adityawarmanfw

Cilebut

KRL, 8 Desember 2016

SEJARAH GERAKAN KIRI INDONESIA | CERITA | MINGGAT

Cilebut

KRL, 8 Desember 2016

Ia bergegas masuk gerbong khusus perempuan tepat sebelum pintu otomatis kereta listrik itu menutup. Jantungnya berdegup sama kencang seperti jantung greyhound yang kerap memenangi balapan anjing yang ia lihat di televisi. Beberapa pasang mata mengamatinya. Sebagaimana namanya, gerbong ini dibuat khusus untuk perempuan demi mencegah terjadinya pelecehan atau kekerasan seksual. Pun demikian, perempuan masih saja bernasib nahas. Tiga tahun lalu, terjadi tabrakan antara kereta dengan truk pengangkut tangki bahan bakar. Dan karena letaknya di ujung rangkaian, gerbong perempuan ini jugalah yang paling celaka. Tangki itu meledak, gerbong paling depan nyaris tak bersisa. Meski bebas dari kecabulan beberapa laki-laki, tetap juga tak lolos dari kobaran api.

Ia tahu bahwa tak semestinya berada di gerbong ini. Ia laki-laki tapi ini barangkali satu-satunya jalan yang terpikir agar ia bisa memastikan dirinya aman. Setelah kereta melaju, ia membalas beberapa pasang mata yang mengamatinya itu dengan sedikit senyuman yang sebisa mungkin tak tampak sebagai senyuman yang mesum, lalu bergegas menuju gerbong untuk penumpang umum yang berada tiga gerbong di depannya. Meski yakin ia orang terakhir yang masuk ke dalam gerbong itu, tetap saja ia menoleh ke belakang. Tampaknya itu sudah menjadi semacam kebiasaan baginya beberapa hari ini.

Saat itu siang hari tapi langit berwarna mirip seperti pintu kereta. Pucat. Menunjukkan tanda-tanda kecemasan dan siap untuk tumpah kapan saja. Ia melihat rute perjalanan yang tertempel di atas pintu dan mengetahui masih ada setidaknya sembilan pemberhentian sebelum keretanya sampai pada tujuan. Tubuhnya lemas, tak sempat sarapan, dan waktu tidurnya sangat kurang. Ia habiskan hidup beberapa hari ini untuk berpikir, rapat, dan merancang rencana-rencana agar segalanya berjalan dengan baik dan juga aman.

Di kereta itu ia tak sendirian sebenarnya. Beberapa kawannya juga menaiki kereta yang sama, tapi haram bagi mereka untuk menyapa atau berbincang atau bahkan menatap mata satu sama lain. Kawan-kawannya bertugas menjemput para tamu: orang-orang penting dan berbahaya, para pelaku sejarah yang aktivitasnya boleh dibilang amat mengerikan bagi rezim penguasa.

Sedang saat itu, ia bertugas sebagai pusat informasi dan koordinasi. Itu juga bukan berarti ia orang penting, hanya kebetulan saja ia mendapat tugas itu karena ia sedikit lebih menguasai teknologi dibanding kawan-kawannya yang lain. Tapi ada yang lain yang membuatnya khawatir. Mengingat ia termasuk baru saja terlibat dalam aktivitas seperti ini, semua tampak terlalu cepat dan tergesa-gesa buatnya kalau tak boleh dibilang terlalu memaksakan. Seperti belum waktunya mengemban tanggung jawab semacam ini. Prematur. Risikonya terlalu besar, buatnya, juga buat orang-orang di dekatnya. Tetapi kawan-kawannya yang berpikiran lebih maju, militan dan lebih punya pengalaman berusaha meyakinkannya bahwa ini adalah tugas sejarah, yang artinya: tak terelakkan.

Ia paham yang dimaksud kawannya.

Tak ada jalan lain kecuali menerima dan melaksanakan tugas itu sebaik dan seteliti mungkin.

Setelah melewati dua pemberhentian dan beberapa penumpang turun, ia mendapatkan tempat duduk. Ia tahu tak boleh tertidur, barang sekejap, meski tubuh dan pikirannya sudah letih luar biasa. Ia duduk di dekat pintu, lalu menyandarkan kepalanya pada pilar besi kecil yang digunakan untuk menyangga rak tempat meletakkan tas di atas tempat duduk. Matanya berat. Tapi ia harus tetap awas. Tapi ia harus tetap tenang. Tapi ia harus tetap berpura-pura biasa saja.

Kemudian telepon genggam di sakunya bergetar beberapa kali. Beberapa pesan masuk. Ada kawannya yang terpisah mengabarkan kalau situasi aman dan sedang menuju ke lokasi selanjutnya bersama jemputan. Ada kawannya menanyakan keadaan. Yang terakhir, mengabarkan bahwa ia tak menjumpai kawan lain yang mestinya bertemu di satu lokasi untuk mengambil alih dan meneruskan tugas mengantar tamu jemputan. Ia lalu meminta kawannya itu untuk menunggu sebentar, dan langsung menghubungi kawan yang mestinya mengantarkan tamu di lokasi itu. Menanyakan keadaan dan posisinya sekarang. Ia cemas. Kawannya menjawab dengan jawaban yang membuatnya makin lemas. “Sudah kuantar, sekarang sudah berangkat ke lokasi selanjutnya.” Begitu isi pesannya. Ia pastikan lagi ke kawan yang satunya, dan kawan itu tetap menjawab bahwa ia belum bertemu dengan orang yang semestinya ia bawa. Koordinasi kacau. Ia tanyakan lagi ke kawan yang lain. Dan benar. Terjadi kesalahan. Ia tahu boleh memarahi kawannya saat itu karena sedikit saja kesalahan akibatnya bisa fatal. Keamanan dan keselamatan yang lain bisa terancam. Tapi urung. Marah-marah di tempat tak akan menyelesaikan apa pun dan justru malah menambah beban pikiran. Biarlah nanti ada evaluasi, ketika memang semua masih bisa dikendalikan dan situasinya aman.

