adityawarmanfw

Berdamai di Pasar Malam

“Orang … menghendaki dunia seperti pasar malam, di mana orang beramai-ramai datang dan beramai-ramai pergi. Tinggal mereka yang harus…

“Orang … menghendaki dunia seperti pasar malam, di mana orang beramai-ramai datang dan beramai-ramai pergi. Tinggal mereka yang harus menyapu saja yang tinggal. Dan yang menyapu itu — sekalipun tak dikatakan olehnya — ialah Tuhan yang disebut-sebut orang yang tak pernah mengetahuinya.” — Pramoedya Ananta Toer.

“Sebenarnya itu hanya tentang apa yang saya alami sendiri di masa muda dan di masa perjuangan kemerdekaan,” ungkap Pramoedya Ananta Toer dalam wawancara yang dibukukan dengan judul “Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir”. Dalam beberapa “anak ruhani”nya — Pram menyebut karya-karyanya sebagai “anak ruhani” — yang berlangsung di Jakarta atau Blora, kerap tergelar momen-momen kontemplasi dalam ranah moral. Pun dengan novel Bukan Pasar Malam. August Hans den Bouf menyebut dalam esainya bahwa novel ini adalah novel otobiografis Pramoedya.

Pramoedya lahir pada tanggal 6 Februari 1925 di Blora. Ayahnya seorang guru yang nasionalis. Kakek Pramoedya adalah seorang guru agama, dan neneknya berasal dari keluarga penghulu di Rembang. Setelah menikah, ayahnya yang dulu mengajar di Holandse Indische School, meninggalkan sekolah dasar milik pemerintah Belanda itu untuk mengabdikan dirinya di sekolah swasta nasionalis Boedi Oetomo di Blora. Pram bersekolah di situ sejak usia empat tahun, diajar sendiri oleh ayahnya. Ayah yang nantinya Pramoedya menaruh rasa kecewa.

Pram menyelesaikan pendidikan dasar dalam waktu sepuluh tahun. Ia pernah beberapa kali mengulang kelas. Ketika meminta pada ayahnya untuk disekolahkan ke sekolah yang lebih tinggi, ayahnya justru berkata, “Anak goblok, sana kembali!”. Di sinilah ia merasa terhina. Ia berlari membawa buku-bukunya, badannya gemetar menahan sakit dan rasa marah.

Hubungannya dengan ayahnya sarat konflik sejak Pramoedya masih kecil. Dalam penggambaran adiknya, Koesalah Soebagyo Toer, Pram menyimpan perasaan “cinta sekaligus benci” pada ayahnya. Hanya ibunyalah yang sanggup memahami keinginan serta kekecewaan Pram. Ibunya, meski berdarah bangsawan, mesti tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Pram diajak ibunya ke Kaliwangan untuk ikut bekerja menebas padi. Yang kemudian ia pergunakan uang dari kerja itu untuk melanjutkan sekolah.

Satu waktu, ia tertarik pada ilmu alam. Ia ingin membeli sebuah buku, namun tak punya uang. Ia mengirim surat pada ayahnya, meminta uang untuk membeli buku tentang ilmu alam, untuk kali pertama dan kali terakhir. Ayahnya tak membalas tapi malah mengirim uang ke orang lain. “Jadi aku ini dendam kepada Bapak. Tapi aku pun banyak belajar dari dia,” katanya, sebagaimana ditulis Koesalah.

Yang barangkali paling disayangkan oleh Pramoedya adalah kematian ibunya dalam usia masih sangat muda — 34 tahun. Ibunya banyak mengemban beban demi keluarganya, kerja keras untuk menyokong kebutuhan ekonomi keluarga. Pram menganggap ibunya sebagai manusia mulia, sebagaimana tampak dalam tokoh Ibunda Minke dalam Tetralogi Buru, atau, yang paling jelas, pada kesaksian tentang ibunya yang ditulis dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Kematian ibunya sedikit banyak tak lepas dari kelalaian sang ayah yang terlampau sibuk dengan urusan orang lain hingga menelantarkan keluarganya sendiri. Pada ayahnya, ia temukan ketidakpuasan, ia temukan harapan-harapan dan kekecewaan saling berjalin kelindan. Dan, barangkali, Bukan Pasar Malam adalah usahanya untuk “berdamai” dengan itu semua.

