adityawarmanfw

Bersama Chekhov: Riwayat yang Membosankan

“Nah, ya! Lebih baik kehilangan lima tahun dengan sia-sia daripada sepanjang hidup mengurusi hal yang tidak Anda cintai.”

Minggu (17/5) kemarin sekitar jam setengah satu, setelah membaca secara cepat cerpen Rusia yang lumayan panjang, saya bergegas menuju sebuah rumah di Buah Batu. Motor saya isi bensin sepuluh ribu. Perjalanan… tentu sebagaimana Bandung yang biasa, macet. Habis sudah setengah jam untuk jarak yang barangkali hanya sekitar tiga kilometer jauhnya.

Dengan sedikit canggung, saya melongok ke dalam ruangan, sebuah garasi. Di dalamnya, kursi yang ditata melingkar sudah diduduki oleh orang-orang. Saya hitung ada 1,2, …, 7 orang sudah duduk di atasnya, berbincang-bincang. Saya masuk. Saya tak ingat apakah saya sempat mengucapkan salam atau tidak.

Dosen di kampus saya yang juga berlaku sebagai tuan rumah, Syarif Maulana, menyapa dan mempersilahkan. Dengan segera dua orang pemuda berdiri dan mengambil kursi yang masih terlipat dari samping toilet. Saya menerima dan membuka kursi itu, meletakkannya di sebelah pintu masuk. Saya perhatikan orang-orang yang ada di ruangan. Ada empat orang perempuan. Satu orang berkulit putih, berambut pirang, perempuan asli Rusia. Ia duduk di kursi lipat itu dengan punggung ditegakkan. Yang lain saya lihat sibuk dengan laptopnya, berusaha menuntaskan pembacaan terhadap cerpen panjang itu. Ternyata acara belum lagi dimulai.

Saya sedang menghadiri diskusi sastra Garasi10, membahas cerpen Riwayat yang Membosankan — Skuchnaia istoriia — karya Raja Cerpen Rusia, Anton Chekhov. Ini adalah diskusi sastra pertama kali yang saya ikuti. “Pak Awal sebentar lagi datang,” kata tuan rumah. Pembahasan dalam diskusi ini akan dilakukan oleh Awal Uzhara — seorang aktor sekaligus sutradara, dosen, yang pernah tinggal di Rusia selama 50 tahun.

Tak lama, beliau datang bersama Ibu Susi Machdalena, istrinya. Dua orang ini sudah pernah saya jumpai sebelumnya di acara peluncuran buku biografi Awal Uzhara, ‘Nasib Manusia: Kisah Orang yang Tak Bisa Pulang’ yang ditulis oleh Syarif Maulana. Dari buku itu saya tahu Awal Uzhara berteman dengan Sjumandjaja, ketika mendapat beasiswa di Rusia. Ya, beliau Sjumandjaja yang menulis buku ‘AKU’, yang menjadi buku favorit Rangga. Yang mempersatukan cintanya dengan Cinta dalam film AADC.

“Cerpen Chekhov ini adalah cerpen yang panjang. Kalau biasanya ketika membaca cerpen kita hanya perlu segelas kopi, saya pikir, untuk Riwayat yang Membosankan, butuh lebih dari itu,” Pak Syarif membuka diskusi. Orang-orang tertawa kecil, tak terkecuali Ibu Susi. Memang benar, cerpen ini panjang, menghabiskan 90-an halaman. Akan tetapi saya membacanya tak dengan bergelas-gelas kopi. Saya habiskan cerpen itu dengan hanya segelas dan beberapa batang kretek saja. Setidaknya menurut saya, meski tak bisa paham, penting untuk tahu garis besar cerpen itu sebelum ikut mendiskusikannya.

Pak Awal memaparkan riwayat singkat Anton Chekhov sebagai pengantar. Beliau bilang bahwa Chekhov berasal dari keluarga budak. Ia menuliskan cerpen ini ketika usianya 29 tahun. Kemungkinan ia terinspirasi oleh kematian saudaranya yang disebabkan oleh tuberculosis. Chekhov sendiri adalah seorang praktisi medis, seperti tokoh Nikolai Stepanovich dalam cerpen Riwayat yang Membosankan.

