar lain tidak. Dan tak pernah kupertanyakan.

Juga dari cerita Mak’e kemudian aku tahu, keluarganya termasuk keluarga-keluarga awal di dusun itu. Dan banyak tetangga-tetangga juga ternyata masih saudara. Mak’e menyebut nama-nama, hubungan kekerabatannya, juga cerita yang menyertainya yang aku tak hafal semuanya. Dan kubalasi cerita-cerita itu dengan nggih dan anggukan kepala. Kuisap kopiku yang mulai dingin. Kuseduh tadi sebelum menyantap makan siang. Sambil juga membayangkan bagaimana keluarga Mbah Yut, yang aku yakin bukan dari keluarga bangsawan atau priyayi, bisa punya cukup tanah untuk diwariskan ke putrinya yang seorang itu, dan lalu ke cucu-cucunya yang berjumlah sepuluh. Belum terjawab sampai sekarang.

“Bagaimana waktu PKI, Mak?”

Biyen aku diseneni Mbah Kung melu nyanyi genjer,” katanya.

Mak’e bercerita ia ditegur oleh Mbah Kung karena ikut melagukan genjer-genjer.

Aku membayangkan Mak’e, ketika ia masih segar sekitar tahun 1965 silam. Pagi hari di depan rumah, dengan rambut digelung, mengenakan kain jarit, kemben, serta stagen yang melilit perutnya. Ia sedang menyapu halaman depan rumah yang cukup luas. Jalanan masih berbatu. Matahari masih samar, embun masih bersisa. Dari timur, serombongan orang, mungkin dua puluh, laki-laki dan perempuan, melintas depan rumah. Menyanyikan lagu genjer. Mengingatkan bahaya setan desa.

“Banyak orang naik sepeda rombongan. Nyanyi genjer-genjer,” ceritanya ke Mbah Kung dalam Jawa.

“Orang-orang komunis itu,” jawabnya, juga dalam Jawa.

Di sekitar waktu itu, tiap pekan mereka — kader Partai Komunis Indonesia dan organisasi pendukungnya seperti Barisan Tani Indonesia, Pemuda Rakyat, Ikatan Pemuda dan Pelajar Indonesia, Serikat Buruh Seluruh Indonesia — berkumpul dan melakukan agitasi di alun-alun Kota Kediri. Membikin panggung rakyat. Mendeklarasikan siapa musuh rakyat — tujuh setan desa dan tiga setan kota. Bersamaan dengan itu juga, kelompok santri juga sedang sekuat tenaga menyebarkan selebaran, mengingatkan kepada kaum “beriman” tentang apa yang telah dilakukan oleh komunis di Madiun tahun 1948 dan apa yang terjadi di Kanigoro pada awal 1965.

Ramadhan di Januari 1965, terdengar kabar bahwa masjid pesantren Aljauhar, Kanigoro, Kecamatan Kras, yang diasuh oleh H Jauhari itu diserbu oleh komunis. Yang sampai di rumah waktu itu mungkin adalah kabar seperti ini: Waktu sembahyang subuh, segerombolan PKI datang ke masjid, masuk dengan masih menggunakan alas kaki, membubarkan pelatihan yang digelar oleh Pelajar Islam Indonesia (PII), mengobrak-abrik masjid, mengalungkan arit ke leher imam, merobek dan menyebar halaman Alquran ke seluruh penjuru halaman masjid.

Dan kabar seperti itu juga yang mungkin sampai ke Mbah Kung. Dan itu sebab ia kemudian meminta Mak’e untuk tidak ikut seperti komunis menyanyikan genjer-genjer.

Muhidin M Dahlan dalam catatan mudiknya, Syawal itu Merah, pernah membahas peristiwa Kanigoro. Dari tulisan itu kutemukan bantahan orang-orang komunis:

Partai NU Kras dalam statemennja telah melarang Samelan, bekas anggota partai terlarang [Masjumi] untuk melakukan pengadjian2. Pernjataan serupa telah dikeluarkan djuga oleh Panitia Mental Training Kader PII di Kras pada tgl. 12 Djan. jl. jaitu sehari sebelum terdjadinja penggropjokan. Mengenai penggeropjokan jg dilakukan oleh anggota2 BTI dan Pemuda Rakjat itu ialah karena alasan2 tersebut diatas, jaitu di Mental Training PII di Kanigoro, Kras, terdapat unsur jang dapat membahajakan revolusi dan membahajakan persatuan nasional revolusioner berporoskan Nasakom. (Harian Rakjat 11 Februari 1965)

Ada pula kampanje jang untuk waktu tjukup lama di-sebar2kan orang: ,,anggota PKI meng-indjak2 Al Qur’an”. Tema ini sadjapun sudah menundjukkan, bahwa maksud sipembuat kampanje adalah untuk memainkan sentimen2 rendah massa jang terbelakang.Sekarang tak kurang dari team FN [Front Nasional] dibawah pimpinan Major Said sendiri jang menjangkal kampanje itu. Tidak ada sama sekali kedjadian sematjam itu, malahan, jang ada adalah kongkalingkong kaum Masjumi untuk memetjahbelah FN, chususnja antara PKI dan NU. (Harian Rakjat 13 Februari 1965)

Kediri itu merah. Pada pemilu 1955 PKI menduduki peringkat pertama dengan 33% pemilih. Lebih besar 50% dibandingkan daerah-daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meningkat jadi 40% di 1957. Pada 1961, dari tulisan Kenneth R. Young dapat diketahui ada setidaknya tiga ribu buruh tani menduduki lahan di daerah Jengkol yang waktu itu masih milik pabrik gula yang dijalankan oleh militer.

