adityawarmanfw

Feel the Real Sensation of Indie Music

Cerita dari warung dekat pangkalan angkutan umum Jakarta-Cikarang

CERITA | JAKARTA | HUJAN

Feel the Real Sensation of Indie Music

Cerita dari warung dekat pangkalan angkutan umum Jakarta-Cikarang

Setelah perjalanan kemarin, saya punya niat untuk singgah sejenak di Jakarta. Beberapa waktu lalu, seorang kawan saya mengalami semacam musibah dan saya belum sempat bertemu. Baru kemarin kami dipertemukan.

Namanya Thole.

Ini bukan nama sebenarnya, tapi sudah seperti sebenarnya. Mari sebut saja dia dengan panggilan itu. Sehari-hari dia bekerja sebagai buruh telekomunikasi, yang memastikan hubungan telepon dan pesan pendek Anda dan pasangan Anda berjalan dengan lancar dan mesra. Bisa dibayangkan jasanya yang amat besar — walaupun sampai sekarang dia belum merasakan lagi hubungan macam itu setelah bertahun-tahun putus dengan pacarnya. Selain bekerja, saat akhir pekan ia juga melanjutkan studinya, memburu gelar sarjana.

Sebagai pembaca, Thole adalah seorang pembaca Pramoedya yang taat. Seorang Pramis yang kaffah; yang ikut menangis ketika Annelies menangis, yang merasakan jijik dan marah ketika Minke dipaksa klesotan menyembah-nyembah, yang mengangguk-angguk mengiyakan kala Nyai Ontosoroh dan Bunda memberi wejangan.

Dua malam sudah saya habiskan waktu dengan Thole dan kawan-kawan lain di Jakarta, sudah saatnya kembali ke Bandung. Saya minta dia untuk mengantar ke pul bis jurusan Bandung. Kami memacu motor melibas kemacetan ibukota.

Langit Jakarta sedang mendung, dan saya menduga hati Thole yang dirundung kesendirian sudah kuyup dibasahi hujan. Dan dia sudah pasti terlalu sombong untuk mengakui kenyataan ini.

“Walah, udan. Asu!”

Kira-kira kurang dari satu kilometer dari pul, hujan turun dengan deras. Kami berteduh di warung dekat pangkalan angkutan umum Jakarta-Cikarang. Saya mengambil satu kotak susu dari lemari pendingin, dan Thole mengambil satu kotak kacang hijau, lalu kami duduk di kursi panjang di depan warung. “Cuk, diluk ngkas teko æ kok ya udan,” keluhnya.

Setengah jam berlalu dan hujan belum berhenti menghujam aspal, apalagi hujan yang ada di hati Thole, sudah barang tentu semakin deras.

Sejenak kemudian, momen ajaib terjadi. Seorang perempuan turun dari mobil lalu berlari kecil menuju ke halte. Ia menumpang mobil orang yang berusaha menghindari aturan three-in-one. Dari halte, ia lari lagi menuju warung tempat saya menyedot susu, tempat Thole meminum kacang hijau.

Kulitnya sawo matang, tingginya setinggi pundak Thole, berambut panjang, lurus dan diikat. Dari dua matanya yang cukup besar, terlihat celak hitam yang luntur karena hujan. Bibirnya tipis dan berwarna pucat. Ia memesan secangkir kopi ke ibu warung yang sedang hamil kira-kira 6,5 bulan, lalu duduk di depan kami.

Perempuan itu mengenakan sepatu merek converse, celana hitam, berkaus abu-abu dengan lengan hitam yang bersablonkan tulisan “Feel the Real Sensation of Indie Music”.

Dari tas kecilnya ia mengeluarkan gawai dan tisu. Ia gunakan gawainya sebagai kaca, dan dihapusnya celak yang luntur itu. Saya memperhatikan Thole, kerongkongannya bergerak: Ia sedang menelan ludah.

Kopi pesanannya datang. Dengan dua tangannya ia genggam gelas kopi. Ditiup-tiupnya gelas berasap itu dengan mulutnya. Ia minum sedikit lalu meletakkannya di atas meja. Tangan kirinya masuk ke dalam tas, lalu keluar dengan rokok a-volution. Diambilnya sebatang rokok langsing itu, lalu ditempelkannya benda yang dihinakan itu ke bibirnya yang pucat.

