Dua Minggu Lagi
Aku sedang sibuk mengutak-atik mesin pemutar musik di mobil yang sekarang kami pakai untuk menerabas malam di Jalan Pelajar Pejuang dengan…
Aku sedang sibuk mengutak-atik mesin pemutar musik di mobil yang sekarang kami pakai untuk menerabas malam di Jalan Pelajar Pejuang dengan kecepatan empat puluh enam kilometer per jam. Mobil ini adalah mobil sewaan yang kupakai bersama teman-teman untuk pergi ke pemandian air hangat di dekat kawah putih dini hari tadi. Sekarang masih ada sisa waktu. Karena sayang, kupakai dulu untuk cari angin segar bersama Bela.
Kemarin, saat mengambil di rental, aku yakin penyewa sebelumnya atau pegawai atau pemilik rental mobil itu punya gangguan telinga. Bagaimana tidak, ketika mobil kunyalakan, segera saja pengeras suara meraung-raung seperti klakson penjual sayur di komplek perumahan tempatku tinggal, atau, bila kau susah membayangkannya, suaranya sekeras monster yang meledak terkena pukulan beruntun biasa Saitama.
“Apa alat itu sanggup memutar lagu lewat bluetooth?” tanya Bela padaku.
Aku memencet tombol menu yang tercetak di layar. Lalu tombol sumber. Ada pilihan FM Radio, CD/DVD, kandar kilat, dan bluetooth. Kuminta gawai miliknya dan kuhubungkan dengan mesin pemutar musik.
“Coba buka aplikasi untuk memutar lagu, di situ aku sudah bikin daftar main.”
Suara gitar dengan efek tremolo keluar dari pengeras suara. Dilanjut dengan vokal basah seorang wanita. Nancy Sinatra. Ingatanku segera meluncur pada perempuan malang yang gagal berbahagia di gereja kecil tua di gurun di Lancaster. Si lelaki bajingan bernama Bill. Lagu dahsyat ini pertama kali kudengar di film Kill Bill Vol. 1 karya Quentin Tarantino, menjadi lagu tema film itu.
“Hey, kukira kau suka lagu jedug-jedug seperti orang-orang lain.”
“Hah?”
“Nggak salah kuminta kau temani malam ini.”
“Hah?”
“Lupakan. Aku pernah baca Nancy Sinatra dan Billy Strange hanya butuh satu kali rekaman saja untuk menjadikan lagu ini. Kurang ajar.”
“Oh ya?” katanya, sambil menginjak rem tiba-tiba karena ada orang berlari menyeberang.
Beberapa minggu ini sebenarnya praktis aku tak melakukan apapun yang berarti. Bangun tidur agak kesiangan, memeriksa gawai, membuka pesan dari agen pulsa yang mencari agen pulsa yang lain, pesan dari operator yang mengingatkan jumlah sisa kuota milikku sebagai pelanggannya yang setia, dan pesan dari nomor asing yang mengabarkan bahwa sekarang anaknya sedang berada di kantor polisi karena menabrak dan perlu pertolongan dana. Pernah juga di satu siang aku mengangkat telepon dari nomor asing yang lain dan mendengarkan suara seorang om-om yang menangis dan bilang bahwa dia kecelakaan. Saat kutanyakan siapa dia, om-om itu hanya menjawab: Aku, aku, ini aku. Woo, dasar. Orang yang otaknya kebanjiran minyak mie.
Penipuan seperti itu kerap terjadi mungkin karena beberapa operator telekomunikasi terlalu sering memberikan bonus telepon. Tapi di zaman serba gesit ini, hampir setiap orang berkomunikasi baik itu dalam bentuk teks atau suara lewat aplikasi telegram atau WhatsApp, sehingga hanya penipu-penipu murahan itulah yang mempergunakan bonus telepon. Tapi juga, operator telekomunikasi tak bodoh-bodoh amat dan tak sebaik itu mereka memberikan hal-hal dengan gratis. Pasti ada hal lain yang mesti dibayar. Kau pasti sering dipusingkan dengan pembagian jam dan pembagian layanan kecepatan kan? Tiga gigabita jaringan 3G dan empat gigabita jaringan 4G untuk jam 6 pagi sampai jam 1 malam, bonus 13 gigabita jam 1 malam sampai jam 6 pagi. Tak sampai seminggu, kau membaca sebuah pesan yang memberitahukan bahwa kuota internetmu tinggal 142 megabita. Hal-hal yang asyik memang cepat sekali berlalu.
