adityawarmanfw

Braga: Yang Jatuh dan yang Tumbuh*

Ini botol ketiga yang ditenggaknya. Di luar, gerimis baru saja berhenti. Gerimis mengguyur kota ini sejak menyalanya lampu-lampu merkuri, sejak kedatangan pemuda itu di kafe ini.

Ini botol ketiga yang ditenggaknya. Di luar, gerimis baru saja berhenti. Gerimis mengguyur kota ini sejak menyalanya lampu-lampu merkuri, sejak kedatangan pemuda itu di kafe ini.

Batu-batu yang tertata membentuk jalanan Braga mengkilap basah dan memantulkan kembali lampu-lampu kendaraan yang melintas di atasnya. Trotoar masih sedikit becek, tapi mulai banyak orang-orang berlalu-lalang. Jika dilihat dari dalam kafe ini, setidaknya orang-orang akan percaya, bahwa sekadar gerimis tak akan membuat Braga mati. Braga masih hidup dan terus siap menjadi saksi atas segala peristiwa yang akan terjadi.

Entah kenapa, kafe ini tak terlalu ramai meski sekarang malam Minggu. Barangkali, orang-orang lebih memilih untuk berjalan-jalan tanpa merasa perlu untuk singgah. Mungkin juga, orang-orang lebih tertarik berjalan-jalan di Asia Afrika yang dulunya bernama Postweg, berswafoto bersama dengan badut-badut yang lucu di situ. Atau, mereka lebih memilih untuk menapakkan kaki di rumput sintetis di alun-alun, yang baunya membuat mual itu — hampir-hampir seperti baju yang tak sempat kering dengan sempurna di musim hujan seperti ini.

Pemuda itu duduk di sudut, di sebelah jendela, membelakangi tembok, sendirian. Raut mukanya tampak kacau. Kacau sekali.

Ia memakai kemeja flannel dengan kancing yang dibiarkan terbuka. Memperlihatkan kausnya yang aus, seperti tak pernah digantinya. Tampak seperti kaus cuci-kering-pakai. Barangkali kaus itu kaus favoritnya. Celana jeansnya yang sedikit melorot robek di lutut kiri. Pemuda itu seorang perokok berat. Puntung-puntung rokok menggunung di asbak di atas mejanya. Dan seperti knalpot sepeda motor tua, asap tak henti-hentinya keluar dari mulutnya.

Pemuda itu seorang penulis. Atau, kalau tak bisa disebut begitu, yang jelas pemuda itu tampak seperti seorang penulis. Seorang yang suka menulis dan menyukai tulisan. Selain tiga botol berwarna hijau, asbak dengan puntung yang menggunung, serta tiga bungkus rokok berwarna merah emas, di mejanya terbuka sebuah buku catatan kecil seukuran saku. Dari tadi, sambil sekali-dua menengok ke luar jendela, ia menuliskan sesuatu di buku itu. Selagi tangan kirinya sibuk memegang rokok, mendekat dan menjauh dari mulutnya, tangan kanannya menari lincah di atas buku kecil itu.

“A, beli tisunya, A. Dua ribuan…”

Dari luar jendela, seorang anak kecil berkaus Batman menawarkan sebungkus tisu padanya. Ia pandangi anak itu.

Sedang apa anak ini? Apa ia hendak menyindirku? Apa Tuhan sengaja mengirimkan anak ini padaku sambil tertawa-tawa di atas sana? Apa Tuhan hendak bercanda? Yang benar saja. Sebungkus tisu? Yang benar saja!

Tapi Ia membelinya. Malah, memberi anak itu uang dengan jumlah yang lebih, tanpa meminta kembalian.

Jalanan basah yang sesekali diliriknya itu, yang memantulkan caya lampu, yang menjadikan suasana malam menjadi jauh lebih syahdu, kadang memang memiliki keajaiban-keajaiban sendiri. Ia bisa membuat suasana menjadi sangat romantis, misalnya, bagi pasangan yang sedang memadu kasih. Ia juga bisa membawa kengerian. Jalanan basah tak jarang mengundang para pengendara menghadiri maut. Lalu bagi orang-orang yang kesepian, kacau, seperti pemuda itu, sudah barang tentu ia adalah petaka. Melihat jalanan yang basah, melihat orang-orang berjalan dengan berhati-hati agar tak terpeleset atau menginjak genangan air, gerakan-gerakan sinematik seperti itu tak akan menolongnya untuk lepas dari kesedihan.

Ia tahu itu. Ia tahu betul bahwa pergi ke Braga saat langit mendung untuk memohon suatu pencerahan pada botol-botol hijau yang sekarang ada di depannya ini justru akan memperparah keadaan. Ia tahu itu, tapi ia tetap pergi.

Kafe itu bertempat di bangunan tua warisan Hindia-Belanda. Temboknya berupa susunan batu bata besar-besar yang sengaja tak dilapisi dengan semen dan hanya ditutup dengan cat warna putih. Dulunya, tempat ini adalah sebuah restoran Hong Kong. Restoran masakan Cina. Di sebelah bangunan itu, pernah berdiri toko Populair, yang menjual gramofon, piringan hitam, foto, dan artikel-artikel radio. Kafe itu berada di seberang Gang Coorde, yang sekarang berubah nama menjadi Jalan Kejaksaan.

“Jangan pergi ke Bandung jika kalian meninggalkan istri kalian di rumah.”

