Farkhunda
Jalan manusia untuk mencintai Tuhan dan mencari kebenaran, selain dianggap sebagai jalan indah karena menuju surga yang dicapai pada akhir perjalanannya, juga dikenal sebagai jalan yang terjal nan berbahaya, yang meniscayakan pengorbanan tak main-main.
Ada yang mencintai dengan cara berdiam diri menyembunyikan cintanya, ada juga yang berkoar-koar menyatakan cintanya ke orang-orang. Seperti yang sekarang marak terjadi, banyak orang berjihad dan menyerukan takbir dengan lantang seolah hanya merekalah yang mencintai Tuhan dengan cara yang paling benar. Takbir sebagai seruan bukti cinta ini malahan makin melantang ketika ada saudaranya yang sesama pencinta akhirnya terpenggal kepalanya. Itu semua terjadi atas nama cinta.
Memang seperti ini pulalah mestinya ketika membicarakan hal-ihwal cinta: tak bisa berkutat pada hal yang indah dan bahagia saja, karena tak jarang cerita tentang pencinta berakhir dengan brutal dan tragis.
Pada awal abad sepuluh di Baghdad, pernah ada seseorang yang mati dengan cara yang brutal. Ia dihukum mati secara tidak manusiawi di hadapan banyak orang lantaran memiliki sebuah tafsiran yang lain dengan pihak yang berkuasa pada masa itu. Ia adalah seorang sufi bernama Manᚣōr âal-ḤallÄjâ (w. 922). Seorang dari kalangan kaum pencinta, yang terkenal sebab ungkapannya yang kontroversial, AnÄ al-HaqqâââAkulah Kebenaran.
Masa-masa itu sufisme di Baghdad bercabang pada dua persoalan, antara ââketenangan hatiâ dan âkemabukanâ. Mazhab pertama yang dipimpin oleh al-Junayd percaya bahwa cinta mengharuskan adanya ketenangan hati, dan ketidakterungkapan cinta adalah puncaknya. Sedang yang satunya percaya bahwaâââsebagaimana yang diungkapkan oleh al-ḤallÄjââââcinta sepanjang ia tersembunyi adalah berbahayaâ (DÄŤ wÄn al-ḤallÄj, L. Massignon M. 34 dalam ḤallÄj and the Baghdad School of Sufism, Herbert Mason).
Al-ḤallÄj, yang termasuk dalam mazhab kemabukan tentu saja berseberangan pendapat dengan al-Junayd. Dikisahkan bahwa pada awalnya al-ḤallÄj pernah datang dan meminta agar diangkat sebagai murid al-Junayd. Ia ditolak oleh al-Junayd dengan alasan, âtak mau menerima murid gilaâ.
Perbedaan faham, pertentangan, serta tindakan dan ucapan yang kontroversial di hadapan publik telah menjadikan al-ḤallÄj sebagai tokoh antagonis bagi mazhab âketenangan hatiâ. Itu karena ia dianggap telah menyebabkan keresahan di antara masyarakat dan kaum sufi yang memilih untuk lebih berhati-hati, juga membahayakan keamanan dan kedudukan pihak pemerintah masa itu. Dengan didasari oleh rasa takut akan terjadi kerusuhan, akhirnya khalifah memerintahkan agar al-ḤallÄj dieksekusi.
Al-ḤallÄj dipukuli dengan tongkat hingga 300 kali, lalu ia dibawa oleh para algojo ke tiang gantungan (banyak kisah lain mengatakan ia disalib). Di situ, lengan dan kakinya dibebani dengan besi seberat 13 kilo. Di tiang itu, ia bahkan masih sanggup mengerjakan salat sampai 500 rakaat. Ia telah menunjukkan bahwa ia menghadapi penghabisan atas dirinya itu dengan kebanggaan dan kesiapan yang luar biasa.
