Buku untuk Perempuan itu
Dua belas hari lalu, seorang perempuan yang sangat kukagumi dan agungkan telah bertambah usia.
Dua belas hari lalu, seorang perempuan yang sangat kukagumi dan agungkan telah bertambah usia. Usianya sudah lebih dari dua kali usiaku. Cakar ayam kecil terlihat di ujung kedua matanya. Akan tetapi cuma pada bagian itu saja keriput berani menampakkan diri. Selebihnya tak ada. Ia perempuan yang cantik. Paling cantik malah.
Kendati usianya tak lagi bisa dibilang muda, ia masihlah menyala –meminjam kata Pramoedya– sebagai api tanpa debu, ia, adalah nilai tanpa sumpah.
Hari itu, aku sengaja pulang untuk menjumpainya pada hari yang amat istimewa. Jauh sebelumnya sudah kupesan tiket kereta, tentunya kereta ekonomi, karena perputaran uang beberapa bulan ini bisa dibilang sangat tidak sehat. Aku menjadi rudin karena buku. Beberapa bulan ini aku tak tahan untuk tidak membeli buku. Membeli dan terus membeli, padahal sangat kesulitan meluangkan waktu untuk membaca.
Waktu perjalanan pulang di kereta, aku terus memikirkannya. Perempuan itu.
Dalam kotak besi dingin itu lalu aku teringat sebuah lagu yang dulu ‘aku kecil’ sering dengarkan lewat tape recorder di rumah Eyang Surabaya. Lagu itu berjudul ‘Perjalanan,’ di bawakan oleh Franky & Jane.
“Duduk di hadapanku, seorang Ibu. Dengan wajah sendu, sendu kelabu. Penuh rasa haru ia menatapku….”
Perempuan yang sedang berulang tahun itu adalah Ibuku. Ibuku yang –maaf, lagi-lagi meminjam ungkapan Pramoedya– memiliki kecantikan kreol, kecantikan sempurna, yang apabila memungkinkan ingin sekali kucandikan.
Bukankah hal wajar, seorang anak mencinta dan merindu Ibundanya itu. Sitor Situmorang seorang penyair berjuluk Si Anak Hilang, dalam puisi wasiatnya berjudul Tatahan Pesan Bunda juga telah memproklamirkan kerinduannya pada pelukan dan kecintaannya pada Ibundanya. Maka itu, aku tak pernah malu bila disebut sebagai anak Mama, karena memang begitu juga aku memanggil beliau ibuku, Mama. Dan, siapa yang tahu kalau jauh dalam lubuk hatinya, Malin Kundang yang kondang durhaka itu sebenarnya begitu merindukan Ibundanya? Barangkali kita manusia saja yang terlampau pandai bercerita.
Dalam hari istimewa itu, tentu aku ingin memberinya sebuah hadiah. Tapi apa yang bisa kuberi, belum kuputuskan saat itu. Membelikannya sesuatu yang baru jelas tak mungkin. Memberinya sebuah prestasi juga nyaris mustahil, mengingat aku tak terlalu gilang-gemilang dalam perkuliahan. Maka, setelah melewati perenungan yang panjang dalam kotak besi dingin itu, aku memutuskan untuk memberikan padanya sesuatu yang ada di tanganku: sebuah buku.
Soal buku, aku memang menyayangi apa yang kupunyai. Aku enggan kehilangan apa-apa yang telah kukumpulkan. Apalagi jika buku itu cukup susah dicari.
Ada satu anekdot Gus Dur yang bunyinya kira-kira, “Hanya orang yang bodoh yang mau meminjamkan bukunya.”
Aku jarang sekali mau meminjamkan buku ke orang lain. Kecuali pada kasus tertentu, orang itu adalah perempuan yang aku sukai, atau kita sedang bertukar buku. Akan tetapi juga, ketika orang lain kurasa sangat membutuhkan untuk meminjam, maka yang kuniatkan adalah bukan lagi untuk meminjam, melainkan untuk memberikan buku itu. Ingat, hanya orang bodoh yang mau meminjamkan bukunya.
Gus Dur melanjutkan, “Tetapi lebih bodoh lagi orang yang mau mengembalikannya.”
Itulah, apabila ada buku dari teman-teman yang belum dikembalikan, tolong jangan diminta. Karena aku ini sedang mencoba menjadi tak bodoh-bodoh amat. Kuharap kalian tertawa dengan ikhlas ketika membaca anekdot Gus Dur itu, dan, semoga kalian semua berbahagia.
“Selamat ulang tahun, Ma. Aku bawain hadiah. Buku”
Yang kuberikan buat Mama adalah buku “Haji” karya Ali Syariati. Buku Ali Syariati di rumah sudah lumayan banyak sebenarnya. Kalau tak salah ada lima judul, cetakan dan terjemahan baru. Hanya saja kebetulan buku tentang haji yang dimaknai dengan canggih itu kutemukan ketika jalan-jalan di pasar buku bekas. Cetakan pertama perpustakaan Salman ITB. Covernya apik sekali, isinya apalagi.
Mama langsung membacanya, dan aku menemaninya. Sampai kira-kira lima belas menit kemudian ia berhenti. Apakah capai atau bagaimana aku kurang yakin. Lalu aku menyanyi lagu Franky & Jane yang kuingat-ingat saat di kereta.
“Kok tau lagu itu, itu lagu Mama pas masih SMP, kalau nggak salah,” katanya.
Belakangan baru aku tahu kaset dalam tape recorder di rumah Eyang itu adalah kaset punya Mama. Lagu itu begitu sendu, dan ngeri. Menimbulkan perasaan yang aneh sekali.
Dalam kepulanganku sebelumnya, Mama bilang sudah tak terlalu betah membaca. Padahal dari isi lemari, aku tahu Mama pernah menjadi pembaca yang taat. Buku-buku Gibran, Anand Krishna, James Redfield, penulis best-seller Sidney Sheldon, serta tumpukan majalah-majalah wanita telah menceritakan itu semua.
Lagu itu, dan soal buku seolah membuktikan bahwa ternyata, aku tak pernah jauh dari apa yang di-susu-kannya.
Tapi semoga, ya, semoga, buku itu bisa berguna. Setidaknya menemani Mama sebelum Umroh ke tanah suci, seperti yang pernah kuceritakan dalam tulisan sebelumnya. Semoga beliau disehatkan selalu.
Syahdan, “Ali Syariati ini Syiah kan ya?”
….