Pemuda itu tersenyum. Kecut. Ia ingat kalimat itu, di sebuah buku lama yang pernah dibacanya. Berkah cultuurstelsel sebagai kelanjutan preanger stelsel, selain melahirkan Max Havelaar di Banten, tak lain adalah munculnya Mojang Priangan — perempuan di Bandung pada masa itu yang digambarkan berkulit putih dan berhidung mancung, para Indo, dengan kecantikan kreol seperti Annelies dalam Bumi Manusia, novel karangan Pramoedya yang menjadi buku kesukaan pemuda itu.

Tanam paksa di daerah Bandung yang dikelilingi pegunungan memerlukan banyak pekerja. Tak hanya pribumi. Orang-orang Belanda juga didatangkan dari negerinya untuk bekerja, dengan syarat: tak boleh membawa istri. Sebab syarat itulah, orang-orang Belanda mempergundik perempuan-perempuan pribumi dan menjadikan mereka seorang Nyai. Dan dari rahim Nyai-nyai itulah manusia-manusia jelita, berhidung mancung, berkulit putih, yang kulitnya bahkan lebih mulus dari Mevrouw asli Olanda itu sendiri dilahirkan.

Jelita, cerdas, dan ramah. Menyetubuhi seorang Mojang, adalah kebanggaan tersendiri bagi orang-orang masa itu.

Pemuda itu tahu betul bahwa Braga pandai menyimpan cerita. Juga menjaga rahasia. Ia memandang keluar. Di seberang jalan tempat duduknya sekarang, Gg. Corde itu, dulunya adalah daerah pelacuran. Bordeel Weg, terjemahan asal-asalannya: Jalan Kemesuman. Pelacuran yang hanya memperbolehkan kunjungan dari orang-orang Belanda serta sebagian elit pribumi saja. Pekerjanya, tentu saja, para Mojang yang keelokannya telah menggaung seantero Hindia-Belanda! Sayang, kemesuman ini selesai di sekitar 1920-an. Diberhentikan oleh pemerintah Hindia-Belanda, sebab banyak dari serdadu mereka yang mabuk-mabukan di sana, serdadu yang berusaha mengusir nestapa dari hidupnya. Serdadu-serdadu yang melawan sepi. Seperti dirinya.

“Mencintai, tak mungkin sesedih ini, kan?” gumamnya sambil menatap botol ketiganya yang tinggal satu tegukan saja.

Ia memesan sebotol lagi pada pelayan. Botol keempat. Mejanya mulai tampak seperti altar pemujaan terhadap botol.

Ia berusaha mengingat, bagaimana perempuan itu, bisa membuatnya seperti ini. Matanya yang berkilat, tajam, itu, kah? Senyum dari bibir yang ranum itu, kah? Lehernya yang jenjang, bahunya yang menawan, dadanya yang membusung indah dan anggun, itu, kah? Atau anak-anak rambut yang tumbuh di dahinya yang mencirikan perempuan setia dalam ilmu Jawa itu? Atau semua ini tak ada kaitannya dengan citra tubuh yang dimilikinya? Sesuatu yang jauh lebih sakral daripada hal-hal itu?

Tak tahu. Perempuan itu masih merupakan misteri terbesar dalam hidupnya. Setidaknya sampai sekarang.

Ia bisa bersetubuh, berkeringat, mengobrak-abrik ranjang dengan perempuan lain. Seperti para serdadu Belanda itu. Tapi, bukankah urusan birahi berbeda dengan urusan hati?

Benar sekali orang-orang itu. Mencintai adalah perkara mudah. Tapi bagaimana membuatnya terbalas adalah perkara lain.

Ditenggaknya botol keempat itu sampai separuh. Ia menunduk, lalu mengisap rokok di tangan kirinya itu dalam-dalam. Kepalanya berat sekarang. Badannya mulai menghangat. Mungkin mukanya sudah semerah lukisan abstrak yang terpajang di dinding kafe itu.

Ia mencoba memikirkan hal-hal itu, perempuan itu. Berusaha merumuskan sesuatu. Mengambil kesimpulan. Menata langkah-langkah yang tepat akan apa yang mestinya dilakukan. Ia tenggelam. Suara Frank Sinatra terdengar dari penjuru ruangan.

“Hai,” tiba-tiba, suara yang terdengar lembut menyapa.

Pemuda itu mendongakkan pandangannya dari asbak yang dipenuhi puntung rokok yang menggunung. Siapa perempuan ini, batinnya. Ia memakai mini dress hitam, membiarkan lengannya bercumbu dengan udara dingin yang masuk lewat jendela. Rambutnya terurai panjang. Kulitnya sedikit gelap. Matanya hitam, besar, dan jarak keduanya jauh. Mata yang bagus bila diabadikan dalam kamera.

“Sendiri? Boleh, aku duduk di sini?” katanya, seperti tak perlu jawaban, menarik kursi yang ada di hadapan pemuda itu.

“Kamu dari kampus T kan?” kata perempuan itu.

Pemuda itu membalas dengan anggukan.

Pemuda itu pernah melihat perempuan itu. Ya. Ia ingat. Di kantin kampus. Mereka sering bertemu di kantin, tapi tak pernah berkenalan.

Malam masih panjang, dan Braga masih enggan untuk tidur. Ia masih siap untuk kesekian kalinya menjadi saksi.

Bandung, April 2016.

Judul dipinjam dari kumpulan sajak Hadi Sosrodanukusumo, Yang Jatuh dan yang Tumbuh*, terbit tahun 1954.