Angeline

Dengan mantap ia berjalan, masuk dalam ruangan yang sudah ia hapal betul keadaannya. Tak ada debar yang menggugupkan, karena sebelumnya ia sudah pernah melalui kejadian yang sama. Yang akan terjadi nanti sudah bisa ia duga-duga. Maka itu, ia mantap, melangkah dengan punggung tegak dan pandangan menancap lurus ke depan, percaya bahwa kejadian ini akan bisa ia lewati — seperti sebelumnya.

Wanita itu lalu berhenti di depan sebuah meja kayu yang ukurannya agak keterlaluan untuk ruangan yang hanya sebesar ini. Di hadapannya, di seberang meja kayu itu, seorang lelaki berkulit kuning pucat berdiri. Lelaki itu telah menungguinya dari tadi.

Wanita itu belum tahu, yang di hadapannya sekarang adalah “neraka” yang mengejawantah dalam rupa seorang manusia.

Sebelumnya, ia dijemput oleh dua orang lelaki di rumahnya. Wanita itu kesulitan untuk membedakan dua orang tadi dengan lelaki di hadapannya ini. Warna kulit yang sama dan juga mata yang sama. Semuanya sipit. Satu di antara dua orang yang menjemputnya tadi telah pergi entah ke mana. Yang satu lagi berjaga di depan pintu, mengawasi entah apa.

Wanita itu melihat sekeliling ruangan. Temboknya kusam, berlumut hijau kecoklatan. Ada jendela kecil, dengan lebar setengah depa dan tinggi kira-kira dua jengkal. Cahaya dengan malu-malu menerangi dua orang itu. Lelaki bermata sipit itu memerhatikannya, memandangnya. Wanita itu balik menatap mata yang jelas-jelas tak lebih besar dari mata miliknya. Lelaki itu tersinggung, ia menganggap tatapan mata itu adalah sebentuk tantangan, sebuah kekurangajaran. Padahal, wanita itu sekadar membalas apa yang lelaki itu juga lakukan.

Laki-laki itu lalu meneriakinya. Seketika telinganya berdenging. Pertanyaan dideraskan padanya dengan nada tinggi, dengan leher kuning pucat berurat-urat. “Tidak!” kata wanita itu tegas. Ia menyangkal tuduhan bahwa ia terlibat dalam organisasi yang bertujuan melawan pihak lelaki itu. Lalu, ia tahu ada hal yang berbeda dari yang sebelumnya. Dulu, di atas meja ada sebuah pistol. Alat Politieke Inlichtingen Dienst untuk memudahkan interogasi. Sekarang, ketika ia diinterogasi oleh Kenpeitai, alat itu telah digantikan dengan alat yang lain: pentungan.

“Tidak,” jawabnya lagi. Kepalanya dihantam dengan pentungan karet itu. Setiap sangkalan akan dihadiahi dengan pentungan oleh Nedaci. Lelaki itu memaksanya untuk mengaku. Meneriakinya sekali lagi. “Tidak!” ia kukuh dengan jawabannya. Ia memang tak terlibat dalam organisasi apa pun. Hadiah segera ia terima. Pentungan menghampiri ubun-ubunnya. Ia tersungkur. Gemintang berputar-putar, cahaya meredup, ia, nyaris tak sadarkan diri. Badannya tak bisa digerakkan, bahkan sekadar jarinya saja ia juga tak bisa. Mulutnya tak bisa mengeluarkan kata. Tapi ia masih bisa mendengar, bisa melihat, dan merasakan sakit yang nyata.

Saya pertama kenal dengan nama Soerastri Karma Trimoerti baru-baru ini saja sebenarnya, dari buku Saskia E. Wieringa yang berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. S.K. Trimurti adalah seorang jurnalis. Pada masa penjajahan, ia pernah mendirikan majalah Bedug yang berbahasa Jawa, yang kemudian berganti dengan memakai Bahasa Indonesia di bawah judul Terompet. Setelah kemerdekaan, ia menjadi salah satu pendiri Gerwis, yang lalu berganti nama menjadi Gerwani. Trimurti menulis untuk majalah bulanan Gerwani — Api Kartini — dengan nama pena Mak Ompreng. Ah, rasanya saya telah melompat terlalu jauh. Yang mau saya ceritakan adalah ketika Trimurti menjadi tahanan Jepang.

Saya sedang membayangkan yang terjadi pada Soerastri Karma Trimoerti saat diinterogasi oleh pemerintah Jepang pada tahun 1943. Saya membaca kisahnya dari buku The Call of the Hibiscus: Indonesia’s Message to the World karangan Marie V. Mohr. Satu bab dari buku itu — bertajuk New World View — berisi wawancara Mohr dengan S.K. Trimurti.