Bukan Pasar Malam mengisahkan perjalanan pulang kampungnya tokoh “aku” — sebagai penutur cerita, yang mungkin adalah Pramoedya sendiri — dalam rangka menjenguk ayahnya yang sakit keras karena TBC. Dibuka dengan adegan tokoh “aku” yang menggambarkan konflik yang terjadi antara dia dan ayahnya. Suatu kali “aku” pernah mengirimkan sebuah surat pedas untuk ayahnya, yang berisi kekesalan hatinya mendengar kabar bahwa adik ketiganya terserang TBC. Menurutnya, ini karena kelalaian ayahnya.

Ananda tak suka mendengar kabar tentang sakitnya adikku itu. Sungguh aku tak bersenang hati. Mengapakah adik saya itu Bapak biarkan sakit. O, manusia ini hidup bukan untuk dimakan tbc, Bapak. Bukan. (BPM, hlm. 89)

Namun, surat itu justru dibalas oleh ayahnya dengan bahasa yang halus, dengan segala keterbatasannya sebagai manusia. Sebab balasan itu, “aku” menyadari bahwa ia “harus memperbaiki kelancangan” dan untuk itu, maka ia “wajib datang menemui ayah yang sedang sakit”. Pulang. Bertatap muka dengan ayahnya dimaknai sebagai sebuah kewajiban. Permohonan maaf atas kelancangan anak pada ayahandanya mesti konkrit — dengan bertatap muka. Akan tetapi, barangkali sebenarnya permintaan maaf ini hanyalah sebuah laku formalitas, yang bertujuan untuk kenyamanan diri sendiri; bukan untuk ayahnya tapi untuk kesembuhan dirinya sendiri, kesembuhan tokoh “aku” — atau Pram sendiri — dari rasa bersalah atas segala kelancangan.

Pagi-pagi itu kereta pertama telah meluncur di atas relnya dari stasiun Gambir. Gundukan tanah merah yang tinggi, …, kini tinggal seperempatnya. Diendapkan oleh hujan. Dicangkuli. Diseret oleh air hujan. Tiba-tiba saja terasa ngeri olehku melihat gundukan tanah merah di stasiun Jatinegara itu. Bukankah hidup manusia ini tiap hari dicangkul, diendapkan, dan diseret juga seperti gundukan tanah merah itu? (BPM, hlm. 12)

Pram mengisahkan perjumpaan dengan ayahnya dengan bahasa yang datar, seolah sang anak (“aku”) adalah orang asing yang bukan anak dari ayahnya dan sebaliknya. Badan ayah hanya digambarkan seperti sebilah papan yang tertarik-tarik ketika badai batuk menerjang. Dan “aku” memperhatikan ayahnya dengan “kepiluan yang memaksa-maksa”. Yang digambarkan tergeletak itu tak lebih dari sebuah objek. Akan tetapi pada saat yang bersamaan dalam fragmen ini pulalah, kewajiban sang anak untuk bertatap muka sebagai bentuk permintaan maaf pada ayahnya itu tertunaikan.

Dari percakapan tokoh “aku” dengan ayah, pun dengan tokoh-tokoh lain, “aku” tak pernah sekali saja menghakimi ayahnya sendiri — kecuali pada surat yang telah ia tuliskan dulu tentang sakit adiknya yang kemudian ia sesalkan. Tokoh “aku” membatasi ayahnya dengan segala keterbatasannya sebagai ayah, sedang tokoh lain, menggambarkan sosok ayah tersebut sebagai pahlawan, panutan, orang yang memiliki pengaruh besar dalam lingkungan masyarakat — sebagai bapak orang banyak.

… [Y]ang terbayang dalam kepalaku: ayah. Bukankah hidup ayah juga dicangkuli, diendapkan dan juga diseret? (BPM, hlm. 12)

Barangkali, seperti inilah cara Pram berdamai dengan semua, menulis Bukan Pasar Malam untuk meminta maaf sekaligus memaafkan ayahnya.


Esai ini ditulis untuk diskusi buku Bukan Pasar Malam di Perpustakaan Apresiasi.