Kemudian, al-ḤallÄj merasakan berondongan batu dari gerombolan orang. Algojo memotong dua tangannya, dua kakinya dan mencongkel kedua matanya. Orang-orang menghujaninya lagi dengan batu, lalu algojo memotong telinga dan hidungnya. Hingga akhirnya algojo memotong lidahnya yang terus berseru âAnÄ al-Haqqâ itu. Lalu ketika tiba waktu salat maghrib, algojo memenggal kepalanya. Seakan itu semua tak cukup, pada hari selanjutnya jasadnya dibakar lantas dibuang, dilemparkan ke Sungai Tigris.
Ia telah meregang nyawa di hadapan banyak orang. Kemabukan cintanya telah dikalahkan oleh sebuah bentuk kemabukan yang lain, kemabukan akan kekuasaan dan klaim kebenaran. Tragedi ini telah mebuat al-ḤallÄj sebagai bagian dari sejarah jalan pencinta yang lain, jalan yang terjal dan tragis.
Banyak kisah lain yang serupa dengan kisah al-ḤallÄj. Ada Suhrawardi yang juga dihukum mati. Di Nusantara, ada juga kisah Syekh Siti Jenar yang bisa dikatakan sangat mirip dengan al-ḤallÄj. Ia juga menyatakan cintanya dengan lantang ke orang-orang, mengajarkan Wahdat al-Wujud kepada masyarakat yang kala itu masih awam ilmunya tentang islam. Tindakan Syekh Siti Jenar ini menyebabkan Wali Songoâââsebagai pemegang otoritas keagamaan waktu ituâââmenjatuhinya hukuman mati.
Baru-baru ini (19/3), Farkhunda, seorang perempuan Kabul berumur 27 tahun telah menjadi martir. Ia merasakan pukulan balok-balok kayu, hujan batu, pembakaran, pembuanganâââpersis seperti al-ḤallÄj. Seolah tak cukup, ia bahkan merasakan siksaan âbarbarâ dengan versi yang lebih modernâââdiikat pada mobil, diseret, dan dilindas. Itu semua mesti dirasakan Farkhunda sebagai konsekuensi atas jalan cinta yang dipilihnya.
Farkhunda mencintai Tuhan dan agamanya dengan caranya sendiri. Ia melawan apa-apa yang ia yakini sebagai tindakan yang keliru. Ia mengkritisi seorang mullah yang mengubah dalil agama menjadi komoditi bisnis. Farkhunda menyatakan hal itu tak sesuai dengan ajaran islam. Sayangnya, kritik Farkhunda pada mullah itu malah dianggap sebagai tindakan yang anti-islam. Ia lantas difitnah telah membakar al-Quran dan sebab itu ia akhirnya menerima kebrutalan orang-orang di jantung Kota Kabul. Dan memang, sebagaimana yang telah diungkapkan di awal tulisan ini, cerita tentang cinta tak mesti indah dan bahagia.
Dari video kejadian tragis ituâââdapat dilihat di situs youtube.com, dapat didengar seruan takbir berkumandang. Semakin melantang ketika adegan semakin brutal. Bahkan, kejadian itu barangkali terlalu keji untuk disebut sebagai islam. Yang perlu diingat, orang-orang ini bukan anggota ISIS, bukan juga Taliban.
Di Indonesia sendiri, yang terjadi tak jauh beda. Meski tak berujung pada kebrutalan seperti yang terjadi di Afghanistan, tetap saja menjadi sesuatu yang berbahaya. Banyak orang yang dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan, menjadi hakim bagi orang lain. Banyak spanduk-spanduk dan gerakan yang mensesatkan aliran ini itu. Mengkritisi partai islam dianggap sama dengan mengkritisi islam, atau dianggap sebagai perbuatan yang anti-islam. Banyak orang yang mengklaim kebenaran, padahal yang ada hanyalah tafsir atas kebenaran.
Sebagai akhir tulisan ini, saya akan mengutip Gus Dur untuk mengingatkan kita semua, agar tak sampai hal-hal brutal terjadi di Indonesia yang beragam dan beragama ini. Perbedaan adalah sunnatullahâââsebuah anugrah yang harus diaminkan.
âTuhan tidak perlu dibela,â ungkap beliau.