Cerita Tentangmu dan Pertemuan itu
Hari yang begitu biasa itu awalnya kutaksir segera berlalu. Tapi ternyata tak secepat itu.
Hari yang begitu biasa itu awalnya kutaksir segera berlalu. Tapi ternyata tak secepat itu. Sore itu aku dapat kabar bahwa ada kau di danau. Lantas segera kurampungkan kewajibanku menghadap Sang Pencipta Waktu. Ini adalah cerita sedikit tentangku, tentangmu, juga pertemuan itu.
Dalam sebuah sore setelah siang yang biasa saja, aku menjawab kabar itu. Pergi ke danau untuk sekedar melihatmu. Melihat. Kudapati engkau sedang bermain perahu, dengan setelan pakaian yang sangat khas gayamu. Ini bukan pertama kalinya aku melihatmu. Bukan juga pertama kalinya kita bertemu. Tapi sampai sekarang tulisan ini dibuat, aku tak yakin apa kau tahu barang sekedar namaku. Memang kita tak pernah berkenalan, tapi pentingkah untukmu bila aku harus memperkenalkan diriku?
Danau terasa begitu ramai dalam sore itu. Banyak mahasiswa berolah raga, berlari keliling danau dengan gadget kekinian tertempel di lengannya. Headset dengan kabel yang menjuntai di depan dadanya. Banyak pula yang hanya sekedar duduk di tepi danau menghabiskan hari yang bagi mereka dan bagiku — yang sebelum melihatmu — , adalah hari yang begitu biasa. Ada pula yang dengan bahagia mempermainkan temannya yang berulang tahun, mengikatnya pada tiang di pinggiran jalan yang mengelilingi danau. Barangkali mereka lupa, ulang tahun adalah berkurangnya usia, dimana hal itu bagiku justru menyedihkan. Mengapa tak kalian tangisi saja berkurangnya umur sahabat itu?
Bagaimanapun keindahan hidup manusia, bagiku adalah sia-sia. Toh, akhirnya mati juga. Tapi tak berarti aku pasrah begitu saja pada kehendak takdir, hanya saja aku berusaha sebaik mungkin menikmatinya. Bahkan terkadang aku tak terima dengan apa yang digariskan takdir. Aku bergejolak, aku memberontak. Akan tetapi seketika itu juga aku teringat bahwa manusia tak berdaya ketika dihadapkan dengan takdir. Manusia takkan lepas darinya, hanya saja manusia bisa berpindah dari takdir yang satu, ke takdir yang lain. Takdir itu ibarat bongkahan batu, bila tak betah pada suatu bentuk takdir dan memberontak, sesungguhnya manusia hanya akan melompat dari bongkahan yang satu ke bongkahan yang lain. Dan tetap, manusia harus berhati-hati agar tak tersandung dan jatuh kedalaman takdir yang gelap tanpa harap. Tapi selalu saja manusia menyalahkan takdir atas kebodohan dan kecerobohan yang dilakukannya. Tak adil bagi takdir. Kiranya memang begitulah hidup manusia, tak pernah adil walau merasa bisa berlaku adil.
Takdirku sore itu barangkali adalah untuk melihatmu. Barangkali. Tapi kali ini sedikit berbeda, aku melihatmu lebih dekat dari sebelum-sebelumnya. Biar begitu tetap saja, aku tak pernah menyapamu, meskipun dengan ala kadarnya. Tak pernah mencoba berbicara denganmu. Mencoba berkenalan denganmu pun, tak pernah aku kuasa. Mungkin karena aku merasa ada yang berbeda. Engkau begitu berbeda. Atau mungkin aku memang pecundang, tak memiliki keberanian dan sembunyi dibalik jubah ‘ketaksiapan’. Sampai di sini, engkau bebas menganggap aku seorang pecundang atau apapun lainnya. Tapi sekarang biarkan aku bercerita, bagaimana engkau bagiku bisa begitu berbeda.
