Gelas-gelas Kopi untuk Dayang Sumbi

Sudah jam dua pagi. Lampu di kejauhan mulai padam satu-satu. Sekarang aku sedang berada di Tebing Gunung Batu, daerah Dago Giri. Aku menemani teman-teman yang besok pagi akan memanjat tebing ini. Mereka sedang tidur di tenda sekarang, tapi aku sedang tak ingin tidur. Matras kugelar, aku duduk bersandar pada tebing dengan harapan angin takkan menghembus terlalu kencang. Di sini tak cuma ada aku dan teman-teman, ramai, banyak pengunjung lain, baik yang mau memanjat atau pun sekedar menghabisi malam. Dan seperti teman-teman, mereka semua sudah tidur.
Lalu, ujug-ujug makbedunduk, dari atas, seorang perempuan datang. Aku menyapa, ia menyahut. Kutawari ia segelas kopi. Ini adalah gelas kopi kedua yang kubuat malam ini, masih hangat. Ia mengangguk, dan duduk di sisa matras yang tergelar.
Satu-persatu lampu padam, dan sekarang sudah jam dua pagi. Diangkatnya gelas kopi dengan kedua tangannya yang tertutup sarung tangan pink-biru. Ia sesap kopi buatanku.
“Ah, enak!” katanya.
“Cuman kopi saset, kok,” jawabku sedikit tersenyum.
“Nggak papa, Mas, yang penting tetap kopi,” timpalnya.
Ia seruput lagi. Ia letakkan gelas, menunjuknya, dan berbalik menawariku untuk minum. Aku mengangguk saja. Ia melepas sarung tangannya, menyatukan kedua telapak tangannya, menggesek-geseknya dan langsung menempelkannya ke pipi. Aku tau, ini pernah diajarkan oleh Ibuku untuk bertahan dari hawa dingin. Ia melakukannya dengan gesture dan ekspresi yang lucu sekali.
“Mbak dari mana? Sendiri?”
“Saya tinggal di desa bawah situ,” katanya sambil menunjuk ke arah lampu tower yang berkedip-kedip.
“Sering ke sini?” tanyaku lagi.
“Iya, lumayan. Dulu bapak sering mengajak saya ke sini, melihat lampu dan bintang. Tapi sekarang beliau sudah tak bisa lagi.”
Padahal, sekarang sedang tak ada bintang, purnama terlalu benderang.
Rambutnya lurus, sebahu, tidak — lebih panjang sedikit lagi. Matanya hitam seperti langit malam. Wangi, sebagaimana seorang perempuan yang dulu sempat kukenal. Aku menyeruput kopiku lagi, lalu bersandar ke tebing. Kuselonjorkan kaki yang sedikit pegal karena menyetir ketika jalanan macet tadi. Ia memandang ke langit.
“Sayang ya, tak ada bintang, padahal biasanya banyak.”
Aku tahu hal itu, aku sering ke sini. Sekarang sudah jam dua pagi, dan lampu mulai padam satu-satu.
“Tunggu saja sebentar lagi, menjelang subuh biasanya mereka muncul, kan.”
Ia mengangguk. Ia pun rupanya paham betul akan hal itu, dan pernyataan tadi rupanya sekedar basa-basi. Sepertinya ia sama sepertiku, membutuhkan teman untuk sekedar berbincang dan menyesap kopi.
Lalu ia merogoh kantong jaketnya, mengeluarkan sesuatu. Kulihat kotak berwarna merah-emas. Bungkus rokok. Ia keluarkan sebatang, menyulutnya menunduk menghadapku untuk melindungi api dari angin. Ia hisap, ia kupandangi. Ia hembuskan asap sambil tersenyum, lalu menawarkannya padaku. Ah, Gudang Garam.
“Pabriknya ada di kotaku,” kubilang.
“Oh, kamu dari Kediri, Mas?”
“Hehehe. Mbak pernah ke sana?”
“Belum, saya pernahnya ke Jogja.”
Aku mengangguk, sudah pasti ia pernah ke Jogja, lagian, siapa yang tak pernah ke kota istimewa itu. Aku hisap dalam-dalam. Hangat, cocok untuk menemani kopi ini. Oh iya, malam ini ia menggunakan jaket berwarna hitam. Tubuhya lumayan tinggi, sekupingku sepertinya. Dan, senyumnya itu lho, duh. Tatapan matanya itu lho, duh.
Ia memandang siluet gunung di kejauhan. Tempat kami bersandar sekarang ini tepat di depan Gunung Tangkuban Perahu yang terkenal. Ia seruput lagi kopi buatanku.
“Kamu tau, cerita tentang Tangkuban Perahu?” tanyanya.
Yang aku ingat, aku pernah ke sana dengan Ibu dan Adikku. Kami memasak telur di kawah Ratu. Itu terjadi sudah hampir setahun yang lalu. Lainnya aku tak ingat lagi.