Lalu beliau menceritakan bagaimana riwayat hidup Chekhov, bagaimana ia dulu menggunakan nama “Antosha Chekhonte” pada masa awal karya-karyanya, bagaimana hubungan Chekhov dengan sastrawan lain, pementasan lakonnya yang pertama kali, dan seterus-terusnya. Saya tak bisa ingat lebih banyak lagi….

Cerpen ini adalah kisah ironis tentang seorang profesor medis yang bernama Nikolai Stepanovich. Ditulis oleh Chekhov dengan menggunakan tokoh Nikolai Stepanovich sebagai narator bagi kisahnya sendiri. Seperti yang diakuinya pada bagian awal cerpen, Nikolai Stepanovich mendaku sebagai profesor yang gilang-gemilang, memiliki pengaruh sosial yang besar. Kegemilangannya dibutuhkan dan dijadikan contoh bagi banyak orang.

Lingkungan pergaulannya dari kalangan keluarga yang paling aristokrat; paling tidak selama 25–30 tahun terakhir tidak ada sarjana terkenal yang tidak kenal dia.” Nikolai Stepanovich juga berkata,“nama saya terkait erat dengan pengertian tentang orang yang termasyhur, sangat berbakat, dan tidak sangsi lagi sangat bermanfaat … boleh dibilang tidak ada noda pada nama keserjanaan saya, … nama ini nama yang bahagia.”

Namun, seiring dengan berjalannya ‘Riwayat yang Membosankan’, hal-hal yang dipaparkan tadi menjadi tak lebih dari omong kosong yang tak penting. Nikolai Stepanovich, di balik kegemilangannya, merasa bahwa hidupnya begitu menjemukan. Ia lalu mengumbar segala kekhawatirannya tentang keadaan dirinya sendiri, keuangannya, kekacauan keluarganya, insomnia berat yang diidapnya — bahwa ia mengidap penyakit saraf yang tak tersembuhkan. Di balik kegemilangan itu terdapat berbagai kekurangan yang membuatnya berkeluh, “walaupun nama saya cemerlang dan indah, saya sendiri murung dan buruk rupa.” Ia muak terhadap dunia.

Ia sadar akan segera dijemput oleh maut. Ia sadar hidupnya akan berakhir tak lama lagi, tapi ia seolah tak mau tahu, sambil tetap meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu tak penting untuk dipikirkan. Bahwa yang paling penting dan utama dalam hidup ini adalah pengetahuan, sebagai “perwujudan tertinggi cinta, dan bahwa hanya dengan ilmu pengetahuan manusia akan mengalahkan alam dan diri sendiri.”

Ada satu fragmen ketika Nikolai Stepanovich menolak mentah-mentah permohonan seorang mahasiswa yang memohon padanya sebuah kemurahan hati untuk meluluskan pelajaran yang diajarnya. Mahasiswa itu telah lulus dalam setiap pelajaran lain, akan tetapi telah gagal sebanyak lima kali pada perkuliahan Nikolai Stepanovich. Terang ia tidak terima, mahasiswa itu mau belajar dan sanggup lulus dalam pelajaran lain tapi tidak pelajarannya. Ia anggap mahasiswa itu tak serius dengan keinginannya untuk lulus. Tak tahu betapa berharganya ilmu pengetahuan dan malah menyia-nyiakan proses belajarnya.

Alih-alih memaafkan dan meluluskan, Nikolai Stepanovich malah menyarankan agar mahasiswa itu keluar saja dari Fakultas Kedokteran. Si Mahasiswa jelas tak terima, ia merasa itu saran yang aneh. Ia sudah belajar selama lima tahun dan tiba-tiba diperintahkan pergi. Nikolai Stepanovich menjawab, “Nah, ya! Lebih baik kehilangan lima tahun dengan sia-sia daripada sepanjang hidup mengurusi hal yang tidak Anda cintai.”