Pada paruh Oktober 1965, di alun-alun yang pernah dipakai komunis melakukan agitasi, berkumpul para pendekar islam dari Banser/Ansor dan ormas-ormas Islam lainnya. Upacara besar tergelar. Dihadiri oleh tokoh-tokoh Islam di Kediri. Direncanakan oleh Ansor, GPII, dan militer. Dikomandoi oleh Maksum Jauhari, putra dari H Jauhari yang pesantrennya diserbu PKI beberapa bulan sebelumnya. Aku mengenalinya dengan nama Gus Maksum. Nama itu sering kudengar. Ilmu kanuragannya tinggi. Ada yang pernah bilang padaku, saking hebatnya, kambingnya saja tak mau merasakan nikmat dunia. Sudah melepaskan yang duniawi. Kambingnya hidup memakan sampah. Belum lagi, cerita bahwa ia memiliki naga. Dipimpin olehnya, orang-orang itu mendeklarasikan siapa musuh islam — setan-setan komunis.

13 Oktober 1965. Maka dimulailah pembantaian besar itu.

Entah berapa yang tiba-tiba menjadi halal darahnya. Ada yang mencatat, pada hari keempat setelah upacara besar itu, tertangkap setidaknya 40 ribu kader komunis. Dan lagi, pembantaian orang-orang komunis di Kediri termasuk yang paling mengerikan. Banyak hasil bantaian itu dibuang ke sungai Brantas dari belakang masjid agung. Mayat-mayat tak berkepala enggan tenggelam, bahkan sampai hanyut ke Surabaya. Saat-saat itulah Kediri benar-benar merah.

Masih terhitung satu kecamatan dengan rumah ini, di kawasan pelacuran, satu kilometer sebelah utara Pabrik Gula Ngadirejo, yang terjadi begitu mengerikan: di depan rumah-rumah banyak bergantungan kemaluan para perempuan Komunis — seperti gantungan pisang-pisang yang dijual. Cerita di Pare pun tak kalah mengerikan. Seorang suami dipenggal kepalanya dan istrinya yang sedang hamil dibelah perutnya dan dicincang janinnya. Tak terbayang menjadi perempuan komunis dan dituduh komunis saat itu. Diminta membuka jarit, memperlihatkan pahanya bagian dalam, apakah ada lambang palu arit atau tidak. Jika ada, ditelanjangi, dipaksa melakukan tarian harum bunga, diperkosa lalu mati. Jika tak ada, disiksa, dipaksa mengaku, ditelanjangi, dipaksa melakukan tarian harum bunga, diperkosa, lalu mati. Tentu juga tak pernah ada yang berlambang palu arit pahanya!

Kekejian itu, direncanakan dan dilakukan oleh orang-orang beriman dan beragama. Bahkan oleh mereka yang tinggi ilmu agamanya.

“Komunis itu orang-orang macam apa sebenarnya. Mereka pakai pakaian dan ikat kepala hitam-hitam. Mencari-cari orang. Oleh Kung-mu aku disuruh diam di rumah,” kata Mak’e.

“Siapa yang dicari?” tanyaku.

“Ya banyak. Yang dicari terus dibawa. Hilang. Kalau tidak dibunuh. Dibawa ke Srayut. Pak Puh-mu biasanya melihat,” jawabnya.

Lalu ia menyebutkan nama-nama. Anaknya ini. Anaknya itu. Suaminya ini. Suaminya itu. Banyak sekali. Mak’e menyebut seperti baru terjadi kemarin. Dan nama-nama itu tak bisa kuingat semua. Akan tetapi, ia bercerita bahwa PKI dengan seragam hitam-hitam dan ikat kepala itulah yang memburu orang-orang, menculik mereka, atau menumpas mereka di sumber air yang bernama Srayut. Ada juga yang kabur lalu dibunuh di sawah. Ia juga ceritakan orang-orang yang sembunyi di rumahku. Minta tolong kepada Mbah Kung untuk disembunyikan, dan dari nama-nama orang yang meminta tolong itu memang ada yang selamat. Salah satu orangnya baru saja meninggal karena sakit tahun kemarin. Aku ikut ke pemakamannya.

Mak’e kemudian mengambil wudu. Aku masih diam di kursi itu. Apa jadinya jika dulu ia ikut menembang genjer?