Bunuh Diri (II)
“Hidup adalah sebuah pertaruhan,” kata Muhammad Ali. Ini senada dengan ungkapan Friedrich Schiller yang juga pernah dikutip oleh Sjahrir, ‘Und setzet ihr nicht das Leben ein, nie wird euch das Leben gewonnen sein’. Bahwa hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan dapat dimenangkan. Ia tuliskan kalimat itu dalam dua buah surat yang ia tulis ketika ia dibuang di Boven-Digul dan satunya ketika ia di penjara Cipinang. Ia selalu mengingat kalimat itu. Kalimat ini memang bermakna besar untuk dirinya, dan kehidupannya.
Dunia ini sedang bangga dan telah dengan nyaman menerapkan hukum rimba — “yang kuat menindas yang lemah”. Hukum rimba ini sudah ada sejak dulu dan bertahan,melawan; seperti piramida purba menertawakan waktu.
Kedigdayaan hukum rimba ini semakin dapat saya pahami setelah membaca adagium latin, “homo homini lupus“. Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Seperti para budak yang dimangsa oleh Firaun, Firaun yang dihempaskan oleh Musa, Musa yang menyadari ke’tidak kompeten’annya dihadapan Khidr, dst, dst…
Dengan berlakunya hukum seperti itu, maka pertaruhan memang mutlak diperlukan.
Tapi ia adalah sebagaimana layaknya pertaruhan yang lain-lain, tak bisa dipastikan. Mau meggunakan rumus konyol seperti yang digunakan untuk menghitung nomor togel juga jelas tak bisa. Tak ada jaminan menang dalam sebuah pertaruhan. Kata Einstein, “Tuhan tidak bermain dadu”. Ya, memang Ia tidak bermain. Makhluk-Nya yang bernama manusia telah sibuk menggantikannya.
Kalah dan menang adalah puncak pertaruhan. Kendati begitu, saya rasa manusia tak boleh terburu-buru. Harus tahu seperti apa kemenangan dalam kehidupan yang dimaksudkan. Apakah kemenangan itu berarti kehidupan harus berjalan sebagaimana takdir menuntunnya? Ataukah kemenangan yang berarti kehidupan itu sendiri harus memberontak kepada takdirnya?
Sekali lagi saya ingin mengutip Sitor Situmorang, “… Pokoknya dengan bunuh diri kita menantang takdir. Jika kita sendiri tak berkuasa menolak kelahiran kita, mencegah adanya kita di dunia ini, kebebasan yang tersisa ialah mengakhirinya sendiri.” Tampak jelas kalau Sartre — sang Paus Hitam — mempengaruhi pandangan Sitor mengenai hal ini.
Kemenangan bagi Sitor, adalah keberhasilan dalam mempecundangi kehidupan itu sendiri. Kemenangan diperuntukkan bagi mereka yang mempertaruhkan hidupnya untuk tidak menunggu maut, melainkan menjemput maut.
Saya tak menyalahkan Sitor dan Sartre jika berpendapat seperti ini, karena saya pun tahu, ada sebagian orang yang tak terima dengan apa yang telah digariskan takdir. Ada yang menyalahkannya atas apa yang terjadi dalam kehidupan mereka. Mereka ini adalah orang-orang seperti Schopenhauer, yang menganggap bahwa hidup adalah penderitaan. Sebab itu penderitaan harus dipertaruhkan agar bisa dimenangkan. Dan memenangkannya berarti mematikan kehidupannya sendiri.
Robert Frobisher, adalah seorang komponis biseksual dalam film adaptasi karya Wachowski bersaudara, Cloud Atlas. Film ini diadaptasi dari sebuah novel maha karya David Mitchell. Dalam maha karya ini dikisahkan bagaimana Robert membuat keputusan untuk mengakhiri hidupnya, penderitaannya.
Ia memiliki impian-impian besar dengan kekasih biseksualnya, Rufus Sixsmith. Untuk mewujudkannya, akhirnya ia bekerja sebagai amanuensis seorang komponis terkenal, Vyvyan Arys. Dalam masa kerjanya bersama Arys sembari menggumuli istrinya, Robert menggubah karya besarnya yang berjudul Cloud Atlas Sextet.
Ia bangga dengan karya ini, dan percaya bahwa sextet ini akan melambungkan namanya setara dengan komponis terkenal lainnya. Ia yakin karyanya akan abadi dan akan terngiang dalam kepala orang dari segala zaman.
Lacurnya, Arys — komponis majikannya yang mengidap sifilis — telah membuyarkan impiannya. Ia mengklaim bahwa sextet itu berasal dari melodi yang pernah ia dengar dalam mimpinya. Arys menginginkan sextet itu menjadi hak miliknya. Terang saja Robert berang, dan berniat pergi dari rumah Arys keesokan harinya.
Namun, Arys memiliki strategi. Bila Robert tak mau memberikan karya itu kepadanya, ia mengancam akan mencoreng nama Robert dari dunia komponis. Sehingga sextet miliknya tak akan pernah bisa didengar oleh orang lain — sekali lagi, di sini manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya. Robert akhirnya tak tahan dan membunuh Arys dengan pistol Luger yang ia curi dari laci majikannya.
Menjadi tersangka, Robert bersembunyi di lantai 3 sebuah hotel tua. Setelah selesai menggubah sextet miliknya dan menyurati kekasih laki-lakinya, Robert memutuskan untuk menikmati hisapan rokoknya untuk yang terakhir kali. Lalu dengan Luger curian, ia tembusi kepalanya sendiri di dalam kamar mandi.
Sesaat sebelum mati, kepada Sixsmith, ia menulis, “A true suicide is a paced, disciplined certainty. People pontificate suicide is a coward’s act. Couldn’t be further from the truth. Suicide takes tremendous courage.”
Menurut Schopenhauer, musik dapat membebaskan kehidupan manusia dari penderitaan. Tapi apa yang terjadi pada Robert Frobisher jauh dari itu. Karena musiklah justru ia menghadapi keabsurdan dunia. Tetapi Robert adalah pemuda biseks yang pemberani, ia melakukan sebuah pertaruhan. Dengan penuh keberanian ia memilih mempertaruhkan hidupnya dengan laras hitam Luger. Ia mematikan penderitaannya sendiri untuk selamanya. Robert enggan dijemput maut, ia berusaha menjemputnya.
Di sini, harus dipahami dan ditanamkan dalam pikiran bahwa Robert telah memenangkan pertaruhan. Menang sebagai sebuah derita yang tak lagi ada.
Robert Frobisher telah membuktikan bahwa bunuh diri tetap sakti sebagai sebuah pilihan…