Tujuh paragraf di atas hanyalah permulaan dari siksa “neraka” a la Jepang yang dialami oleh Trimurti. Yang terjadi berikutnya lebih memilukan lagi. Ketika Trimurti tak bisa berkutik lagi, ketika ia hanya bisa merasakan sakit, menyimak teriakan dan cemoohan sambil mengerjap-ngerjapkan mata, Jepang membawa Sayuti Melik, suaminya, untuk menyaksikan derita istrinya. Kenpeitai memerintahkan Sayuti Melik untuk membuat Trimurti mau mengakui dosanya. Bagi Jepang yang fasis, melawan mereka adalah sebuah dosa besar yang harus diganjar sedemikian rupa. Teriakan-teriakan silih berganti ditujukan pada mereka berdua. Trimurti yang terkapar di lantai ruangan yang dingin, mendongakkan kepala. Ia melihat air mata mengaliri pipi suaminya….

Keduanya tak bisa berbuat apa-apa. Trimurti memejamkan mata, memanjat doa. Menjemput kekuatan dari Tuhan untuk ia bawa turun ke dalam ruangan itu.

Selanjutnya, setelah mendapat kekuatan yang barangkali datang dari Tuhan, Trimurti sanggup bangkit untuk duduk. Kenpeitai memerintahkannhya keluar, pindah ke ruangan yang lain. Ia menurut. Ia tak bisa menebak, setan macam apa nanti yang akan dihadapinya, yang menunggu di balik ruangan itu. Ia marah, juga takut. Lalu di atas meja, ia lihat benda yang lain lagi, bukan pentungan karet. Dua pecut bambu tergolek lesu di atas meja itu, menunggu dibangkitkan oleh sentuhan tangan Kenpeitai. Trimurti tahu, dua pecut bambu itu akan hidup, menari-nari di dalam ruangan. Dan seperti benda hidup lainnya, pecut itu butuh aliran darah segar.

Saya berhenti sejenak di bagian ini. Cerita di buku itu tentu tak seperti yang saya tulis di sini. Yang saya tulis adalah bagaimana saya membayangkan siksaan bertubi-tubi itu terjadi pada seorang wanita pejuang, saksi dari tiga zaman.

Enam jam sudah berlangsung di neraka ini. Ingatan Trimurti terbawa ke anaknya yang baru saja ia lahirkan. Anaknya masih berumur dua bulan, masih butuh disusui. “Izinkan saya pulang sekarang,” kata Trimurti dengan segenap kekuatan yang sisa. “Pulang katamu? Kenapa?” teriak mereka. Trimurti lalu berkata bahwa ia memiliki dua anak, satu berusia tiga tahun, dan satunya lagi masih berusia dua bulan.

Ajaib, Kenpeitai mengabulkan permintaan Trimurti. Ia pulang bersama dua orang pengawal. Ia segera memeluk bayinya, bersiap menyusuinya dengan payudara seorang ibu yang suci. Tapi bayi itu tak mau. Ia heran, mengapa bayi itu menolak. Ia coba susu yang mengalir dari payudaranya sendiri; panas, seperti tubuhnya.

Saya sulit membayangkan betapa nelangsa menjadi Trimurti waktu itu. Bagaimana susah menjadi seorang ibu. Ibu yang ditolak susunya. Tapi bayi kecil itu tentu tak bersalah, sebagaimana Trimurti.

Ia lalu mengganti susu itu dengan tajin, air bekas rebusan beras. Susu terlalu mahal dan susah didapatkan saat itu. Ia sendiri lapar, ia butuh makan agar mendapat tenaganya kembali. Trimurti menceritakan dalam wawancara dengan Mohr itu, ia berusaha mengunyah makanan di mulutnya, tapi tak bisa. Giginya tanggal dan goyang lantaran pentungan-pentungan yang menghantam wajah dan kepalanya.

Setelah mengurus segala sesuatu di rumah, ia dibawa kembali ke penjara Jurnatan, Semarang. Apa yang harus dilakukan di dalam ruang pentas dua pecut bambu dan pentungan itu, Trimurti tak tahu. Dan benar, ketika ia tiba di ruangan itu, pecut-pecut itu masih ada di sana, begitu juga yang memberi pecut itu kehidupan. Merekalah yang sekarang mempunyai senjata; merekalah yang memiliki kekuatan. Trimurti lalu memasrahkan segalanya kepada Tuhan Yang Satu.

