Asyura: Firaun, Musa, Para Budak dan Karbala

Bagaimana hidup manusia dibangun? Hidup dibangun dengan rasa takut.

Beberapa waktu lalu dalam sebuah perbincangan yang tenang, kalimat ini disuguhkan. Walau mungkin memang bukan kali pertama kalimat ini lahir. Dan mungkin ini bukan kalimat biasa yang sekedar terlontar. Kalimat tersebut tak bisa menjawab apa pun tentang bagaimana sebuah hidup manusia dibangun. Malah sebaliknya, kalimat ini menimbulkan pertanyaan. Kesadaran akan apa sehingga manusia merasa takut?

Takkan ada kewarasan ketika hidup manusia didasarkan pada rasa takut. Dan ketika sebuah kehidupan ingin dibangun dengan rasa takut, maka harus ada entitas yang menjadi sebab dari rasa takut. Melihat sejarah, ada banyak sekali memang entitas atau figur yang mumpuni untuk menjadi model sebagai sebab dari rasa takut. Katakanlah, Firaun. Ia adalah sebuah magnum opus dalam hal penindasan. Kira-kira hampir 3000 tahun silam, ratusan ribu budak mengangkut, menyeret ratusan juta bongkah batu besar-besar. Tak terbayangkan bagaimana ia menindas para budak saat itu. Bagaimana ketakberdayaan mereka, darah yang terpaksa mereka muncratkan demi memuaskan Firaun dengan mendirikan piramida kuburannya yang konyol.

Sebagian orang mungkin memnganggap Firaun adalah sosok yang pemberani. Bagaimana tidak, di atas singgasananya ia berani memberaki budak dan bahkan rakyatnya sendiri, dan itu dilakukannya dengan tertawa. Tak hanya itu, ia bahkan berani memunggungi Sang Ultim, dan mendeklarasikan bahwa dia sendirilah Sang Maha Segalanya. Bukankah ia pemberani? Tunggu dulu.

Firaun mungkin berhasil menciptakan rasa takut, tapi itu sama sekali tak berarti bahwa dia pemberani. Malah Firaun merupakan seorang pengecut yang terpecundangi. Dan tanyakanlah pada kewarasan, apakah para budak benar-benar merasa tertindas? Memang kenyataannya di bawah kuburan para Firaun, di bawah piramida itu, ada ribuan buruh yang mati. Tapi mereka tak mati dengan tertindas. Mereka mati dan dengan merdeka menertawai para Firaun. Piramida itu tidak dibangun atas perintah Firaun, tapi atas keinginan para budak untuk memegahkan kuburannya sendiri. Budak yang mati sejajar dan semakam dengan Firaun tentu adalah budak yang sangat istimewa. Dan Firaun yang terkubur satu liang dengan ribuan budak yang diperintahnya tentu saja sangat merasa terpecundangi.

Di entah era Firaun yang mana, ada sosok lain yang menjadi perbincangan dunia. Ya, dialah Musa.Disusui oleh Yukabad, seorang perempuan yang teguh dan pemberani. Keberanian yang ia tularkan melalui susunya yang suci adalah yang meniscayakan Musa menjadi seorang pemberani. Ialah satu-satunya manusia yang mampu memberikan tamparan pada Firaun. Mencabut jenggotnya hingga rontok. Musa juga merupakan sosok yang memimpin Bani Israel untuk mengatakan tidak pada perbudakan. Musa memimpin mereka untuk berontak.

Sungguh keberanian bukanlah seperti Firaun yang mampu memperbudak jutaan manusia. Bukan seperti ia yang mengagungkan dirinya sendiri, dan mengaku sebagai Tuhan. Firaun bukanlah simbol sebuah keberanian melainkan ketakutan dan kepengecutan. Ia adalah seorang pengecut ketika tak mau mengakui bahwa sebenarnya ia hanyalah manusia biasa. Ia adalah penakut yang hidup dalam kebohongannya pada diri sendiri dengan mengaku sebagai Tuhan Yang Maha Segalanya.

Keberanian yang sebenarnya dapat dilihat dari sosok Musa. Ia berani untuk tunduk dan mengakui ketika Tuhan membuktikan keberadaannya dengan menampakkan wujud-Nya pada Musa sebagai Cahaya dan sebagai Api. Musa adalah pemberani ketika mengakui bahwa logika rasionalnya bukanlah tandingan logika spiritual Khidr. Mau mengakui segala keterbatasan adalah sebuah keberanian. Namun sayangnya, kebanyakan manusia terlalu pengecut untuk tidak menyombongkan dirinya.

Musa berani menentang Firaun. Ia memang diharuskan untuk melakukan itu. Perlawanannya yang keras pernah membuatnya terusir dari istana dan membuatnya menjadi penggembala. Selama 40 tahun ia melakoni hidup sebagai penggembala, hingga ia kembali diutus untuk menyelesaikan pekerjaannya. Pada 10 Muharram, ia kembali lagi dan berani menghadapi Firaun. Dibelahnya Laut Merah. Dan matilah Firaun dalam keagungan Asyura. Asyura sendiri adalah hari yang sangat istimewa, hari di mana Ibrahim selamat dari api raja Namrud. Hari ketika Nuh selamat dan melabuhkan bahteranya. Hari ketika setelah 40 hari 40 malam Yunus dikeluarkan dari perut ikan paus. Ketika Ayub sembuh dari penyakitnya dan ketika penglihatan Yakub dikembalikan padanya. Begitulah yang termaktub dalam kitab-kitab suci.

Jauh setelah masa para utusan Tuhan itu, pada hari yang sama, Asyura, sebanyak tak kurang dari 70 Syuhada dengan gagah berani memberontak pada rezim kekhalifahan yang zhalim dan tiran. Ketika itu, langit menjadi begitu merah, tanah tandus menjadi banjir oleh darah. Ya, Asyura adalah hari untuk doa, untuk tangis, dan untuk perlawanan. Dan tanah itu adalah tanah Karbala. Asyura, adalah keberanian. Hidup, dibangun dengan perlawanan.

Labbaika Yaa Husain..

Tak takut lagi ketinggalan

Daftarkan email Anda untuk berlangganan nawala.
[email protected]
Langganan