Setelah menghapus pesan-pesan itu, aku membuka semua media sosial, menghabiskan sedikit lebih banyak waktu untuk instagram, mengomentari instastory yang cukup menarik, warna lipstik yang aneh, misalnya, atau suara teman menyanyikan lagu dangdut dengan suara cempreng seperti pengamen di Terminal Purabaya. Setelah itu aku bangkit dari kasur, pergi ke dapur untuk minum air putih, kencing, dan mandi dengan sebelas jari; dua telunjuk dicelup ke dalam bak mandi dan ditempelkan ke mata. Lalu kembali ke kasur lagi, membuka situs manga ilegal, kemudian keluar mencari sarapan dan minum kopi.
“Bisa kau tepikan mobil ke warung depan itu? Aku perlu beli rokok dan air putih.”
Bela mengangguk dan menepikan mobil.
Aku kenal Bela karena ibunya membuka toko di dekat rumah kontrakanku. Aku biasa membeli es krim merek Aice rasa semangka di toko itu ketika siang hari terasa biadab betul panasnya. Dan di toko itu jugalah aku berkenalan dengannya. Proses detailnya tak perlu kuceritakan. Bela baru menyelesaikan kuliahnya dan sekarang bekerja di bank. Beberapa minggu setelahnya setelah kami cukup akrab, aku baru tau kalau dia pernah menamai akun facebooknya dengan nama Bela Tsung Kha Waw. Agak terdengar seperti nama maestro laga kungfu, tapi dari situ, kau sudah bisa bayangkan Bela sebagai gadis yang asik, lincah, tak pernah sedih riang selalu sepanjang hari — seperti Amelia.
“Ngapain kau?” tanyaku setelah masuk kembali ke mobil dan melihatnya melipat tangannya yang kecil itu dan meletakkannya di atas setir, menempelkan pipi sebelah kanannya pada tangan itu. Berpangku tangan, tapi di atas setir.
“Bisa kau tebak, berapa banyak waktu yang dihabiskan manusia di jalan?”
Oh. Mungkin dia lelah. Belum sampai jam 11 malam, tapi pertanyaannya sudah seaneh itu. Apa iya kerja di bank membosankan?
“Mungkin jalanan menghabiskan sepertiga dari waktu manusia yang digunakan untuk tidur. Mungkin dua kali lipat waktu yang digunakan manusia untuk mendengarkan musik. Dua puluh kali lipat waktu yang dihabiskan manusia untuk bercinta. Hampir sama dengan waktu yang dihabiskan manusia untuk bersedih.”
Benar memang dugaanku. Dia lelah. Tapi Bela benar. Apalagi jika kau harus melintasi perempatan Buah Batu yang bisa membuat siapapun kehilangan waktunya untuk berkarya sebagai orang muda. Perempatan Buah Batu adalah neraka, waktu terasa melambat jika kau ada di sekitaran situ.
“Kau mau aku yang menyetir? Aku sekarang sudah sedikit ahli, lho,” tanyaku sambil nyengir. Dia tentu tak akan lupa ketika aku pertama kali mengajaknya keluar, dengan mobil sewaan juga, sekitar tiga bulan lalu. Saat memutar balik di sekitar Braga — kau tahu aku buruk dalam mengambil haluan — aku terlalu melebar dan spion kami sukses menghajar mobil-mobil yang diparkir di pinggir jalan dan mesti membayar sebanyak dua ratus lima puluh ribu pada pengusaha rental. Masih untung, karena tak ada yang tahu kejadian itu selain kita berdua. Tak bisa kubayangkan muka para pemilik mobil yang terparkir itu. Andai mereka tahu, tak bisa kubayangkan bagaimana nasib mukaku.
Kami melanjutkan perjalanan. Bela masih memegang kemudi. Kami mau mencari nasi goreng yang ada di depan rumah sakit di bilangan Riau.
Mesin pemutar musik kini memainkan lagu I Put a Spell on You yang dibawakan oleh Creedence Clearwater Revival. Brengsek juga Bela ini. Selama lima bulan aku mengenalnya tapi tak pernah tahu selera musiknya seperti ini. Aku memencet tombol + di layar. Suara keren John Fogerty membahana. Kami tak menyalakan pendingin dan memilih untuk membuka jendela lebar-lebar. Kini kami persis seperti orang-orang udik. Di momen itu juga aku merasakan seperti ada bohlam menyala tepat di atas kepalaku. Aku sadar dengan adanya kemungkinan bahwa penyewa sebelumnya atau pegawai atau pemilik rental itu bukanlah orang yang punya gangguan telinga, tapi orang udik.
“Bel, gimana kalau dua minggu lagi kita ke pantai? Aku tahu tempat yang menyenangkan, belum ada listrik tapi ada tempat karaoke yang menggunakan lima buah aki mobil untuk membuatnya hidup.”