Sekali lagi, keajaiban menampakkan diri. Pecut itu tak jadi menari. Mereka tahu, dan barangkali nurani mereka tergerak karena Trimurti mempunyai bayi yang ia sayangi. Trimurti menunjukkan kepada Kenpeitai itu bagaimana menjadi seorang ibu. Bukan ibu yang biasa, bukan, akan tetapi ibu yang militan. Ibu yang berjuang. Sore hari, Trimurti diperbolehkan pulang.

Lalu tengah malam, laki-laki bermata sipit datang, hanya mengenakan piyama saja. Berkunjung ke rumah orang pada jam itu, dengan pakaian seperti itu tentu dianggap tak sopan. Tapi lagi-lagi Trimurti ingat, laki-laki itulah sang pemegang kekuasaan. Ia tak kuasa untuk memrotes. Laki-laki itu menuju ke kamar tempat bayinya tidur. Ia memastikan apakah benar Trimurti memiliki bayi yang harus disusui. Trimurti menunggu di luar. Kemudian, lelaki itu keluar, dan berkata, “Beautiful baby, wicked mother.” Begitu tulis Mohr dalam bukunya yang berbahasa Inggris. Saya sengaja tak mengubahnya, tak tahu bagaimana ungkapan itu diterjemahkan dengan tepat ke dalam Bahasa Indonesia.

“Anak yang tampan, ibu yang jalang,” kah?

Sebelum Jepang datang ke Indonesia, Trimurti meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia tak mau tunduk pada siapa pun. Tidak pada Belanda, juga Jepang. Ia tak membenci orang-orang Belanda dan Jepang. Yang ia benci adalah penjajahan. Ia menginginkan perdamaian, nasionalismenya disandarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal.

Ketika selesai membaca bagian itu, sejenak saya kembali diam. Saya betulkan posisi duduk saya lalu menenggak kopi pahit yang sudah dingin di atas meja. Membaca penyiksaan yang dialami oleh Trimurti, pentungan-pentungan, ruangan yang bagaikan neraka itu, serta bagaimana Trimurti menjalani laku seorang ibu, saya terbayang seorang gadis cilik yang cantik. Angeline.

Angeline yang malang… disiksa sedemikian rupa. Barangkali saya berlaku lancang karena telah membayangkan siksaan-siksaan yang dialami orang lain yang tak saya kenal. Tapi saya tak bisa menahan hal itu. Saya membayangkan bagaimana di kamar itu, di rumahnya sendiri tempat ia tinggal, ia disiksa habis-habisan. Bagaimana ia tak pernah bangun dari mimpi buruknya. Tak ada — atau sampai saat ini, saya tak tahu apakah ada atau tidak — yang berusaha melindungi Angeline.

Angeline tentu berbeda dengan Trimurti. Dan saya tak ingin juga membandingkan, sebenarnya. Trimurti waktu itu sudah dewasa, ia sudah tahu bagaimana berjuang, bertempur di dunia yang kejam. Daya tahan tubuhnya barangkali juga lebih kuat. Tapi, sekali lagi, Angeline berbeda. Memang dari berita saya baca bahwa Angeline “dibiasakan” bekerja keras, memberi makan ternak, dan lain-lainnya. Tapi, masih tapi, tentu saja mereka berbeda… khan?

Bagaimana menjadi seorang ibu, dalam kondisi seberat apa pun, Trimurti dengan baik sudah mencontohkan. Tapi saya tak sedang menanyakan ke mana ibu gadis malang itu saat anaknya disiksa. Tak ada gunanya saya rasa. Saya percaya, ibu asli gadis itu pasti menyayangi anak gadisnya, sebagaimana Mama saya menyayangi dan memperjuangkan kehidupan saya.

Ketika sampai pada bagian di mana Trimurti akhirnya jatuh, tak bisa bergerak setelah dipentung, hanya bisa melihat dengan matanya yang lebih besar daripada mata penyiksanya, yang ada di kepala saya saat itu justru adalah mata Angeline. Mata yang indah dan besar itu memenuhi kepala saya. Dan saya, saya merasa seperti Sayuti Melik waktu itu. Tak ada yang bisa dilakukan. Tapi saya kira tak hanya saya yang merasakan hal seperti ini. Barangkali Anda juga merasakannya. Kita merasakan bagaimana kelumpuhan menjalar di hidup kita, dan tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menghentikan itu. Seperti Sayuti, air mata kita mengalir di pipi. Tak henti mengutuki para penyiksanya.

Barangkali Angeline sekarang telah bangun dari mimpi buruknya, tapi tentu saja dengan cara yang berbeda sama sekali dengan apa yang kita harapkan. Keajaiban itu, rupanya tak terjadi kali ini. Tak ada keajaiban untuk Angeline.

Tak takut lagi ketinggalan

Daftarkan email Anda untuk berlangganan nawala.
[email protected]
Langganan