adityawarmanfw

Bagian 2: Percakapan

“Aku sedih.”

“Aku sedih.”

“Mengapa?”

“Aku berharap aku punya lebih banyak waktu denganmu. Juga teman-temanmu. Orang-orang baik.”

“Tidak. Jangan sedih. Terimakasih…”

“Tidak, terimakasih…”

“Selamat tinggal.”

“Hmm… Aku tak terlalu suka dengan ide tentang berkata selamat tinggal. Tapi… Yah.”


“Aku terus memikirkan tentang ini. Aku ingin bertanya.”

“Mengapa?”

“Apa kau mau aku menunggumu? Mestikah aku menunggumu kembali ke sini?”

“Oh, Hun. Aku tak tau apa yang akan terjadi di sana nanti untuk tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Sulit mendapatkan uang untuk tinggal jika aku belum juga mendapatkan gelarku. Terlalu berisiko untuk bergantung pada orang lain. Ada permasalahan logistik. Aku tak tahu kapan bisa kembali.”

“…”

“Tak adil jika aku memintamu untuk menunggu. Aku tak berharap kau menunggu.”

“Iya. Baik. Kau sudah menjelaskannya. Hanya ingin memastikan.It’s a sad world after all…

“Kau tak harus melakukan setiap hal yang kukatakan padamu. Kau sungguh bisa memutuskannya sendiri, dan aku tak boleh berharap kau menunggu.”


“Iya. Sejak semula. Dan aku tak pernah menyesali malam itu. Sebagaimana kau bilang padaku, sayang, itu adalah hal yang indah.”

“Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja, sayang.”


“Aku ingin mengenalkan temanku padanya. Dia masih sangat muda tapi punya nilai-nilai yang baik. Tapi dia suka beberapa hal mainstream.”

“Yang kemarin?”

“Iya. Dia baru berumur 18 tahun ini. Keluarganya fundamentalis tapi dia orang yang sangat baik dan tak selalu sepakat dengan jalan pikiran keluarganya.”

“Kurasa kau tak perlu repot-repot. Dia sedang dekat orang lain sekarang. Seorang penjual popcorn di bioskop.”

“Apaaaa? Benarkah? Kalian berdua! Licik!”

“Apa kau punya satu untukku?”

“Hahaha. Tidak. Tak ada.”

“Hmm…”

“Karena aku menyimpanmu untukku. Tapi sekarang, aku tak tahu lagi.”

“Apa maksudmu kau tak tahu?”

“Aku tak tahu apa yang ingin kau lakukan. Aku tak punya teman perempuan untuk kukenalkan padamu.”

“Bagaimana mungkin?”

“Karena aku ingin bersamamu. Jadi aku tak berpikir mencari siapa pun untukmu karena aku menginginkanmu.”

“Itu kalimat lampau.”

“Mengapa?”

“Apanya?”

“Hmmmmmmm. Kenapa kau bilang seperti itu.”

“Karena itu terdengar seperti kalimat lampau?”

“Kau tak berpikir aku masih menginginkanmu.”

“Tak tahu. Masihkah?”

“Iya.”


“Aku harap bisa bertemu dengannya. Aku tak ingin dia bersama seseorang yang tak memiliki nilai yang sama dengannya. Aku hanya berharap perempuan itu benar-benar indah baginya. Dan aku harap dia memperlakukannya dengan apa yang layak ia dapatkan. Betapa dia pemuda yang manis.”

“Aku hanya berharap mereka bisa menjadi keluarga komunis yang baik.”

“Tapi dia harus menghabiskan banyak waktu lagi dengan perempuan itu.”

“Maksudku, berbagi sikat gigi. Ah, ya. Kurasa mereka bertemu lebih sering akhir-akhir ini. Hari ini pun.”

“Tapi tadi dia bilang padaku dia ketiduran?”

“Dia memang jarang membicarakan hubungannya.”

“Kau tahu? Orang-orang harus mulai membiasakan untuk membicarakan hubungan mereka atau siapa gebetan mereka dengan teman-temannya. Seperti ketika membicarakan cuaca. Atau seperti bagaimana orang-orang bertanya ‘dari mana?’”

“Yah. Begitu baik juga.”

“Aku bilang padanya untuk jangan takut jika ingin bertanya soal perempuan padaku. Jangan takut, jika itu tentang vagina atau yang lainnya.”

“Kenapa kau tak menawarkan hal itu padaku?”

“Aku sudah pernah bilang padamu. Aku sudah bilang, kau boleh bertanya apa saja padaku. Kau harus ngobrol dengan teman-temanmu soal susu. Kau harus ngocok lebih sering lagi jadi kau tahu sensasi macam apa yang kau suka.”

“Hahaha! Tidak. Aku tidak ingin membicarakan tentang milikmu.”

“Haha. Kau tak perlu bilang milikku. Kau hanya perlu bilang milik seseorang.”

“Aku jadi sedikit cemburu.”

“Mengapa?”

“Pakai tangan kananmu dan buat dirimu keluar. Itu normallll. Itu bukan hal aneh. Jadi hal aneh jika kau melakukannya di tempat umum.”

“Kau lupa. Aku kiri.”

“Oh. Pakai tangan kirimu.”

“Hahaha.”

“Berarti kita tidur di sisi ranjang yang keliru.”

“Kiri… Politik, maksudku.”

“Tidak, Hun. Sekarang aku hanya membicarakan tentang tangan. Tidak politik.”

“Aku takut akan melihat wajahmu ketika aku melakukannya. Haha.”

“Tak apa.”

“Atau sekujur tubuhmu.”

“Tak apa.”

“Bagaimana bisa tak apa?”

“Kenapa kau takut dengan hal itu. Normal jika kau memikirkan seseorang ketika masturbasi.”

“Itu seperti platonik.”

“Well… Itu akan membantumu mengerti fungsi tubuhmu dan apa yang kau suka saat nge-seks. Itu bisa menghilangkan stres. Dan baik buat kesehatan mental.”

“Ah. Gak erotis. It takes two to tango.”

“Serius.”

“Ya. Mungkin aku akan melakukannya. Aku harap tak jadi terlalu sering.”

“Kupikir normal dua sampai tiga kali seminggu. Aku melakukannya hari ini.”

“Wah. Aku mungkin akan melihatmu di sana. Tiga kali seminggu.”