Saya sempat berhenti setelah membaca bagian ini … saya sadar, Chekhov begitu canggih. Fragmen tersebut masih terjadi hingga saat ini, melampaui zaman.

Kemuraman yang dirasakan oleh Nikolai Stepanovich justru disebabkan dan bersumber dari koleganya dan keluarganya sendiri. Keinginan putrinya, Liza, untuk menikah dengan Gnekker yang tak jelas dan dianggapnya sebagai seorang penipu, menambah daftar panjang deritanya. Mahasiswa, hanyalah sekadar bentuk penderitaan lain.

Ia juga kecewa dengan perubahan istrinya, luar dan dalam. Ia sakit melihat perubahan istrinya. Ia heran, “apakah perempuan tua ini, yang sangat gemuk, serba kikuk, bicara goblok tentang tetek-bengek dan khawatir dengan harga roti, dengan sorot mata yang kabur oleh pikiran-pikiran tentang utang dan kemelaratan, yang hanya dapat bicara tentang pengeluaran dan hanya dapat tersenyum karena harga yang murah, memang Varya yang ramping dulu, yang membuat saya jatuh cinta setengah mati karena otaknya baik dan terang… apakah dia memang istri saya Varya yang dulu juga, yang melahirkan anak lelaki saya?”

Saat semakin dekat dengan maut, ia memutuskan untuk melakukan apa yang dimaui keluarganya. Ia pergi ke Kharkov untuk mencari informasi tentang Gnekker. Di sana ia dapati bahwa dugaannya tak salah, tak pernah ada orang bernama Gnekker yang berasal dari kota itu. Chekhov mengakhiri cerita dengan rangkaian tragedi. Nikolai Stepanovich mendapat kabar bahwa putrinya telah menikah secara diam-diam dengan Gnekker. Nikolai Stepanovich resah, bukan meresahkan nasib putrinya yang menikah dengan orang tak jelas, tetapi resah karena ia bisa bersikap masa bodoh.

Ia tahu, “sikap masa bodoh itu pelumpuh jiwa, maut yang belum waktunya,” akan tetapi, ia tak tahu apa yang harus dilakukannya lagi. Segalanya pada akhirnya memiliki arti hanya sebagai sekadar gejala, tak lebih dari itu.

Kembali ke diskusi di garasi. Pak Awal dan Bu Susi cenderung membahas bagaimana tokoh Nikolai Stepanovich enggan terhadap modernitas, dilihat dari bagaimana sang tokoh mengeluhkan keadaan yang tak nyaman di meja makan yang sekarang, juga bagaimana ia lebih menyukai makanannya yang dulu (sup tradisional). Beliau membahas panggilan tak biasa antara suami-istri yang dipakai dalam cerita, yaitu memanggil dengan nama lengkap. Itu menandakan ada sesuatu yang tidak benar dalam hubungan rumah tangga. Suami-istri yang baik-baik saja akan memanggil dengan nama kecil, atau panggilan sayang — “milaya”. Sayangnya, diskusi tidak terlalu membahas bagaimana teknik bercerita Chekhov dalam cerpen ini.

Yang menarik bagi saya, selain cerpennya, adalah keadaan dalam ruangan itu. Saya suka melihat bagaimana Pak Awal Uzhara dan Ibu Susi Machdalena berinteraksi. Mereka saling melengkapi satu sama lain. Saya tersenyum sendiri, ketika seringkali Pak Awal bercerita tentang hal-hal yang keluar dari bahasan diskusi, dan Bu Susi segera mengingatkannya untuk kembali ke pokok bahasan. Ini terjadi berulang kali. Saya diam-diam menikmati keharmonisan dan kebahagiaan ini.

“Saya ingin bercerita singkat tentang ini dulu, boleh ya Sus?” kata Pak Awal.

Aih….