Bunuh Diri (III)
Masih terlalu pagi untuk disebut pagi, pun terlalu malam juga untuk bisa disebut malam. Jalanan masih sepi. Para petani belum bangun, mereka masih memimpikan tanah garapannya tak jadi hilang, tak jadi digantikan dengan pabrik semen. Mimpi indah, yang semoga memang bisa menjadi kenyataan.
Hanya satu dua tiga orang saja yang lewat, mengayuh sepeda. Mereka ini adalah para pedagang sayur yang sedang menuju ke arah barat, ke pasar. Ada juga satu dua tiga truk pengangkut palawija menerobos semua gelap di depannya dengan kencang. Lajunya itu mengangkut serta angin yang masih dingin, wuss… Menggugurkan daun mangga, menyeretnya di atas aspal yang setengah basah. Membangunkan apa-apa yang bergidik dalam mimpi. Sebab inilah akhirnya para petani terbangunkan, dan sadar mesti terus berjuang mempertahankan tanah penghidupannya lagi.
Barangkali, nun jauh di atas sana, jauh… jauh sekali, ada juga sesuatu yang sedang menggigil karena dingin yang paling nyeri ini… Ia, yang membuat semua ini menggigigil, ikut juga menggigil.
Dari timur jauh, Cklang! terdengar suara gembok dilepas dari lubangnya. Gerbang dibuka, keluar seorang laki-laki dan lalu gerbang ditutupnya. Setelahnya, menyusullah suara gemerincing, suara kumpulan kunci yang jatuh, menghangat dalam kantong. Sebentar ia pandangi rumahnya yang putih kotor itu — dalam satu kedipan mata saja, lalu beranjak pergi, ke arah barat. Pergi ke mana barangkali ia sendiri juga belum tahu. Yang penting baginya adalah pergi. Ia butuh jalan-jalan, ia, menghendaki sebuah kepergian.
Dihitungnya satu dua tiga ibu-ibu penjual sayur mengayuh sepeda menuju pasar yang letaknya sekitar lima kilometer dari tempatnya sekarang melangkahkan kaki. “Ibu-ibu itu tidak kedinginan apa?” Begitu pikirnya dalam hati — ia lupa kalau sekarang ini ia juga sedang berada di luar, hanya dengan kaus putih tipis dan celana jeans belel. Ia bersandal jepit seperti ibu-ibu itu juga, sama. Menyadari dingin yang sama yang dirasakannya, lantas ia tertawa.
Sekarang lelaki itu telah sampai pada sebuah perempatan. Ia merasa perlu istirahat sebentar. Di bawah sebuah pohon beringin ia berhenti. Pohon yang sudah tua, pernah tumbang sekali namun secara ajaib ia tegak kembali. Orang terpelajar bilang itu karena sebagian akarnya masih menancap kuat di tanah, tapi orang pintar berkata lain lagi. Diambilnya sebatang kretek dari sela telinga kirinya. Sebatang ini sengaja diambil sebelum berangkat tadi. Korek ia keluarkan dari saku kanan jeansnya, yang tentu saja adalah korek kayu. Ia suka menyulut kretek dengan korek kayu karena aroma hisapan pertamanya berbeda. Sedikit tengik tetapi melegakan. Kretek kretek ctak ctak, ia hisap dalam-dalam. Loncatan kepala cengkeh membara mengenai punggung tangannya, tapi ia tak peduli. Baginya, itupun memberi kenikmatan tersendiri. Lalu ia tertawa lagi.
Ia melihat fotonya masih ada di pohon beringin itu. Berkopiah lengkap dengan setelan jas hitam yang rapi. Menurut istri simpanannya ia terlihat tampan dalam foto itu, berbeda sekali dengan ia yang sekarang ini. Setelah kegagalannya menjadi lurah baru, istri sebenarnya dan seorang anak lelakinya lantas meninggalkannya pergi. Bila dihitung ia telah menggelontorkan 1,3 Miliar demi ambisinya ini. Jumlah yang tak sedikit dan tak gampang ia dapatkan. Uang itu ia peroleh setelah menjual sawah warisan dari orang tuanya ke pabrik semen, yang mana berarti sebuah pengkhianatan terhadap orang-orang kampungnya sendiri. Awalnya, saat pemilihan berlangsung memang orang-orang kampungnya tak tahu menahu mengenai pengkhianatan memalukan ini. Setelah kekalahannya dalam pemilihan lurah — yang memang sudah semestinya terjadi — dan setelah batu pertama pabrik diletakkan di atas tanahnya, barulah orang-orang kampung menyadari hal ini. Mereka kutuki lelaki ini serupa bunda Malin Kundang mengutuki anaknya. Sekarang ia digeluti rasa takut, dirundung malu. Tetapi itu semua tak membuatnya harus peduli.
Dihisapnya kretek untuk terakhir kali sebelum akhirnya ia sundutkan ke jidatnya sendiri yang ada dalam foto itu. Lubang hasil sundutan rokok itu ia masuki dengan jari, dan dari situ dirobek-robeknya wajah yang sedang tersenyum. Ia lepas tali yang selama ini telah menggantungkan fotonya pada pohon. Ia memang tak menggunakan paku untuk menempelnya karena ia tak berani macam-macam pada beringin perkasa itu. Orang pintar di kampungnya telah melarang orang berbuat macam-macam dengan sang beringin, dan ia mematuhinya. Lalu, seusai tali digelung mengenai punggung tangannya yang sedikit melepuh, kembali ia beranjak pergi.
“Hahaha.” tertawalah ia sekali lagi.
Ia berhenti di depan bangunan tua tempat menyimpan diesel untuk mengairi sawah. Sepertinya diesel itu abadi di sana. Tak ada yang berniat mencuri walau bertahun-tahun tak ada penjagaan, tak seperti di tempat-tempat lainnya. Ia masuk, lalu menyalakan korek kayu supaya penglihatannya lebih jelas. Dalam remang, ia amati satu dua tiga karat yang menempel pada pinggiran mesin penghidupan itu. Kerak-kerak oli yang tebalnya sekian senti, bau solar menyengat yang menyibak bulu-bulu hidungnya dan mencapai paru-parunya, dan kretek yang ia sesali karena hanya sebatang. Satu dua tiga korek kayu ia habiskan demi sejenak keremangan hingga ia ingat niatnya kenapa membawa tali.
Ia keluar dari bangunan itu sembari menyeret meja tempat para petani menaruh bekalnya. Meja ini kalau siang memang ditaruh di luar, lalu dikembalikan ke dalam ketika para petani telah menyelesaikan garapan pada sore hari. Ia naik dengan mantap, mengurai gelungan tali pada tangannya dan melingkarkan ujungnya pada balok kayu, mengikatnya dengan sembarangan namun tetap kuat dan tidak boros tali. Lalu pada yang sisa, ia bentuk lingkaran seukuran kepala. Untuk ini ia mengikatnya dengan simpul fisherman, sebuah teknik mengikat tali yang ia pelajari dari teman-temannya dari desa nelayan. Saat itu ia bersyukur karena bisa mengingatnya. Dan sekali lagi ia tertawa.
Dari barat jauh, terdengar bedug Subuh ditabuh. Satu dua tiga, ia mengintip malam dalam lingkaran buatannya. Dari sisi lain lingkaran itu, maut balik mengintipnya.
‘…Nauuum…’ — Suara adzan terdengar menembusi sunyi.
nun jauh di atas sana, Jauh… Jauh sekali ternyata ia dapati tak sesuatu pun sedang menggigil. Ia menyesal karena tak sempat tertawa…
***
Postscript : Cerita ini masih akan melanjutkan diri.