Mungkin ini tak akan menjawab — bila engkau sempat bertanya — mengapa aku tak juga berani mengajakmu bicara. Tapi, kuusahakan takkan engkau merasa rugi bila sempat membaca. Sekali lagi kuingatkan, bagiku engkau begitu berbeda. Saat itu adalah kali pertama aku benar-benar mencoba memperhatikanmu, dengan hati-hati, sedikit kecemasan ditambah dengan debar yang ramai di sudut gendang telinga.
Aku mencoba menaksir-naksir pikiranmu, memahamimu dari laku elokmu juga dari parasmu. Semua, lika-liku tubuhmu, legam rambutmu, suaramu saat menertawakan percikan air yang masuk dalam perahu. Bagaimana kau mencengkram erat tali yang ada di perahu. Bagaimana dengan mudahnya kau libas segala segi kecantikan teratai berwarna ungu. Di mataku kau adalah seorang balerina, yang melenggang di atas panggung manusia penuh tiran dan kebinatangan, berlatar jingga langit purba yang begitu sempurna. Perpaduan antara dirimu dengan langit senja, jelas membuatku luluh lantak dalam oranye.
Aku belum mengenalmu, maka waktu itu yang kupikirkan — selain keindahanmu — hanyalah kemungkinan-kemungkinan tentang bagaimana seorang engkau. Dan seperti yang engkau pikirkan, percobaan ini tak berhasil menyimpulkan apapun. Sampai pada saat mata kita saling bertemu. Disinilah, aku merasakan sesuatu yang begitu canggih, edan, tak pernah sebelumnya kurasakan. Saat perasaan, yang dalam latin diungkapkan sebagai fascinatum et tremendum. Kagum sekaligus tergetar. Mempesona sekaligus mengerikan. Kengerian, karena ketika itu aku tak hanya gagal menafsirkanmu, menafsirkan seorang wanita, tapi juga karena aku merasa gagal sebagai laki-laki. Tatapanmu, yang tak pernah kudapati ada dalam wanita-wanita lain yang sempat lalu lalang di masa hidupku. Tatapan yang melucuti kecongkakanku untuk mencoba menafsirkanmu. Yang nyaris tuntas menelanjangi harga diriku. Mata yang memaksaku mempertanyakan sendiri kejantananku dihadapkan seorang ratu. Dan akhirnya, aku memang kalah.
Kau memang begitu berbeda. Jauh lebih misteri daripada wanita-wanita sebelumnya. Barangkali kau adalah labirin panjang berliku dalam piramida, yang membuat pikiranku tersesat di antara temboknya, yang membuat kelelakianku malu akan kemegahannya. Aku teringat, seeorang yang pernah begitu dekat denganku berkata “Hidup manusia itu berputar seperti roda, kadang manusia berada di atas, kadang di bawah.” Kini aku tau, saat itu bukan saja aku berada di bawah, tapi juga tergilas dan rata bersama tai sapi di atas aspal. Aku kalah, yang kulakukan hanyalah malu-malu dan menjadi pengecut. Dipecundangi oleh sekilas tatapanmu dan kecongkaanku sendiri. Terlebih lagi bukannya membuatku terpacu, malah aku nyaris sirna dalam keelokanmu. Bukannya mencoba terbang tapi malah terpendam. Bukan mencoba berenang tapi malah tenggelam.
Mungkin, kepecundanganku saat itu telah kau maknai macam-macam. Mungkin juga kau menunggu — bila kau memang sudi dan punya waktu — untukku mengatakan sesuatu. Mungkin, itu yang terjadi, atau mungkin itu yang takkan terjadi. Kucoba merenungiku sendiri. Sekarang aku menyesali ketaksiapanku untuk lebih mengenalmu. Aku ingat kata Sartre, “Setiap kata memiliki konsekuensi. Setiap diam, pun.” Aku tak tahu kau maknai apa diamku. Aku tak tahu apa kau sempat menotice-ku. Bahkan sekedar menganggapku ada, apa kau lakukan itu? Aku tak tahu.
Bila saja ada sedikit kemungkinan kau menunggu, maka akan kutemui kau dalam rupa seorang manusia, yang tak memiliki kecongkakan untuk dibanggakan. Tanpa dalih kepengecutan untuk melarikan diri. Tunggulah — sekali lagi, bila kau mau — ketika lain waktu aku kembali menjumpaimu.