Ia menyusun ulang rencana supaya bisa kembali atau setidaknya berkesesuaian dengan rencana awal.

Menit-menit selanjutnya terasa makin abadi. Makin terang bahwa ia tak boleh ketiduran. Ia merogoh botol air putih di kantung samping di tasnya dan minum banyak-banyak. Telepon genggam terus berada di tangannya, siaga kalau-kalau ada kabar baru dari kawan-kawannya.

Kereta mencapai pemberhentian kelima. Pintu sewarna langit itu terbuka dan beberapa penumpang menghambur masuk dan keluar. Ia perhatikan mereka yang masuk. Tak ada yang mencurigakan sampai matanya tertumbuk pada satu orang.

Sekitar tiga detik dalam menit-menit yang makin abadi itu mata mereka saling bertemu. Ia mengenali sepasang mata itu.

Pemilik mata itu masuk ketika kereta berhenti di stasiun dekat kampus ternama di negeri ini. Besar kemungkinan kalau dia belajar di sana. Orang itu berdiri tenang di sebelah kiri-depannya, di antara pintu sewarna langit dan tempat duduk prioritas yang diduduki oleh ibu yang sedang menyusui. Beberapa kursi lain masih kosong tapi tak dia duduki. Dia berdiri di sana, sedikit angkuh seperti macan kumbang.

Dia memakai masker warna hijau aneh yang sepertinya jadi tren di kalangan orang-orang yang dijumpainya sejak ia kuliah. Sehingga selain rambutnya yang hitam lurus, yang tampak hanya matanya. Kaus berwarna ungu tua tampak dibalik cardigan hitamnya. Celananya jeans berwarna gelap, dengan sepatu berhak tak seberapa tinggi dengan tali berbentuk semacam sabuk berjumlah tiga yang mengikat di atas tempurung kaki, serta satu di pergelangan. Dia melepas masker berwarna hijau aneh itu, sedikit mengibaskan lalu menata rambut dengan tangannya.

Ia amati dia. Bibirnya, ia tak yakin betul, tapi sepertinya menggunakan balsam sehingga tampak basah. Ia bisa melihat jejak bedak tipis di wajahnya. Dalam beberapa hal, orang itu mirip dengan seorang yang dikenalnya.

Dia membalas tatapan matanya. Seolah bisa melihat sangat jauh ke dalam. Ia lalu merasakan semacam nostalgia dan rasa malu. Dia berwajah cemerlang, tapi seperti seseorang yang dikenalnya dan juga sebagaimana dirinya, dia mungkin adalah orang yang tak berbahagia.

Perjuangan dan demokrasi mungkin tidak pernah terancam oleh pembunuhan atau penculikan beberapa orang, sekalipun orang-orang itu adalah para pemimpin. Ancaman sebenarnya datang dari ketidakdisiplinan ketika menjalankan strategi dan taktik dalam perjuangan. Akan tetapi ternyata tak hanya itu. Ada satu lagi. Ancaman yang datang dari momen-momen yang penuh godaan.

Ia paham, kedisiplinan mutlak mesti dilakukan dan godaan mesti diabaikan. Tapi siapa yang bisa mengabaikan orang yang seperti macan kumbang itu?

Kehadiran orang itu semacam pelipur di tengah keadaan yang membuat mata terpaksa terjaga walau seperti ada satu ton permen rasa asam yang menggantung di kantungnya, keadaan yang barangkali seperti di via dolorosa berabad silam ketika ada manusia mulia yang memanggul salib menuju bukit Golgota yang penuh tekanan dan penderitaan.

Kehadiran orang itu seperti ketika para petualang penjelajah gua di Antarktika menemukan sebongkah es berwarna pirus yang berumur jutaan tahun, atau seperti ketika wajah pemanggul salib yang mulia itu mengenali kerudung Serafia yang digunakan untuk membasuh luka dan darah di wajahnya.

Atau, mungkin, kehadiran orang itu malah seperti sebuah bianglala; anggun, indah, dinantikan orang-orang, gemerlap tak kalah gemerlap di antara kegemerlapan pasar malam, tegak meski beberapa tiangnya mulai berkarat, membahagiakan sekaligus menyedihkan. Satu karya yang gilang-gemilang.

Tapi, ya, begitu saja. Kereta berhenti. Pintu sewarna langit itu membuka, dan dia memakai kembali maskernya lalu keluar. Begitu saja. Ia lalu mengambil buku catatan, dan menuliskan di sana: 15.54, orang mirip kamu itu turun di Cilebut.

Ia melihat peta rute perjalanan.

Masih beberapa stasiun lagi.