“Maksudku, cerita tentang bagaimana Tangkuban Perahu itu ada,” katanya.
Aku pandangi siluet gunung yang datar atasnya itu. Lalu aku ingat, dengan samar-samar cerita tentang seseorang bernama Sangkuriang.
“Ya, cerita Tangkuban Perahu adalah cerita Sangkuriang. Gunung itu seperti Taj Mahal, sebuah puisi cinta yang mewujud sebagai monumen yang abadi. Gunung itu adalah usaha pembuktian cinta yang akhirnya kandas oleh kepongahan.”
Aku diam, kupandangi matanya, menyimaknya.
“Alkisah, Sangkuriang nyaris berhasil membikin sebuah perahu sebagai syarat untuk menikahi perempuan yang ia cintai, Dayang Sumbi. Kisah Sangkuriang sedikit mirip dengan Oedipus. Ia membunuh Ayahnya dan mencintai Ibundanya sendiri. Seperti Oedipus juga, ia pada awalnya tak pernah tahu bahwa anjing kesayangan Ibunya yang telah dibunuhnya itu adalah Ayahnya sendiri. Dan perempuan yang ia cintai ternyata adalah Ibunya sendiri. Ia tak tahu. Tak pernah tahu.”
Sekarang setengah tiga pagi, lampu mulai padam satu-satu, yang lain masih berpendar di kejauhan. Aku menuangkan air yang barusan mendidih untuk segelas kopi lagi. Ia nyalakan batang baru. Batang yang tadi sudah habis dihisap olehnya dan dihembus oleh angin malam. Angin yang tersesat di sela-sela daun pinus sebelah kiri kami.
“Cinta Sangkuriang adalah cinta yang pilu. Sebuah perahu yang akhirnya mengekal dalam sendu. Sebenarnya aku tak percaya kisah ini, Mas. Terlalu tak masuk akal. Tapi tak mengapa, dulu Bapak sering menceritakan padaku. Tentu dengan versinya yang mana juga versi lazim orang-orang sini.”
Lalu ia menyesap kopi yang baru kubuat, menghisap rokoknya, menelan kopi, menghembuskan asapnya. Aku keluarkan sebatang dari kotak merah-emas itu tanpa meminta persetujuannya.
“Kau harus tau, Mas. Buatku, cerita cinta Sangkuriang adalah cerita tentang kepongahan! Bukan, maksudku bukan Sangkuriang yang pongah, tapi Ibunya. Dayang sumbi, yang mengawini seekor anjing, ini disebut beastially, yang sebenarnya banyak terjadi di cerita-cerita orang Yunani. Kau tahu kan, yang akhirnya melahirkan Centaur, Minotaur, Sphinx itu, Mas.”
Aku mengangguk-angguk.
“Banyak orang yang menyalahkan Sangkuriang karena menganggap cintanya adalah cinta yang tak pantas, tak suci. Cintanya yang mestinya agung telah dinistakan oleh seluruh dewa dan manusia penghuni semesta. Dinistakan karena mencintai Ibunya sendiri, yang padahal ia tak pernah tahu-menahu akan hal itu. Betapa lacur, Dayang Sumbi yang pada masa mudanya mengawini seekor anjing hutan malah menganggap dan dianggap sebagai pahlawan. Memberi pelajaran pada anaknya ihwal cinta yang lebih benar. Padahal anaknya jelas memiliki cinta yang lebih suci. Lebih benar dan lebih besar daripada cinta buta Ibunya kepada seekor anjing.”
Ia menceritakan itu dengan sedikit menggebu-gebu. Entah kenapa ia tampak sedikit emosional. Baper, barangkali.
“Kepongahan si Dayang Sumbi inilah yang akhirnya membuat Sangkuriang mati. Mati lantaran cintanya ditolak oleh seorang perempuan pongah sok suci!”
“Ya ya ya, mungkin benar katamu itu,” aku menanggapi.
“Kan kau setuju kan kau mas, kalau aku bilang hakikat cinta itu adalah memberi. Cinta itu bukan perihal menerima, tapi memberi. Mereka yang menolak cinta sesungguhnya tak tahu menahu tentang ini. Mereka yang pongah itu…”
Aku diam, sekarang sudah jam empat pagi. Ini sudah gelas kopi ketiga dan batang yang ke entah berapa. Bintang mulai banyak bermunculan. Aku minta ia melihat ke atas. Ia pandangi bintang-bintang itu, aku memandanginya. Ia terlihat cantik. Cantik sekali. Dan darinya aku tahu satu hal yang penting malam ini: hakikat cinta adalah memberi, dan cinta selalu ditolak oleh kepongahan.
Lalu, aku tertawa sendiri. Terpikir olehku sesuatu yang sedikit lucu.
Aku bertanya padanya, “Mau kau, menikahi aku yang anjing ini?”
Bandung, akhir Maret 2015. Setelah Tebing Gunung Batu.