Tangannya meraba saku celana, mencari-cari korek api. Tak ketemu. Ia membuka tasnya. Tak ketemu juga. Thole, sebagai pemuda cekatan penuh inisiatif langsung mengambil korek yang sedari tadi tergeletak di kursi dan menyalakannya untuk perempuan itu.

“Makasih, Bang,” suara yang lembut keluar dari sepasang bibir yang pucat itu.

“Iya,” jawab Thole.

Dihisapnya batang langsing itu, terdengar pelan suara cengkih yang terbakar, lalu dihembuskannya asap perak kebiruan dari sela bibirnya yang berwarna pucat itu dengan perlahan-lahan.

“Mau ke Cikarang, Mbak?”

“Iya.”

“Kerja?”

“Iya.”

Perempuan itu memandang jalan. Melihat hujan yang belum mau berhenti. Melihat orang-orang memacu kendaraan dengan kencang walau jalanan sedang licin dan cahaya lampu tak sebegitu terang. Ia ambil gelas di atas meja, meniup permukaannya sebentar, dan meminumnya lagi.

“Mas mau ke mana?” Tanyanya pada Thole, dengan panggilan “mas”, lantaran mendengar kami berdua bercakap dalam bahasa Jawa.

“Ini mau ke pul bis, nganter temen mau ke Bandung,” jawab Thole.

“Oh gitu… Mas kerja?”

“Hmm, nggak, Mbak. Saya masih kuliah,” daku Thole.

“Wah, jurusan apa, mas?”

“Saya ambil sejarah Islam, mbak. Di UIN Ciputat. Hehe.”

Saya berusaha menahan senyum mendengar kebohongan itu. Belakangan akhirnya saya tahu, sebagai Pramis yang kaffah, tentu ada kemungkinan Thole berminat menjadi sejarawan. Selain itu, Thole memang punya kenangan sendiri tentang kampus Islam itu.

“Wah, mas suka bergelut sama masa lalu, ya?”

“Hahaha,” Thole tersenyum. Memerlihatkan senyumnya yang jadi lebih indah dan menawan setelah musibah yang kebetulan menimpanya.

“Mbak memang suka musik indie?”

“Haha, gara-gara kaos ini ya, mas?”

“Iya, suka?”

“Iya, mas. Aku lagi seneng dengerin Silampukau, duo asli Surabaya, mas,” jawab perempuan berbibir pucat itu, sambil membetulkan duduknya.

Jawaban perempuan itu pas sekali. Silampukau memang grup musik yang keren dan sebagai pemuda ibukota melankolis dengan pengetahuan ensiklopedis, sudah pasti Thole paham betul lagu-lagunya.

“Wah iya mbak. Keren mereka itu. Luar biasa. Mbak suka lagu yang mana?”

“Lagu Rantau dong, mas. Lagu kelas pekerja banget, hihihi,” jawabnya, diakhiri tawa kecil, memerlihatkan sederetan giginya yang rapih putih.

“Mas suka yang mana?”

“Puan Kelana, dong, mbak. Hahaha.”

“Wah itu, saya juga suka, mas. Kasihan banget lagu itu.”

Perempuan itu menandaskan kopinya. Rokok berbatang langsing yang dihisapnya sudah sedari tadi padam.

“Lha, kok kasihan?”

“Nelangsa, mas. Mas, saya duluan ya, itu angkutannya udah mau berangkat,” jawabnya sambil menutup resleting tas jinjing kecilnya.

“Hahaha. Iya deh, mbak. Eh, mbak, boleh tahu namanya?”

Perempuan itu menjawab, lalu balik bertanya.

“Aku Thole, mbak. Mbak, ada nomor hape nggak?”

Perempuan itu berlari kecil ke dalam angkutan umum. Thole cengar-cengir penuh kemenangan. Sekali lagi memamerkan senyumnya yang makin menawan.

Hujan masih menghujam jalan. Entah dengan hujan yang selama ini turun di hati Thole. Mungkin berhenti.

Mungkin berhenti sejenak untuk turun lebih deras lagi nanti.