adityawarmanfw

Annelies

dari dekat sekali

dari dekat sekali

Asmara hampir selalu menjadi bagian yang menarik dari sejarah manusia.

Asmara, tulis Pramoedya Ananta Toer, “selamanya merupakan tenaga perkasa yang pernah dipergunakan orang-orang dalam hidupnya, kenang-kenangan yang tak terlupakan bagi yang pernah mengalami, angan-angan ajaib buat yang belum pernah mengalami.”

Asmara, lanjut Pram, merupakan “suatu batas penggaris yang membuat hidup sesuatu makhluk cerai berai dalam fragmen-fragmen yang kadang-kadang satu sama lain tak punya sangkut paut sedikit pun jua. Inilah yang menyebabkan asmara selamanya jadi soal penting dan genting dalam hidup.”

Kalimat-kalimat itu digurat oleh Pram di masa awal kepengarangannya dalam esai bertajuk Roman & Romance. Ia berusaha menjelaskan bahwa antara kedua kata itu — tiga, bila ditambah dengan kata romantik — tak punya kesatuan pengertian, meski kerapkali saling singgung-menyinggung sewaktu-waktu.

“Romance adalah sesuatu yang romantis — mungkin juga asmara itu sendiri,” kata Pram. Ia selanjutnya dengan galak menyebut romance sebagai bentuk kesusastraan adalah lagu rakyat yang “berjiwa dangkal”, “merengek-rengek”, dan “merayu-rayu tak ketentuan”. Ia adalah sajak-sajak yang dengan dangkalnya bercerita tentang kejadian zaman dahulu yang mengharukan. Sedang yang terpenting dari roman dan yang menjadikannya baik serta bernilai adalah: ia mesti lekat hubungannya dengan hidup dan tak dapat dipisahkan dari hidup.

Lanjut dalam esainya itu, supaya roman tak melulu disandingkan dengan romance, Pram bilang juga bahwa ada banyak roman yang tak punya hubungan dengan asmara. Seperti karya — Pram menyebut — Gorky atau Exupery.

Tapi, sekali lagi, kan, roman mesti lekat hubungannya dengan hidup. Dan sekali lagi sebagaimana Pram bilang, asmara adalah tenaga perkasa yang menggerakkan hidup manusia. Maka, bukankah asmara itu pula yang mesti menjadi “panglima” dalam roman yang baik dan bernilai itu? Dan lagi, kan, seorang pujangga pernah bilang, “hidup yang tak berasmara tak pernah layak dimenangkan?”

Saya percaya tenaga ajaib nan perkasa itu juga yang nantinya membuat Pram sekitar dua dasawarsa kemudian menuturkan kisah Annelies dan memekarkan Bunga Akhir Abad dalam Bumi Manusia. Anda boleh saja tak sepakat, tapi bagi saya Bumi Manusia adalah roman yang digerakkan oleh asmara. Dan sebab ia digerakkan oleh asmara, sebab itu pula ia lekat hubungannya dengan hidup dan menjadi sebuah karya yang bernilai.

Bukan kisah asmara antara Si Pribumi Minke itu dengan Annelies, tapi kisah asmara antara kita, atau saya, dengan Annelies. Di Bumi Manusia itu, Pramoedya sedang menulis kisah asmara kita.

Namanya Annelies Mellema. Sosok yang nyata meski ia tak pernah berasal dari “kenyataan hilir”.

Biar kuceritakan.

Beginilah kita diperjumpakan. Satu hari di sebuah rumah di Wonokromo, ia berdiri di situ. Lewat mata Minke, Pramoedya membuat kita melihat “seorang gadis berkulit putih, halus, berwajah Eropa, berambut dan bermata Pribumi. Dan mata itu, mata berkilauan itu seperti sepasang kejora; dan bibirnya tersenyum meruntuhkan iman.”

“Kulitnya halus laksana beledu putih gading. Matanya gemilang seperti kejora. Tak bakal kuat orang memandangnya terlalu lama. Sepasang alis melindungi sepasang kejora itu, lebat seperti punggung bukit sana. Bentuk badannya idaman setiap pria. Maka seluruh negeri sayang padanya. Suaranya lunak, memikat hati barangsiapa mendengarnya. Kalau dia tersenyum, tergoncang iman setiap dan semua pria. Dan kalau tertawa gigi putihnya tampak gemerlapan memberi pengharapan pada semua pemuja.”

Siapa tak jatuh hati dengan gadis macam begitu, yang bahkan Tuhan dengan segala kemahakuasaannya itu hanya mampu “menciptakannya sekali saja dan pada tubuh yang seorang ini saja”.

Lalu dari mata Bunda, Annelies hidup, atau dihidupkan oleh Pramoedya, sebagai keindahan yang di zaman leluhur bisa menerbitkan perang Bharatayuda. Annelies yang pipi, bibir, kening, hidung dan kupingnya seolah dicipta dari lilin tuangan yang dibentuk sesuai impian manusia.

“Ujung-ujung rambutnya berwarna agak coklat jagung, dan alisnya lebat subur seakan pernah dipupuk sebelum dilahirkan. Dan bulu matanya yang lengkung panjang membikin matanya seperti sepasang kejora bersinar di langit cerah, pada langit wajahnya yang lebih cerah.”

Asmara adalah angan-angan ajaib buat yang belum pernah mengalami. Dan barangkali angan-angan itu juga yang membuat kita, atau setidaknya saya, terus betah membalik lembar demi lembar Bumi Manusia. Asmara juga yang lalu mengubah setiap lembar yang telah terbuka dan teralami itu menjadi kenang-kenangan yang tak terlupakan.

Sepanjang cerita, semakin dibikin menaruh hati pula pada Si Jelita. Seorang gadis dengan kecantikan yang “lebih agung daripada segala perbuatan manusia dan lebih kaya daripada seluruh makna yang terkandung dalam perbendaharaan bahasa”. Seorang gadis agung bernama Annelies yang, sekalipun ia menjadi nyata, takkan sampai hati untuk menjadikannya sebagai bahan pelampiasan berahi.

Tapi di akhir kisah itu, ketika orang-orang berasyik-masyuk menjalin asmara, Annelies justru (dibuat) pergi dan meninggalkan semuanya. Ia disingkirkan dari cerita. Pramoedya bermaksud mengukuhkan kembali pendapat yang ia pegang bertahun-tahun sebelumnya bahwa romance dalam kesusastraan, adalah berjiwa dangkal, merengek-rengek dan merayu-rayu tak ketentuan.

Mungkin itu juga sebabnya ia sudahi Annelies. Mencegah pembacanya agar tak sampai memperdewakan asmara. Sebab, bagi Pramoedya: ketika asmara diperdewakan, maka seperti dewa betulan, ia akan menuntut upeti dari para pemujanya. Pram sedang berusaha menginsyafkan kita.

Ketika sedang membicarakan Bumi Manusia, orang-orang melulu hanya berbicara soal keberanian Minke dan Ontosoroh seraya mengutip kalimat masyhur itu. Tahu, kan, kau? Kalimat sakti yang berbunyi, “Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Hidup itu perlu keberanian. Dan kata orang-orang itu, dari keberanian Minke dan Ontosoroh itulah kita bisa belajar banyak tentang hidup.

Tapi bagiku tidak.

Dari kehilangan Annelies-lah kita bisa belajar tentang hidup. Dari kisah asmara yang telah terbunuh. Kehilangan itulah yang amat lekat dan tak dapat dipisahkan dari hidup. Dan lagi, memangnya apa yang lebih baik dalam mengajarkan kita soal kehidupan daripada kehilangan?

Kehilangan perempuan seperti itu pula?