adityawarmanfw

Aku sudah sampai di kota tujuan

Salemba, 27 November 2016

SEJARAH GERAKAN KIRI INDONESIA | CERITA | MINGGAT

Aku sudah sampai di kota tujuan

Salemba, 27 November 2016

Aku sudah sampai di kota tujuan. Sore tadi aku bertemu seorang kawan yang membuka kedai kopi. Dia namakan kedai kopi itu Bumi Manusia. Sejak kalau tak keliru sebulan lalu rutin satu hari setiap minggu diadakan acara mengaji buku Bumi Manusia yang dihadiri buruh-buruh di sana. Kedai punya kawanku ini berada di kawasan industri.

Sebelumnya, aku berjumpa dengan kawan yang lain yang juga aktif hadir dalam pengajian itu. Kawan perempuan. Ketika kutanyakan sudah sampai mana membaca, ia jawab, “Kisah Sanikem.” Ia ceritakan satu fragmen ketika Sanikem dijual oleh bapaknya demi jabatan. “Mengerikan sekali zaman feodal itu. Pernikahan diatur untuk kepentingan kerajaan, jabatan, dan warisan. Sekarang yang seperti itu mestinya sudah tidak ada lagi. Tapi perempuan masih saja kalah sampai sekarang,” katanya kesal.

Ia lalu mengutip Nyai Ontosoroh, “Semua lelaki memang kucing berlagak kelinci. Sebagai kelinci dimakannya semua daun, sebagai kucing dimakannya semua daging.” Aku tertawa. Kemudian ia kutip yang lain lagi, “Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki.” Aku tahu lanjutannya. Maka kutimpali, “Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.”

Kata beberapa kenalan, ketika Orde Baru, berkesempatan membaca Pram itu semacam berkah. Buku-bukunya sangat sulit didapat. Lebih sulit dibanding mencari bir atau mencari keburukan dari pemerintah hari ini. Tetralogi Buru hanya beredar di kalangan aktivis dan orang-orang tertentu, itu pun kadang cuma fotokopian. Dibaca mesti di dalam ruangan dan dengan kehati-hatian. Jika yang ingin membaca banyak, maka harus antré dan yang membaca mesti cepat. Sekarang, ketika buku itu telah dicetak ulang, manusia yang belum atau tak mau membacanya kupikir bisa berpotensi jadi manusia pemilik hati yang maha menyesal.

Kembali ke kawanku pemilik kedai kopi Bumi Manusia. “Susah sekali mengajak kawan-kawan buruh itu membaca. Kalau tak dijemput, seringkali mereka tidak datang,” katanya. “Kenapa?” tanyaku. Tanpa memedulikan pertanyaan itu lalu ia bercerita soal buruh. “Kawan-kawan buruh itu kasihan. Bangun pagi-pagi sekali, berdesakan di angkutan umum, datang ke pabrik untuk dihisap semua hasil kerjanya oleh pabrik demi keuntungan dan akumulasi modal. Kerja 8 jam sehari, kalau pabriknya kurang ajar, selama itu mereka berdiri, tidak boleh bercakap dengan yang lain, diberi makan siang hanya nasi bungkus yang isinya: bihun, lauk gorengan yang banyak tepungnya, dan kadang ditambah kerupuk. Seperti itu lalu dari mana ada nutrisi yang bisa bikin otaknya berkembang? Karbohidrat semua. Supaya bisa kerja saja. Industri itu tak pernah peduli perkembangan buruh sebagai manusia.”

“Membaca itu susah sekali untuk mereka. Bukan karena mereka malas. Tapi karena memang tak ada lagi tenaga yang tersisa buat membaca. Bayangkan, ketika mereka pulang, biasanya mampir beli nasi bungkus untuk dimakan di rumah. Ketika makan, tiga suapan, tangan masih belepotan, buruh bisa ketiduran karena saking capeknya. Terbangun, lalu melanjutkan makan. Lalu langsung tidur lagi, sudah tidak berpikir untuk cuci tangan. Bayangkan begitu setiap hari. Tiap hari itu juga pabrik minta mereka untuk tetap semangat dan berterima kasih karena diberi pekerjaan. Tapi bagaimana mau berterima kasih kalau upah tidak setimpal, tidak dimanusiakan?”

Aku setengah tak percaya. Aku membayangkan berapa banyak buruh di Indonesia. Di dunia. Berapa banyak orang yang keadaannya sedemikian rupa. Bukan dunia yang kejam, tapi manusia. Tak bisa lebih benar lagi. Manusia jorok berhati kotor yang merancang, membangun, dan memperkuat sistem ekonomi yang membikin manusia memakan manusia lainnya.

Beberapa orang yang aku kenal, beberapa di antaranya kenal dekat, menganggap buruh sebagai yang gagal dalam hidup — orang-orang malas dan ogah belajar. Maka itu miskin dan bodoh. Masuk akal. Mereka memang dimiskinkan dan dibodohkan. Dari mana bisa kaya bila hasil kerjanya dihisap habis-habisan oleh mereka yang lebih sedikit kerjanya? Bagaimana mungkin bisa berkembang otak mereka jika tak beroleh nutrisi yang cukup untuk perkembangannya, dan waktu belajarnya dicuri dari hidupnya?

Semua manusia sama punya kesempatan yang sama itu omong coro. Mereka yang masih berkoar soal itu pantas masuk keranjang sampah atau diguyur bareng tai di lubang tinja. Atau dibuang ke pengasingan dan melakukan kerja paksa. Bagaimana bisa beroleh kesetaraan jika, misalnya, manusia itu lahir di keluarga buruh, yang ibunya makan cuma karbohidrat, tenaganya habis diisap, waktu belajar dan mengajari belajar anaknya tak ada, tak punya warisan baik harta atau pun jaringan kerja? Bagaimana bisa dipersamakan dengan manusia yang lahir di keluarga pejabat, atau pemilik perusahaan, atau orang berpunya?

Pabrik-pabrik penindas itu perlu dituntut agar memenuhi hak, mengurangi jam kerja, dan memanusiakan buruhnya. Kawan-kawan buruh perlu didorong dan disediakan wadah supaya bisa berkembang sebagai manusia. Dari perbincangan itu aku tahu, mendorong buruh membaca itu hanyalah salah satu contoh kebaikan kecil dan mesti terus-menerus tak berhenti diupayakan. Kebaikan lebih besar, tentu saja: mendorong dan membantu buruh untuk membangun pemerintahannya sendiri.